Sang Pemenang Pulang Bertualang

>> Kamis, 31 Desember 2009

Barangkali benar, musuh terbesar manusia saat ini adalah televisi. Baiklah, berdiri sejajar di sebelahnya, sekutu terdekatnya, media cetak. Keduanya berperan besar dalam merekonstruksi realitas berdasar keinginan segelintir pengkhotbah fetishisme, dan menampilkan hasilnya dalam kemasan memikat, mulus, gemerlap. Masuk akal bila bungkus menjadi segalanya, ia bahkan lebih penting daripada isi, itu pun jika isi masih diperlukan.

Sayangnya, di mana-mana bungkus selalu dimaksudkan untuk menutupi, mengelabuhi atau menggoda. Kitsch, menurut istilah Kundera. Karena ia tidak ditujukan untuk merepresentasikan isi. Tapi ia bahkan lebih gaduh. Karena itulah ia menjadi menarik ketika ditampilkan di layar televisi atau direproduksi besar-besaran di media cetak. Jutaan orang dibuat terkesima, terbuai, dan secara tak sadar berusaha menjadi bagian dari hiruk pikuk itu. Dalam konteks budaya ‘kemasan’ inilah novel Paulo Coelho, The Winner Stands Alone (Gramedia Pustaka Utama, Juli 2009, 468 halaman) menjadi menarik untuk disimak.

Mengambil setting kota kecil Cannes saat berlangsung festival film tahunan, Coelho mempertemukan tokoh-tokohnya, tidak hanya para pengusaha dan seniman film, tetapi juga – dalam novel ini – orang-orang yang rela mengorbankan apa pun, bersaing dengan sesamanya, untuk bisa menjadi bagian dari sirkus besar itu. Ada Gabriel, mantan pemain drama sekolah yang berambisi besar menjadi seorang aktris film. Maureen, sineas pemula yang sudah mempertaruhkan segalanya untuk membuat sebuah film yang akan ditawarkan ke seorang distributor kenamaan. Dan Jasmine, model kulit hitam yang mulai naik daun dan menjadi incaran desainer kelas dunia. Coelho menguliti sisi-sisi kehidupan tokoh-tokoh itu dengan menarik untuk menegaskan betapa kemegahan yang ditampilkan selama dua belas hari festival itu tak lebih kulit terluar yang menutupi kepalsuan di dalamnya.

Di tengah ambisi para tokoh yang berkecamuk itu, Coelho menyatukannya melalui tokoh Igor, seorang pengusaha telekomunikasi Rusia, yang datang ke Cannes dengan agenda tersendiri: mendapatkan kembali cinta Ewa, mantan istri yang kini menjadi pasangan hidup Hamid, seorang couturier ternama. Cara yang ditempuh Igor memang mengerikan: ia melakukan pembunuhan di tengah hingar bingar festival dengan harapan akan menarik perhatian Ewa. ‘Aku akan menghancurkan dunia sampai istriku sadar betapa berartinya dia bagiku dan bahwa aku siap mengambil risiko apa pun untuk mendapatkannya kembali.’ Pengusaha kaya Rusia yang pernah mengenyam ‘pendidikan’ medan perang Afghanistan itu tanpa kesulitan mengakhiri hidup para korbannya dengan berbagai cara yang mengejutkan dan sangat rapi. Satu per satu korban jatuh di tangan Igor, satu per satu dunia ia hancurkan.

Ini ironi lain yang ditampilkan Coelho melalui novelnya: di tengah arus budaya kemasan, serba permukaan, dangkal, kematian pun tak lebih dari persoalan yang juga dangkal dan banal. Kasus pembunuhan sekedar bumbu pedas berbentuk breaking news di sela-sela liputan perhelatan serba glamor. Kematian, apalagi dengan cara yang ‘tak wajar’ adalah komoditas menggiurkan bagi media, terutama jika itu menyangkut seorang tokoh publik. Bahkan seorang inspektur polisi pun berkepentingan menjadikan pengusutan kasus ini untuk popularitas pribadinya. Motif dan ritual pembunuhan yang dilakukan Igor pun tak kalah absurd: selepas satu pembunuhan ia lakukan, ia mengirimkan SMS ke Ewa, memberitahukan bahwa ‘aku sudah menghancurkan satu dunia untukmu...’ Seremeh itu!

Rentetan pembunuhan yang dilakukan Igor ini mengingatkan pada kasus yang sama yang dilakukan Zodiac. Hingga kini kasus Zodiac dianggap tidak terpecahkan (kisahnya diangkat ke layar film tahun 2007 oleh sutradara David Fincher). Sama halnya dengan Igor, Zodiac juga melakukan pembunuhan nyaris tanpa ciri khusus sebagaimana umumnya kasus pembunuhan berantai. Satu hal yang selalu dilakukan Zodiac sebelum (atau sesudah) pembunuhan adalah menulis pesan ke media massa. Ia mengancam agar pesan itu mendapat tempat terhormat di koran atau sebaliknya ia akan melakukan pembunuhan berikutnya. Sungguh miris bila mengetahui bahwa pembunuh tengik itu melakukan kekejian semata karena ingin menjadi bagian dari berita di koran.

Hasrat untuk ‘mengapung’ di permukaan dan terlihat oleh media menjadi perhatian Coelho. Melalui Gabriela, tokoh yang mengambil porsi cukup banyak di novel ini dan ‘dibiarkan hidup’ hingga akhir, Coelho menampilkan galau orang-orang yang dalam realitas bentukan media dikukuhkan sebagai orang sukses, dianggap pemenang dalam kancah persaingan. Dalam sebuah ‘dialog pengukuhan’ Gabriela sebagai pemenang audisi untuk sebuah peran di film, sutradara film itu memberikan sedikit penegasan: ’Jadi...kau akan hidup bak jutawan dan bisa berlagak bagai bintang besar, tapi ingat satu hal: tidak ada yang nyata...’ Ia juga menggarisbawahi konsekuensi penandatanganan sebuah kontrak ‘ sebelum kau membubuhkan tandatangan, dunia ini milikmu sendiri dan kau bisa berbuat sesuka hati, tapi begitu kau menandatangani kontrak, kau harus melepaskan semuanya.’ Bukan hal yang baru bahwa sejak saat itu kehidupan seorang ‘Gabriela’ tergantung pada citra yang kelak akan didiktekan untuknya dan menjadi selubung cantik saat berada di depan publik.

Ini memang bukan cerita dengan logika sebuah novel thriller atau detektif. Gaya bertutur Coelho yang ‘adem’, kadang seperti mengajak untuk merenung (mengingatkan pada novel Sang Alkemis), dan masuk ke kedalaman pikiran seorang Igor, satu-satunya tokoh yang punya cara sendiri dalam melihat fenomena Cannes. Makanya, tak mengejutkan ketika Igor ‘diselamatkan’ dari absurditas pembunuhan acaknya (justru) melalui kemunculan bayangan gadis beralis hitam yang menjadi korban pertamanya. Sosok yang bahkan secara fisik tak nyata ini mampu mengubah orientasi pencarian Igor di belantara Cannes.

Dari sini Coelho seakan ingin mengatakan bahwa sang pemenang mendapatkan ‘hadiahnya’ justru ketika ia memutuskan untuk melepaskan ‘buruannya’. Rela menukar hasrat fetisnya demi sebuah kedalaman. ‘Jiwa kita menderita, sangat menderita, saat kita memaksanya untuk menjalani kehidupan yang dangkal. Jiwa kita menyukai segala sesuatu yang indah dan dalam.’

Baca selengkapnya...

Sejarah Dan Lain-lain Dalam Sebotol Acar

>> Minggu, 29 November 2009

Di manakah seharusnya menempatkan sebuah fiksi di antara sekumpulan realitas? Apa yang terjadi saat sejumlah kejadian (yang dianggap) nyata diawetkan di atas selembar kertas koran atau dalam buku-buku sejarah? Bayangkan andai kemudian di atasnya tertumpuk potongan/kliping cerita pendek atau buku novel yang telah kehilangan sampul. Bagaimana selanjutnya memisahkan fiksi dan yang non-fiksi dari tumpukan itu? Atau meminjam istilah Sapardi, yang mana berita yang mana cerita?

Pertanyaan itu tidak penting barangkali. Bahkan untuk novel karya Salman Rushdie, Midnight’s Children (PT Serambi Ilmu Semesta, Agustus 2009, 689 halaman), yang diakui penulisnya, begitu dekat dengan perjalanan hidupnya, dan sejarah India sebagai latarbelakang. “Di barat orang cenderung membaca Midnight’s Children sebagai novel fantasi, sedangkan di India orang memandangnya novel realis, hampir menyerupai sejarah.” Ini tentu disadari sepenuhnya oleh Rushdie, misalnya saat ia memasukkan nama-nama tokoh di dunia nyata –baik di kehidupan pribadi maupun tokoh nasional-- ke dalam novelnya, seakan tak ada nama lain yang lebih pantas.

Tak hanya itu. Simaklah bagaimana Rushdie membuka novelnya dengan tarian indah di ruang sempit antara berita dan cerita,” Aku dilahirkan di Bombay...pada suatu masa. Tidak, itu tidak cukup, kita tidak bisa menghindari tanggal: Aku lahir di Rumah perawatan Dokter Narlikar pada 15 Agustus 1947; Dan jam berapa? Jam juga penting. Baiklah kalau begitu: pada malam hari. Tidak, ini perlu ditambahkan... Persis saat tengah malam, sebenarnya. Kedua jarum jam merapatkan telapak tangannya dalam sambutan hormat saat aku datang.” Keseluruhan novel itu sendiri adalah penuturan tokoh Saleem Sinai (sulit untuk tidak menisbahkannya sebagai Rushdie) dengan gaya setengah mendongeng kepada sang "penyimak", Padma (baiklah, di kehidupan nyata, salah satu istri Rushdie juga bernama Padma, sekalipun mereka menikah jauh setelah novel itu ditulis), sebagaimana Syahrazad mendongeng untuk Pangeran Syahriar di Kisah Seribu Satu Malam.

Maka beginilah inti dari ‘dongeng’ Saleem kepada Padma. Tanggal 15 Agustus 1947 baru mulai bergulir ketika dua orang bayi lahir di tempat yang sama, di waktu tengah malam yang sama. Seorang perawat yang sedang dirundung masalah secara sengaja menukar label nama kedua bayi tersebut, “memberi bayi yang miskin kehidupan istimewa dan menghukum anak keluarga kaya dengan akordion dan kemiskinan...” Tepat pada waktu yang sama juga, Jawaharlal Nehru memproklamirkan kemerdekaan India dari Britania Raya. Dua orang bayi lahir dan menjadi cermin bagi kutub-kutub sebuah negeri “yang semacam mimpi”, kaya-miskin, hindu-islam, sipil-militer, pusat-pinggiran, barat-timur, dst. Ketegangan antara kutub-kutub itu mewujud dalam kehidupan Saleem (dan alter egonya, Shiva) karena anak-anak yang lahir tepat tengah malam bersamaan dengan kelahiran sebuah negara merdeka “adalah juga anak-anak waktu: berayahkan sejarah..” Lewat penuturan tokoh Saleem, satu diantara ratusan anak-anak tengah malam, potret perjalanan India -- “sebuah fiksi kolektif yang di dalamnya segala sesuatu adalah mungkin”, ditampilkan. Dan pembaca seperti diajak melihat adegan-adegan yang dihasilkan dari proses zoom in terhadap narasi besar sejarah.

Novel ini dibagi menjadi tiga bagian. Bagian pertama berisi gambaran leluhur Saleem hingga saat-saat menjelang kelahirannya. Bagian kedua, bagian terbesar dari novel ini, menceritakan kelahiran Saleem (dan India), masa sekolahnya (euforia India muda, pemilu, rencana pembangunan lima tahun), persaingannya dengan Shiva di Midnight Children Conference (pertikaian India-Pakistan), hijrah ke Pakistan (kekalahan India dari China di Himalaya dan gencatan senjata), kematian kakeknya, Aadam Aziz (kematian ayah India, Jawaharlal Nehru), hingga musnahnya keluarga Saleem akibat perang (akhir perang India-Pakistan). Bagian ketiga mengisahkah kembalinya Saleem ke India, di saat Partai Kongres Baru dan Indira Gandhi berkuasa, sampai pertemuannya dengan perawat -- yang pernah menukar ‘nasibnya’ dengan Shiva, dan Padma, kepada siapa biografi ini dituturkan oleh Saleem.

Di bagian akhir novel ini pula, Saleem menuturkan bagaimana sejarah yang diawetkan serupa acar dalam botol-botol itu – tiga puluh jenis acar mewakili tiga puluh bab kisah autobiografis – bisa saja tidak persis seperti itu. “Terkadang, dalam sejarah versi acar, ...aku harus merevisi dan merevisi, meningkatkan dan memperbaikinya, tetapi tidak ada waktu maupun energi. Aku terpaksa menawarkan kalimat keras kepala ini saja: Itulah yang terjadi karena memang demikianlah yang terjadi.” Dengan kata lain apa yang ada dalam botol-botol acar itu bisa saja sejarah, dan bisa dongeng, bisa juga campuran tertentu dari keduanya. Lalu bagian mana yang nyata dan bagian mana yang bukan?

Pertanyaan itu tidak penting lagi barangkali, sungguh pun ada beberapa pihak yang pernah terlanjur gerah sesaat setelah menyimaknya. Indira Gandhi, semasih berkuasa tahun 1984, pernah melayangkan keberatan atas kalimat di bab 28 novel ini yang dinilai sebagai fitnah. Masalah ini memang tidak sampai meruncing ke pengadilan, dan kalimat kontoversial itu akhirnya dicabut dari novel ini. Terlepas dari itu, novel ini memang lebih mudah dinikmati sebagai catatan subyektif seorang saksi sejarah tanpa perlu ada keharusan untuk melakukan alignment dengan catatan sejarah yang dianggap resmi. Dengan begitu akan terbuka semua alternatif pemaknaan atas narasi yang ditawarkan oleh Rushdie. Juga kekayaan literer yang mengalirkan berbagai sugesti (sinisme dalam kritik sosial, misalnya) sesuai bumbu yang ditambahkan Rushdie ke dalamnya. Dalam istilah Rushdie, semua itu adalah acar, tak lebih dan tak kurang.

*****
Midnight’s Children adalah salah satu karya terpenting Rushdie, kalau bukan yang terbaik. Dinobatkan sebagai The Booker of Bookers Prize Winner tahun 1993 dan The Best of The Booker Prize Winners tahun 2008, penghargaan khusus untuk sastra berbahasa Inggris di seluruh Inggris Raya, menunjukkan bahwa karya ini bisa mengatasi proses pelapukan oleh zaman, setidaknya sampai lebih dari 25 tahun sejak pertama kali diterbitkan. Cara bertutur Rushdie yang unik, ‘percaya diri’, dan segar bisa dinikmati pembaca dengan baik berkat penerjemahan yang bagus oleh Yuliani Liputo. Andai saja versi terjemahan ini dicetak dengan material yang lebih bagus tentu akan lebih representatif untuk sebuah masterpiece.

Baca selengkapnya...

Sarapan Bersama Capote

>> Senin, 12 Oktober 2009

Mencari tempat sarapan yang asyik di New York? Tanyakan kepada Holly Golightly, maka jawabannya adalah toko perhiasan Tiffany. Datanglah pagi hari saat toko itu masih tutup. Kalau beruntung, kita akan menjumpai sosok langsing cantik sedang mengunyah croissant, menyesap kopi dari gelas kertas sambil matanya yang tertutup kacamata hitam besar itu tak puas-puas menatap etalase. Jangan hanya terpesona oleh tubuh ramping sesehat sereal sarapan, yang meruapkan kesegaran sabun dan lemon, dan semburat merah jambu di pipinya. Karena di hadapan kita Holly akan terbuka seperti sebuah buku cerita. Semakin lama kita terbuai kisahnya, semakin berat kita menanggung risiko untuk jatuh cinta.

Tak penting benar apakah kisah itu nyata atau bualan belaka. Semuanya sama saja, mantera hipnotis yang akan membuat para pria termehek-mehek mengharapkan cintanya. Benarkah itu cinta? Novel pendek Truman Capote, Breakfast at Tiffany’s (PT Serambi Ilmu Semesta, Februari 2009, 163 halaman), tidak persis menjawab pertanyaan itu. Sekilas novel ini sekedar berisi penuturan tokoh ‘aku’ (dalam versi film bernama Paul Varjak) tentang Holly Golightly, wanita penghibur kelas atas yang ia ‘cintai’ namun, sebagaimana para pria lainnya, ia gagal memilikinya. Paul bukanlah dari golongan pria yang ‘mampu membayar lima puluh dolar untuk ke toilet’. Kedekatannya dengan Holly semata karena tempat tinggalnya yang satu apartemen plus wajahnya yang mirip saudara kandung Holly, Fred.

Kalau menyimak bagaimana Holly memperlakukan para pria (dan dicintai dengan berbagai cara oleh para penggemarnya), barangkali novel ini melulu cerita mengasyikkan tentang ‘taktik bisnis’ Holly untuk mempertahankan hegemoninya atas laki-laki. Tapi melalui Breakfast at Tiffany’s rasanya Capote seperti sedang mengolok-olok kegamangan manusia menghadapi keinginan (dan perasaannya) sendiri. Dengan memasang tokoh-tokoh serba karikatural (terlihat lebih jelas dalam versi film-nya), Capote leluasa menceritakan kegamangan itu, kadang dengan kalimat yang menggelitik. Misalnya saat Holly, waktu berusia 14 tahun, dilamar oleh dokter hewan 50-an tahun yang telah menyelamatkannya dari kepapaan, Holly dengan ringan berkata, ‘Tentu saja kita akan menikah. Aku belum pernah menikah...’ Semudah itu.


Simak juga bagaimana misalnya Joe Bell, salah seorang penggemar berat Holly, mengungkapkan perasaannya: ’Tentu saja aku mencintainya. Tapi bukan berarti aku ingin menyentuhnya.. Bukannya aku tidak pernah memikirkan sisi yang itu. Bahkan bagi orang seumurku, aku akan berumur enam puluh tujuh.... semakin tua diriku, sisi yang itu semakin mengisi pikiranku...’ Beberapa kali tokoh ‘aku’ kesulitan menafsirkan sikap Holly. Menyaksikan Holly sarapan di depan Tiffany’s terasa sama menyedihkannya dengan melihat para pria mengharap remah-remah cinta dari seorang wanita penghibur.


Tema cerita seperti ini juga disinggung penulis lain seperti Milan Kundera melalui The Unbearable Linghtness of Beings (Fresh Book, Jakarta 2007, 455 halaman). Hanya saja, Kundera membicarakannya dengan cara ‘lebih serius’. Baginya, wajar bila manusia sering tidak yakin dengan apa yang diinginkannya, ‘...karena manusia hanya mempunyai satu kehidupan, sehingga tidak dapat dibandingkan dengan kehidupan lain yang pernah dijalani...’ Sekalipun tiap manusia sudah mempunyai semacam tugas/garis hidup (es muss sein) masing-masing, ada kalanya sepanjang perjalannya mereka menemukan semacam kebetulan-kebetulan (tak terduga), coinsidence yang sering membuat gamang. Sayangnya, manusia tak bisa ber-eksperimen untuk menguji apakah mereka harus mengikuti keinginan/perasaannya atau tidak, demikian Kundera.



Berbeda dengan versi film-nya yang dibuat happy ending (dan bagi Capote itu sebuah pengkhianatan), novel Breakfast at Tiffany’s ditutup lebih cantik justru dengan membiarkan Holly mengembara mengikuti es muss sein-nya. Tak jelas apakah di Brazil atau di salah satu sudut Afrika. Yang pasti tidak sesederhana nasib kucing peliharaan Holly yang sudah punya tuan baru, sekalipun tokoh ‘aku’ berharap Holly pun menemukan tempatnya yang tepat. Mungkin bagi Capote, ending yang tuntas seperti versi film-nya akan menyederhanakan novel pendek ini menjadi sekedar sebuah cerita. Bukan sebuah statement.

Baca selengkapnya...

Menelisik Titik Lenting

>> Rabu, 09 September 2009


Sebuah merek yang nyaris masuk liang lahat tiba-tiba bangkit bahkan menemukan kembali kejayaannya gara-gara ulah iseng sekelompok anak muda yang ingin tampil beda. Merek yang beruntung itu adalah Hush Puppies. Akhir tahun 1994 Wolverine, perusahaan yang membuat Hush Puppies, sudah mempersiapkan ‘pemakaman’ bagi merek itu dengan merencanakan penghentian produksi sepatu kulit klasik Hush Puppies. Namun niat itu urung dilaksanakan lantaran mereka melihat sebuah keajaiban. Beberapa remaja iseng yang ingin tampil beda memakai sepatu Hush Puppies yang sudah ketinggalan jaman. Keisengan ini diikuti oleh remaja lainnya sampai kemudian menyebar tak terkendali. Toko sepatu loak yang menjual Hush Puppies diserbu pembeli. Seorang perancang adi busana bahkan menjadikannya salah satu pelengkap koleksi musim semi. Pesanan sepatu baru pun mendadak mengalir ke pabrik Wolverine bagai air bah. Hanya dalam kurun dua tahun Hush Puppies kembali sehat wal afiat. Sebuah tindakan kecil tanpa sengaja itu telah menyelamatkan sebuah merek besar dari kematiannya.

Kecil itu esensiil, kata Arifin C Noer saat menjelaskan nama kelompok teaternya (Teater Ketjil). Tak banyak yang seperti Arifin, mau memberi perhatian pada hal-hal kecil, apalagi ketika berbicara tentang ide-ide besar, perubahan-perubahan besar. Contoh di atas adalah kisah pembuka dari buku Tipping Point, tulisan Malcolm Gladwell (PT GPU, 2007). Sub judul buku ini, Bagaimana Hal-hal Kecil Berhasil Membuat Perubahan Besar, cukup provokatif dan menggelitik. Gladwell mengajak kita menelusuri ide-ide sederhana yang mampu menjalar bagai epidemi dan kemudian menghasilkan sebuah perubahan besar. Dan yang lebih penting dari semua itu, tentu saja, bagaimana membuat dan mengendalikan secara sengaja epidemi positif ciptaan kita sendiri.

Tipping point adalah sebutan untuk saat dramatis ketika segala sesuatu dapat berubah total secara sekaligus. Dalam kasus Hush Puppies di atas, tipping point terjadi saat orang-orang mulai beramai-ramai mengikuti ulah iseng para remaja memakai sepatu Hush Puppies. Di situ ada tiga hal yang terjadi dan menjadi ciri khas sebuah tipping point, yaitu sifat menular, kenyataan bahwa perubahan itu berawal dari ide yang sederhana, dan adanya perubahan yang dramatis dalam kurun waktu relatif singkat. Kalau dalam kasus Hush Puppies tipping point itu terjadi secara tidak sengaja, lantas bagaimana kita merancang sebuah tipping point yang disengaja?

Gladwell menjelaskannya melalui tiga kaidah epidemi, yaitu Hukum yang sedikit (the Law of the Few), Faktor Kelekatan (the Stickiness Factor) dan Kekuatan Konteks (the Power of Context). Gagasan mengenai tipping point memang tak bisa dilepaskan dari fenomena epidemi, penularan ‘penyakit’ secara cepat dan tak terelakkan. Ada tiga faktor berperan di situ, yaitu: orang yang bertindak sebagai peng-infeksi, sesuatu yang ditularkan dan lingkungan tempat terjadinya wabah. Jadi, hal pertama yang harus dimiliki untuk sebuah tipping point yang disengaja adalah: orang yang bertindak sebagai peng-infeksi.

Hukum yang sedikit menjelaskan bahwa orang yang bisa berperan sebagai peng-infeksi itu jumlahnya tidak banyak. Ada sejenis ketrampilan sosial yang wajib dimiliki orang tersebut. Gladwell menyebut tiga kelompok orang, yaitu: para penghubung (the connector), para bijak bestari (mavens) dan para penjaja (salesman). Ketiganya berbeda hanya dalam cara mereka bekerja. Namun ada satu hal yang menyamakan mereka yakni adanya semacam bakat dan ketrampilan sosial yang khas. Baik penghubung, para bijak bestari maupun para penjaja, adalah orang-orang yang menarik, persuasif, peka, dan punya kepedulian yang tulus. Mereka dikenal dan mengenal banyak orang. Mereka mempunyai kemampuan menularkan emosi kepada orang lain (merujuk pada buku Emotional Contagion, E. Hatfield dan J. Cacioppo). Temukan mereka, dan Anda sudah punya satu modal untuk membuat sebuah tipping point terencana.

Yang kedua adalah faktor kelekatan, berkaitan dengan pesan atau gejala yang ditularkan. Sebagaimana dimaklumi, era banjir informasi dewasa ini memberikan masalah tersendiri bagi penyampai pesan untuk menarik perhatian dan melekatkan informasi di benak khalayak. Di bagian ini Gladwell mengedepankan contoh tayangan Sesame Street dan Blue’s Clues, serta keberhasilan trik pemasaran sederhana Wunderman, yang dari contoh itu terbukti bahwa faktor kelekatan rupanya tidak melulu berkaitan dengan substansi/kualitas pesan yang ingin disampaikan tetapi justru pada sebuah gagasan sederhana tapi tepat waktu. ‘Faktor Kelekatan menawarkan sesuatu yang berbeda sekali. Prinsip ini menyodorkan pandangan bahwa masalahnya mungkin tidak berhubungan sama sekali dengan konsepsi pesan secara keseluruhan.’ Pada tayangan Sesame Street dan Blue’s Clues, gagasan sederhana itu berupa pengulangan tayangan, penyampaian pesan dalam struktur naratif, dan melibatkan penonton secara aktif dalam keseluruhan pertunjukan. Mirip dengan ini, Wunderman yang menangani perusahaan rekaman Columbia membuat sebuah iklan interaktif di mana pemirsa TV yang melihat tanda kotak emas tertentu pada iklan Columbia di majalah, berhak mendapat hadiah menarik dari Columbia. Trik ini memaksa pemirsa untuk menunggu-nunggu dan melihat iklan Columbia di televisi serta memberi perhatian pada iklan Columbia versi cetak di majalah. Nah, tugas Anda yang kedua berkaitan dengan Faktor Kelekatan adalah keluar sebentar dari substansi pesan yang ingin disampaikan dan menemukan sebuah cara sederhana yang membuat pesan itu mengalir tak terbendung ke benak khalayak dan bertahan di sana.

Kekuatan konteks menjadi bagian terbesar pembahasan di buku ini, kalau bukan faktor terpenting dari tiga syarat terjadinya tipping. ‘Kekuatan konteks merupakan argumen yang mengacu ke lingkungan (enviromentalism)...bahwa perilaku adalah sebuah fungsi dalam konteks sosial.’ Bedanya, Kekuatan Konteks mengacu pada hal-hal kecil yang berperan dalam sebuah perubahan. Gladwell mencontohkan kasus penurunan drastis kejahatan di kereta bawah tanah New York City awal tahun 90-an. Bukan karena sebuah gagasan besar atau tindakan luar biasa, tetapi karena ide sederhana menghapus grafiti dan menangkal aksi corat coret di kereta. ‘Kejahatan-kejahatan kecil, pelanggaran-pelanggaran remeh, yang lazimnya dianggap tidak signifikan....sesungguhnya merupakan Tipping Point menuju kejahatan-kejahatan besar.’ Lingkungan gerbong yang jorok penuh grafiti mengisyaratkan tidak adanya kendali di lingkungan itu yang akhirnya mendorong tindakan kejahatan yang lebih besar (teori Broken Windows).

Upaya membuat lingkungan (konteks) yang tepat bagi sebuah tipping point agaknya menjadi upaya yang paling sulit dibanding dua upaya sebelumnya. Ini juga yang menjadi semacam hambatan bagi realisasi ide tipping point secara keseluruhan. Apalagi bila upaya itu ternyata tidak lagi bisa dianggap sebuah ‘upaya kecil’. Seperti misalnya pada contoh kasus menanggulangi dampak tembakau. Gladwell antara lain mengusulkan pengurangan kadar nikotin sampai pada batas di bawah kadar yang bisa menyebabkan ‘kelekatan’. Tentu ini membutuhkan intervensi pemerintah. Dalam konteks Indonesia, tentu ini menjadi upaya yang tidak kecil mengingat Pemerintah sendiri masih mendua menyikapi kebiasaan merokok ini.

Paling tidak, gagasan tipping point ini memberi kita satu harapan pada perubahan positif dengan satu langkah (kecil) yang cerdas. Adakalanya usaha yang melibatkan sumberdaya yang besar tidak membawa perubahan yang diinginkan karena tidak melibatkan orang-orang yang tepat, cara yang sederhana namun cerdas, dan lingkungan yang mendukung terlaksananya perubahan itu.

Baca selengkapnya...

[Tipping Point] Amnesia Penanggulangan Rokok

>> Jumat, 28 Agustus 2009


Pada peringatan hari tanpa tembakau sedunia tahun 2003 Menteri Kesehatan RI (saat itu Dr. Sujudi) menyatakan bahwa paling lambat tahun 2005 Indonesia akan memiliki Undang-Undang Anti rokok, menyusul kesepakatan negara-negara yang tergabung dalam badan kesehatan dunia (WHO) untuk mulai memberlakukan The WHO Framework Convention on Tobacco Control. Sayangnya, pernyataan Menkes seperti lenyap diterbangkan angin. Usulan UU anti rokok itu bahkan pernah ditolak DPR periode 2006-2007. Akhir tahun 2008 lalu usulan itu masuk lagi ke DPR, namun hingga kini belum ada tanda-tanda pembahasan undang-undang tersebut.

Sebagaimana dimaksudkan dalam FCTC, paling tidak UU anti rokok itu bisa melarang kampanye perusahaan rokok yang tanpa kendali seperti sekarang ini. Sulit dipahami bahwa perusahaan rokok seperti dibebaskan melakukan segala hal untuk memengaruhi orang terutama dari usia belia untuk mulai merokok. Pembagian rokok gratis di mall, di konser musik bahkan di pertandingan olah raga, sudah bukan hal aneh lagi. Kita tahu, sebagaimana penelitian yang diungkap MG di Tipping Point, usia 12 tahun – 18 tahun adalah saat awal seseorang biasa mulai merokok. Jika pada usia tersebut mereka sudah merokok melebihi ambang batas tertentu (5 mg nikotin per hari), sangat mungkin mereka akan menjadi pencandu hingga tua.

Karenanya, sangat penting untuk memutus mata rantai ini. Dan ini sepertinya disadari benar oleh industri rokok. Andai mereka tidak menggarap segmen usia remaja, sangat mungkin mata rantai itu putus. Saat para pecandu tua hilang dan tidak ada ‘penerusnya’, mereka harus siap-siap gulung tikar, beralih usaha atau memindahkannya ke negara lain, seperti yang dilakukan para ‘saudagar penyebar maut AS’ (meminjam istilah William Ecenbarger, America’s New Merchants of Death), di Indonesia. Ini pula yang mungkin menjadi ‘latar belakang’ betapa sulitnya meng-gol-kan sebuah UU anti rokok.

Sekedar ilustrasi bagaimana para pelobi dari industri rokok memengaruhi para wakil rakyat di AS pada tahun 90-an, seperti dikutip George Milowe di situs encognitive.com berikut ini : In the 1991-92 election period, tobacco lobbyists gave $2.3 million to Congressional candidates. Phillip Morris and RJR Nabisco were among the top seven corporate donors. Tobacco interests also gave $2.5 million to the Republican and Democratic parties." Also, under pressure from tobacco lobbyists in the 1980's, the U.S. Trade Representative helped to force open the markets of Japan, South Korea, Taiwan, and Thailand to U.S. tobacco companies, challenging these countries' and-tobacco health measures as unfair trade barriers, and insuring a tremendous growth of tobacco use, including amongst young people.

Di tengah kegamangan dan amnesia para wakil rakyat dalam membahas dan mengesahkan UU anti rokok tersebut, langkah yang diambil beberapa perguruan tinggi seperti Unissula Semarang, Unsoed Purwokerta, dan belakangan juga UGM Yogyakarta yang melarang semua bentuk promosi rokok di wilayah kampus, perlu mendapat apresiasi yang tinggi. Harapan kita tentu langkah ini diikuti oleh semua perguruan tinggi di Indonesia. Dengan harapan, meminjam penalaran tipping point, bisa menjadi sebuah langkah kecil bagi sebuah perubahan besar.

Baca selengkapnya...

[Tipping Point] Tentang Brand Community

>> Jumat, 21 Agustus 2009

Silih Agung Wasesa, pakar pemasaran dan public relation, beberapa waktu lalu menulis di majalah Marketing edisi Agustus 2009 tentang Community Advertisement. Di situ dia mengungkapkan kecenderungan merek-merek untuk melakukan kegiatan aktivasi brand community, yaitu sebuah upaya menanamkan kesadaran dan loyalitas merek melalui kegiatan yang melibatkan konsumen atau komunitas konsumen. Dia mencontohkan Nesvita yang membuat tantangan kolesterol, Lifebuoy dengan program Super-Dad-nya atau tantangan Rinso untuk ibu-ibu rumah tangga.

Tidak berlebihan jika banyak merek (terutama merek besar dan market leader) rela mengguyurkan sejumlah dana untuk kegiatan itu. Toh jika program itu tepat sasaran biayanya masih jauh lebih rendah dibanding beriklan di media. ‘...untuk anggaran iklan 5 miliar, maka hanya dibutuhkan maksimal 2 miliar untuk mencapai efektifitas yang sama kuatnya (dengan program community advertisement, ym)’. Sayangnya, masih menurut Silih Agung, beberapa kegiatan yang melibatkan komunitas tidak menuai hasil yang diharapkan. Penyebab yang paling menonjol setidaknya ada 2, yaitu: salah memilih brand endorser dari dalam komunitas yang digarap dan keliru menentukan issue atau informasi yang bisa membuat anggota komunitas menjadi bersemangat untuk berbagi.

Pemaparan Silih Agung ini agaknya senada dengan penjelasan Malcolm Gladwell tentang syarat-syarat terjadinya sebuah epidemi perubahan (Tipping Point), yaitu: Hukum tentang Yang Sedikit (the Law of the Few), Faktor Kelekatan (the Stickiness Factor), dan Kekuatan Konteks (the Power of Context). Mengenai Hukum tentang Yang Sedikit, MG berkisah tentang orang (atau sekumpulan orang) yang memang memiliki kelebihan dalam hal menularkan sebuah informasi dan menjadikannya titik awal perubahan. Dalam istilah MG orang-orang yang memiliki ketrampilan sosial yang langka, yang dia kelompokkan menjadi tiga jenis manusia, yaitu Para Penghubung (Connector), Para Bijak Bestari (Mavens) dan para Penjaja (Salesman).

Para Penghubung adalah mereka yang memiliki bakat khusus yang memungkinkan orang sedunia saling berhubungan. Kita tentu pernah mengenal orang-orang jenis ini, orang yang senang menghubungkan/mengenalkan kita dengan orang-orang lain. Sudah pasti mereka mengenal dan dikenal banyak orang. Kenal bukan dalam pengertian sok akrab atau agresif menjalin hubungan dengan orang lain karena ada ‘sesuatu’ yang diharapkan dari hubungan itu. MG menggambarkan Para Penghubung sebagai orang yang memiliki naluri untuk menjalin hubungan, senang bergaul dan tulus. ‘Ketika kebanyakan kita masih sibuk memilih siapa yang ingin kita sapa, dan menolak orang yang menurut kita kurang sepadan atau tinggal terlalu jauh atau sudah terlalu lama tidak jumpa, Lois dan Roger (Para Penghubung, ym) menyukai mereka semua.’

Yang kedua, Para Bijak Bestari (Maven) adalah orang yang memecahkan masalahnya sendiri –memuaskan kebutuhan emosionalnya sendiri—lewat memecahkan masalah orang lain. Dari bahasa asalnya (bahasa Yiddish), maven berarti orang pintar atau orang yang memiliki pengetahuan sangat luas. Tidak hanya itu, mereka juga senang menolong orang dengan pengetahuan yang mereka miliki. Seorang maven akan senang sekali jika informasi yang mereka berikan bisa membantu orang lain. Dan mereka melakukannya tanpa pamrih. Dia mungkin seseorang yang dengan senang hati membantu kita memilih perangkat elektronik yang bagus karena dia paham benar ihwal perlengkapan elektronik tersebut. Atau merekomendasikan sebuah buku yang cocok untuk kita karena dia memiliki segudang informasi mengenai buku, penulis dan tema-teman yang cocok dengan personal interest kita.

Namun seorang maven bukanlah seorang pembujuk. Mereka lebih seperti seorang guru. Adapun orang yang memiliki kemampuan untuk membujuk orang lain ketika orang itu belum yakin tentang sesuatu, disebut Salesman. Mereka tipe orang yang persuasif bahkan ketika mereka tidak sedang melakukan persuasi kepada kita. Dalam bukunya MG menguraikan bahwa persuasi tidak semata-mata bersifat verbal, justru yang non-verbal bisa memiliki efektifitas yang lebih besar karena sifatnya yang tersamar dan mudah merasuk. Faktor inilah yang membuat seorang Salesman bisa terlihat sangat menarik. Mereka menguasai seperangkat kemampuan komunikasi non-verbal.

Uraian tentang Hukum yang Sedikit ini mungkin bisa menjadi salah satu panduan untuk memilih seorang (atau sekelompok orang) brand endorser yang tepat dalam sebuah komunitas, sebagaimana dijelaskan oleh Silih Agung. Tentu saja cara ini berbeda dengan cara-cara konvensional yang sering dilakukan pemilik merek. Biasanya mereka ‘membanjiri’ orang yang dianggap sebagai panutan dalam kelompok dengan hadiah berupa uang, merchandise ataupun fasilitas-fasilitas khusus. Cara tersebut jelas merupakan jalan pintas yang terbukti tidak efektif.

Ada sebuah contoh kasus menarik di buku Tipping Point, yaitu bangkit kembalinya merek Hush Puppies. Sekitar tahun 1994, merek Hush Puppies sudah bisa dibilang mati. Penjualan sepatunya terus menurun, bahkan sempat terpikir untuk menghentikan produksi. Kemudian muncul sekelompok remaja di East Village dan Soho yang iseng memakai sepatu buatan Hush Puppies semata-mata karena ingin tampil beda. Keisengan ini kemudian menjalar ke remaja-remaja lain yang memuat toko-toko barang bekas diserbu pembeli. Sampai kemudian ada seorang desainer yang menggunakan sepatu Hush Puppies sebagai salah satu asesorinya. Sejak itu, pesanan terus mengalir dan dalam waktu dua tahun Hush Puppies kembali bangkit menjadi merek kelengkapan busana ngetren di Amerika. Uniknya, mereka tidak perlu mengeluarkan dana untuk membayar para remaja iseng tersebut.

Baca selengkapnya...

[Tipping Point] Dahsyatnya kekuatan konteks

>> Rabu, 19 Agustus 2009

Orang Indonesia yang datang ke Singapore mendadak bisa menjadi warga yang tertib. Membuang sampah pada tempatnya, mematuhi setiap rambu, bahkan untuk naik taksi pun mereka rela menunggu dalam antrian. Namun begitu kembali ke Indonesia, ‘sifat aslinya’ kembali keluar. Tentu ini bukan cerita yang baru. Sekedar ilustrasi yang mirip dengan beberapa contoh yang dikemukakan MG dalam buku Tipping Point, berkaitan dengan kekuatan konteks.

Mari kita lihat contoh kasus lain yang menarik di buku itu. Tahun 1980-an, New York City adalah tempat yang sangat menakutkan dengan angka kejahatan yang luar biasa tinggi. Dalam setahun ada lebih dari 2.000 kasus pembunuhan (setidaknya 5 kasus per hari!), dan 600.000 tindak kekerasan serius. Di terowongan-terowongan kereta api bawah tanah, yang berlaku adalah hukum rimba. Hampir setiap hari ada kasus penembakan dalam kereta. Kebanyakan gerbong keretanya jorok, penuh coretan (grafitti) dan fasilitas umumnya jauh dari memadai. Namun, tanpa banyak orang yang memahaminya, mulai tahun 1990-an, tiba-tiba saja angka kejahatan itu turun drastis. Apa yang terjadi?


Untuk memahami fenomena ini, MG mengutip sebuah teori dari kriminolog James Q. Wilson dan George Kelling yang disebut teori Broken Windows. Gambaran singkat teori itu seperti ini: jika jendela sebuah rumah pecah namun dibiarkan saja, siapa pun yang lewat cenderung menyimpulkan pastilah di situ tidak ada yang peduli atau bahwa rumah itu tidak berpenghuni. Dalam waktu singkat, akan ada lagi jendelanya yang pecah dan belakangan berkembang anarki yang menyebar ke sekitar tempat itu.

Pertengahan tahun 80-an, Goerge Kelling disewa oleh New York Transit Authority sebagai konsultan untuk mengatasi masalah kejahatan di kereta api bawah tanah. Untuk itu, Kelling meminta jawatan itu menerapkan teori Broken Windows-nya. Berbeda dengan pendapat kebanyakan pejabat pemerintah yang menginginkan penanganan kejahatan secara langsung, Kelling bersama direktur baru urusan kereta api justru memulai aksinya dengan menangani tindak corat-coret yang marak di dalam gerbong kereta. Setiap kali sebuah rangkaian gerbong menyelesaikan satu rute, gerbong-gerbong itu langsung masuk ke fasilitas pembersihan. Semua grafiti akan dibersihkan sampai tuntas. Hanya gerbong-gerbong yang bersih yang boleh beroperasi. Jelas langkah ini membuat tukang corat-corat kecewa dan marah karena ‘hasil karya mereka’ selalu lenyap tak berbekas.

Dalam waktu bersamaan, polisi juga menangkap para penumpang yang nekat naik kereta tanpa karcis. Selama ini para petugas kereta api tidak berkutik menghadapi para penumpang gelap tersebut. Apa yang didapat oleh polisi dengan aksi tersebut ternyata lebih dari yang mereka duga. Sebagian penumpang gelap tersebut ternyata juga para pelaku kejahatan atau orang yang kedapatan membawa senjata dan sejenisnya. Di sinilah Kelling membuktikan teorinya, bahwa kejahatan-kejahatan kecil, pelanggaran-pelanggaran remeh yang lazimnya dianggap tidak signifikan, sesungguhnya merupakan Tipping Point menuju kejahatan-kejahatan besar.

MG menyatakan bahwa teori Broken Windows ini sama dengan konsep Power of Context dalam pengertian sebuah gejala menular yang parah dapat diguncang lewat penanganan masalah-masalah kecil yang terjadi di lingkungan bersangkutan. Sebuah jendela yang rusak tidak akan dibiarkan berlama-lama dalam kondisi rusak yang bisa mengundang kerusakan lebih parah. Sama juga dengan kasus warga Indonesia yang datang ke Singapore, tidak diberi ruang sedikitpun untuk melakukan ‘pelanggaran kecil’. Di sana-sini ada ancaman denda yang siap dijatuhkan. Di setiap pojok ruang publik ada kamera pengintai yang siap menangkap basah para pelanggar. Apakah ini membuat warga Singapore menjadi ‘insan kamil’ di mana pun mereka berada? Tidak juga. Kalau kita melihat warga Singapore yang sedang berlibur ke pulau Bintan di kepulauan Riau, perilaku mereka tak beda jauh dengan warga Indonesia.

MG juga mengemukakan satu studi menarik mengenai FAE (Fundamental Attribution Error), yaitu sebuah kesalahan dalam menafsirkan perilaku seseorang yang cenderung didasarkan pada bakat, karakter atau pembawaan dengan mengecilkan peran situasi atau konteks. Fenomena ini muncul karena kebanyakan kita jauh lebih paham terhadap petunjuk-petunjuk personal ketimbang pada petunjuk-petunjuk kontekstual. Agak mengejutkan bahwa dalam sebuah studi oleh dua orang peneliti di New York tahun 1920 diketahui bahwa sifat seperti Kejujuran bukanlah sifat yang mendasar (fundamental trait). Dari penelitian itu mereka menyimpulkan kejujuran itu sifatnya situasional. Di bagian ini kita menjadi sedikit pesimis dengan beberapa uji kepantasan dan kelayakan yang sering dilakukan terhadap seseorang yang hendak menjabat satu posisi penting. Seandainya pun didapat kandidat yang pantas (proper), itu mungkin tidak akan menjamin bahwa yang bersangkutan akan tetap proper sepanjang masa jabatannya.

Ada contoh menarik dikemukakan di buku ini yaitu penelitian yang dilakukan oleh dua orang psikolog dari Princeton University, John Darley dan Daniel Batson, terhadap sekelompok siswa seminari. Para siswa itu diminta menyiapkan sebuah khotbah singkat mengenai keutamaan menolong orang lemah dan teraniaya berdasarkan literatur injil tentang orang Samaria yang Baik. Mereka kemudian diminta datang ke aula untuk menyampaikan khotbah itu. Di tengah perjalanan menuju aula itu, tanpa sepengetahuan para siswa, mereka akan dihadapkan pada situasi bertemu dengan seorang yang merintih-rintih di tepi jalan, kesakitan dan sangat menderita. Pertanyaannya, siapa diantara siswa itu yang akan tergerak untuk menolong?

Ada yang menarik dalam penelitian itu ketika para siswa seminari yang kelak menjadi pendeta atau pastor dan membaktikan hidupnya untuk menolong sesama, diminta untuk datang segera ke aula. Ketika diingatkan bahwa mereka kemungkinan akan terlambat sampai ke aula, hanya 10 persen dari para siswa itu yang tergerak untuk menolong orang yang kesakitan di pinggir jalan. Selebihnya, melewatinya begitu saja. Sementara kelompok siswa yang tidak diminta untuk tergesa-gesa, 63 persen mau berhenti dan memberikan pertolongan. ‘Yang ingin disiratkan dalam studi ini...adalah bahwa keyakinan dalam hati Anda dan isi sesungguhnya pikiran Anda pada akhirnya tidak terlalu berperan dalam mengarahkan perbuatan Anda dibanding konteks langsung perilaku Anda’.

Wah...

Baca selengkapnya...

[Tipping Point] Melawan Rokok

>> Minggu, 16 Agustus 2009

Harian Kompas edisi 10 Juli 2009 menurunkan tulisan di rubrik Fokus tentang industri rokok sebagai industri penuh tipu daya. Iklan rokok penuh kebohongan memadati tepian jalan protokol, ruang publik, media cetak dan elektronik tanda kendali. Belum lagi kampanye pemasaran melalui konser musik atau olahraga. Tujuannya tentu untuk membangun persepsi tentang kebiasaan merokok sebagai kebiasaan yang cool. Tak peduli bahwa iklan itu sama sekali tak masuk akal, bahwa kebiasaan itu sendiri sangat merusak, nyatanya 60 juta penduduk Indonesia sangat tergantung pada kebiasaan kotor itu.

Aku selalu berkeyakinan bahwa cara yang cukup ampuh untuk menghadapi perilaku masokis vandalis merokok adalah dengan membangun persepsi negatif seputar kebiasaan itu. Persepsi dilawan dengan persepsi. Tinggal bagaimana missi ini bisa dijalankan untuk menandingi iklan-iklan rokok yang begitu masif. Sayangnya, untuk kampanye anti-rokok ini tidak tersedia dana sebesar yang dimiliki para pengusaha rokok (yang di Amerika sering disebut para bad guy). Di titik ini, para aktivis anti-rokok seperti kehilangan semangat juangnya.

Di buku Tipping Point, MG menawarkan solusi yang cukup elegan berdasar kaidah kelekatan (stickiness). Sebagaimana dinyatakan oleh penulis buku ini bahwa perubahan besar tidak selalu membutuhkan energi besar pula, maka perang melawan rokok bisa saja dihadapi tanpa harus bersaing dalam budget iklan dengan para bad guy itu. Menurut MG, ‘kita hanya perlu menemukan tipping point untuk stickiness, kelekatan (dalam kebiasaan merokok, ym), dan titik itu adalah kaitan-kaitan dengan depresi dan ambang batas nikotin.’

Pertama, mengenai depresi. Tahun 1986, dalam sebuah studi yang dilakukan oleh psikolog di Columbia University, ditemukan bahwa 60 persen perokok berat memiliki riwayat depresi yang parah. Sebaliknya, dalam studi lanjutannya, diketahui bahwa mereka yang pernah menderita gangguan jiwa serius, 74 persen merokok. Semakin besar gangguan jiwa yang diderita, semakin kuat korelasinya dengan merokok. Sebuah studi lainnya yang dilakukan beberapa psikiater di Inggris menemukan kaitan antara perilaku merokok anak usia belasan tahun dengan masalah emosi dan lingkungan sekitar mereka yang bermasalah.

Mengenai kaitan ini, ada beberapa teori yang disampaikan. Antara lain, ‘Semua hal yang dapat membuat seseorang rentan...merokok – rasa harga diri yang rendah, suasana rumah yang tidak sehat atau tidak bahagia – sama dengan semua hal yang dapat membuat seseorang mengalami depresi.’ Bahkan ‘ada beberapa bukti awal bahwa kedua masalah tersebut (merokok dan depresi, ym) mungkin mempunyai akar genetik yang sama.’ Sebagai contoh, depresi diyakini disebabkan antara lain oleh terganggunya produksi bahan kimia penting dalam otak yang disebut serotinin, dopamin dan norepineprin. Bahan kimia tadi berpengaruh terhadap rasa percaya diri, kemampuan menanggulangi masalah, kemampuan merasakan kenikmatan, dan mengatur mood. Para perokok yang menderita depresi menggunakan tembakau sebagai cara murah untuk menaikkan kadar bahan kimia otak tersebut agar berfungsi secara normal. Nikotin tampajnya menjalankan peran sebagai perangsang produksi dopamin dan norepineprin.

Kenyataan ini menyiratkan harapan bahwa tembakau bisa ditanggulangi dengan semacam obat yang bisa menggantikan fungsinya sebagai perangsang bahan kimia penting otak tersebut. Sebuah perusahaan farmasi bernama Glaxo Wellcome (tahun 2000 dimerger dengan Smithkline Beecham menjadi GlaxoSmithkline, GSK, www.gsk.com, ym) berhasil membuat obat dan memasarkannya dengan merek Zyban (www.zyban.com) . Obat ini telah diuji coba dan memberikan hasil yang cukup memuaskan pada perokok berat. Dalam kurun 4 minggu pemberian obat itu, 49 persen pecandu rokok berhenti merokok.

Kedua, berkaitan dengan ambang batas nikotin. Ketika seorang remaja pertama kali mencoba merokok, dia tidak serta merta menjadi perokok. Sebagian besar justru tidak melanjutkan merokok dan sekitar sepertiganya yang meneruskan kebiasaan itu. Ketagihan nikotin bukan perkembangan yang mendadak. “Mereka menunggu beberapa tahun untuk sampai ke tingkat itu”, kata Neal Benowitz, pakar ketergantungan di University of California. Ketika seorang remaja limabelas tahun mencoba merokok, ia tidak sertamerta menjadi ketagihan. Artinya, ada ambang batas tertentu seseorang menjadi kecanduan dengan rokok. Jika ambang batas itu tidak terlampaui, maka sampai kapan pun dia tidak akan kecanduan. Tapi sekali ambang itu terlewati, ia sah menjadi seorang perokok.

Pakar nikotin terkemuka dunia, Benowitz dan Henningfiled, menawarkan agar pabrik rokok diharuskan mengurangi kadar nikotin sehingga mereka yang merokok 30 batang sehari pun tidak sampai kemasukan nikotin lebih dari lima miligram dalam 24 jam, yang menjadi ambang batas kecanduan. Dengan mengurangi kadar nikotin sampai di bawah ambang batas kecanduan, maka merokok tidak lagi melekat. ‘Merokok akan menjadi seperti penyakit batuk dan pilek biasa: mudah tertular tapi mudah diobati.’

Bagaimana pun, MG menegaskan di buku ini, mencegah seorang remaja agar tidak tergoda untuk mencoba merokok bukanlah usaha yang tepat karena ‘coba-coba adalah sesuatu yang alami di kalangan anak-anak dan remaja’. Di bagian lain, ‘alih-alih memerangi proses coba-coba itu adalah mengusahakan agar coba-coba tersebut tidak sampai berakibat serius.’

Solusi yang ditawarkan MG untuk mengatasi perilaku buruk merokok tersebut memang layak dikedepankan. Solusi pertama untuk mereka yang sudah menjadi pecandu rokok, dan solusi kedua untuk mengatasi remaja menjadi seorang pecandu. Setuju?

Baca selengkapnya...

Blues untuk Willy

>> Minggu, 09 Agustus 2009

Seniman besar itu telah berpulang, mewariskan antara lain satu buku kecil bersampul coklat. Bagi orang lain mungkin itu bukan karya terbaiknya, sayangnya aku sangat menyukainya. Aku pernah mendengar melalui pita kaset sang seniman membacakan dua puisi dari kumpulan itu. Ketika itu aku masih belia dan mudah terpesona. Cara dia membacakan puisi itu sungguh beda. Bahkan sampai hari ini aku masih bisa mengingatnya. Mengalun berirama dan terkadang jenaka. Puisi yang dia bacakan berjudul Rick dari Corona dan Nyanyian Angsa.

Buku coklat itu berjudul Blues untuk Bonnie. Dan seniman besar itu tentu saja W.S. Rendra. Terbit pertama kali tahun 1971, buku kumpulan puisi itu memuat 13 karya, salah satunya dijadikan judul buku kumpulan puisi itu, Blues untuk Bonnie. Sedikit beda dengan puisi-puisi ‘pemberontakan’ Rendra yang akrab bagi publik dan sering dicuplik, Blues untuk Bonnie jarang disebut. Seperti beberapa puisi naratif Rendra lainnya, di puisi ini aku mendapati cerita tentang kesepian, kepedihan, juga kekalahan.


Blues untuk Bonnie

Kota Boston lusuh dan layu
kerna angin santer, udara jelek,
dan malam larut yang celaka.
Di dalam cafe itu
seorang penyanyi Negro tua
bergitar dan bernyanyi.
Hampir-hampir tanpa penonton.
Cuma tujuh pasang laki dan wanita
berdusta dan bercintaan di dalam gelap
mengