Menelisik Titik Lenting

>> Rabu, 09 September 2009


Sebuah merek yang nyaris masuk liang lahat tiba-tiba bangkit bahkan menemukan kembali kejayaannya gara-gara ulah iseng sekelompok anak muda yang ingin tampil beda. Merek yang beruntung itu adalah Hush Puppies. Akhir tahun 1994 Wolverine, perusahaan yang membuat Hush Puppies, sudah mempersiapkan ‘pemakaman’ bagi merek itu dengan merencanakan penghentian produksi sepatu kulit klasik Hush Puppies. Namun niat itu urung dilaksanakan lantaran mereka melihat sebuah keajaiban. Beberapa remaja iseng yang ingin tampil beda memakai sepatu Hush Puppies yang sudah ketinggalan jaman. Keisengan ini diikuti oleh remaja lainnya sampai kemudian menyebar tak terkendali. Toko sepatu loak yang menjual Hush Puppies diserbu pembeli. Seorang perancang adi busana bahkan menjadikannya salah satu pelengkap koleksi musim semi. Pesanan sepatu baru pun mendadak mengalir ke pabrik Wolverine bagai air bah. Hanya dalam kurun dua tahun Hush Puppies kembali sehat wal afiat. Sebuah tindakan kecil tanpa sengaja itu telah menyelamatkan sebuah merek besar dari kematiannya.

Kecil itu esensiil, kata Arifin C Noer saat menjelaskan nama kelompok teaternya (Teater Ketjil). Tak banyak yang seperti Arifin, mau memberi perhatian pada hal-hal kecil, apalagi ketika berbicara tentang ide-ide besar, perubahan-perubahan besar. Contoh di atas adalah kisah pembuka dari buku Tipping Point, tulisan Malcolm Gladwell (PT GPU, 2007). Sub judul buku ini, Bagaimana Hal-hal Kecil Berhasil Membuat Perubahan Besar, cukup provokatif dan menggelitik. Gladwell mengajak kita menelusuri ide-ide sederhana yang mampu menjalar bagai epidemi dan kemudian menghasilkan sebuah perubahan besar. Dan yang lebih penting dari semua itu, tentu saja, bagaimana membuat dan mengendalikan secara sengaja epidemi positif ciptaan kita sendiri.

Tipping point adalah sebutan untuk saat dramatis ketika segala sesuatu dapat berubah total secara sekaligus. Dalam kasus Hush Puppies di atas, tipping point terjadi saat orang-orang mulai beramai-ramai mengikuti ulah iseng para remaja memakai sepatu Hush Puppies. Di situ ada tiga hal yang terjadi dan menjadi ciri khas sebuah tipping point, yaitu sifat menular, kenyataan bahwa perubahan itu berawal dari ide yang sederhana, dan adanya perubahan yang dramatis dalam kurun waktu relatif singkat. Kalau dalam kasus Hush Puppies tipping point itu terjadi secara tidak sengaja, lantas bagaimana kita merancang sebuah tipping point yang disengaja?

Gladwell menjelaskannya melalui tiga kaidah epidemi, yaitu Hukum yang sedikit (the Law of the Few), Faktor Kelekatan (the Stickiness Factor) dan Kekuatan Konteks (the Power of Context). Gagasan mengenai tipping point memang tak bisa dilepaskan dari fenomena epidemi, penularan ‘penyakit’ secara cepat dan tak terelakkan. Ada tiga faktor berperan di situ, yaitu: orang yang bertindak sebagai peng-infeksi, sesuatu yang ditularkan dan lingkungan tempat terjadinya wabah. Jadi, hal pertama yang harus dimiliki untuk sebuah tipping point yang disengaja adalah: orang yang bertindak sebagai peng-infeksi.

Hukum yang sedikit menjelaskan bahwa orang yang bisa berperan sebagai peng-infeksi itu jumlahnya tidak banyak. Ada sejenis ketrampilan sosial yang wajib dimiliki orang tersebut. Gladwell menyebut tiga kelompok orang, yaitu: para penghubung (the connector), para bijak bestari (mavens) dan para penjaja (salesman). Ketiganya berbeda hanya dalam cara mereka bekerja. Namun ada satu hal yang menyamakan mereka yakni adanya semacam bakat dan ketrampilan sosial yang khas. Baik penghubung, para bijak bestari maupun para penjaja, adalah orang-orang yang menarik, persuasif, peka, dan punya kepedulian yang tulus. Mereka dikenal dan mengenal banyak orang. Mereka mempunyai kemampuan menularkan emosi kepada orang lain (merujuk pada buku Emotional Contagion, E. Hatfield dan J. Cacioppo). Temukan mereka, dan Anda sudah punya satu modal untuk membuat sebuah tipping point terencana.

Yang kedua adalah faktor kelekatan, berkaitan dengan pesan atau gejala yang ditularkan. Sebagaimana dimaklumi, era banjir informasi dewasa ini memberikan masalah tersendiri bagi penyampai pesan untuk menarik perhatian dan melekatkan informasi di benak khalayak. Di bagian ini Gladwell mengedepankan contoh tayangan Sesame Street dan Blue’s Clues, serta keberhasilan trik pemasaran sederhana Wunderman, yang dari contoh itu terbukti bahwa faktor kelekatan rupanya tidak melulu berkaitan dengan substansi/kualitas pesan yang ingin disampaikan tetapi justru pada sebuah gagasan sederhana tapi tepat waktu. ‘Faktor Kelekatan menawarkan sesuatu yang berbeda sekali. Prinsip ini menyodorkan pandangan bahwa masalahnya mungkin tidak berhubungan sama sekali dengan konsepsi pesan secara keseluruhan.’ Pada tayangan Sesame Street dan Blue’s Clues, gagasan sederhana itu berupa pengulangan tayangan, penyampaian pesan dalam struktur naratif, dan melibatkan penonton secara aktif dalam keseluruhan pertunjukan. Mirip dengan ini, Wunderman yang menangani perusahaan rekaman Columbia membuat sebuah iklan interaktif di mana pemirsa TV yang melihat tanda kotak emas tertentu pada iklan Columbia di majalah, berhak mendapat hadiah menarik dari Columbia. Trik ini memaksa pemirsa untuk menunggu-nunggu dan melihat iklan Columbia di televisi serta memberi perhatian pada iklan Columbia versi cetak di majalah. Nah, tugas Anda yang kedua berkaitan dengan Faktor Kelekatan adalah keluar sebentar dari substansi pesan yang ingin disampaikan dan menemukan sebuah cara sederhana yang membuat pesan itu mengalir tak terbendung ke benak khalayak dan bertahan di sana.

Kekuatan konteks menjadi bagian terbesar pembahasan di buku ini, kalau bukan faktor terpenting dari tiga syarat terjadinya tipping. ‘Kekuatan konteks merupakan argumen yang mengacu ke lingkungan (enviromentalism)...bahwa perilaku adalah sebuah fungsi dalam konteks sosial.’ Bedanya, Kekuatan Konteks mengacu pada hal-hal kecil yang berperan dalam sebuah perubahan. Gladwell mencontohkan kasus penurunan drastis kejahatan di kereta bawah tanah New York City awal tahun 90-an. Bukan karena sebuah gagasan besar atau tindakan luar biasa, tetapi karena ide sederhana menghapus grafiti dan menangkal aksi corat coret di kereta. ‘Kejahatan-kejahatan kecil, pelanggaran-pelanggaran remeh, yang lazimnya dianggap tidak signifikan....sesungguhnya merupakan Tipping Point menuju kejahatan-kejahatan besar.’ Lingkungan gerbong yang jorok penuh grafiti mengisyaratkan tidak adanya kendali di lingkungan itu yang akhirnya mendorong tindakan kejahatan yang lebih besar (teori Broken Windows).

Upaya membuat lingkungan (konteks) yang tepat bagi sebuah tipping point agaknya menjadi upaya yang paling sulit dibanding dua upaya sebelumnya. Ini juga yang menjadi semacam hambatan bagi realisasi ide tipping point secara keseluruhan. Apalagi bila upaya itu ternyata tidak lagi bisa dianggap sebuah ‘upaya kecil’. Seperti misalnya pada contoh kasus menanggulangi dampak tembakau. Gladwell antara lain mengusulkan pengurangan kadar nikotin sampai pada batas di bawah kadar yang bisa menyebabkan ‘kelekatan’. Tentu ini membutuhkan intervensi pemerintah. Dalam konteks Indonesia, tentu ini menjadi upaya yang tidak kecil mengingat Pemerintah sendiri masih mendua menyikapi kebiasaan merokok ini.

Paling tidak, gagasan tipping point ini memberi kita satu harapan pada perubahan positif dengan satu langkah (kecil) yang cerdas. Adakalanya usaha yang melibatkan sumberdaya yang besar tidak membawa perubahan yang diinginkan karena tidak melibatkan orang-orang yang tepat, cara yang sederhana namun cerdas, dan lingkungan yang mendukung terlaksananya perubahan itu.

Baca selengkapnya...

Pengikut

  © Blogger template Palm by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP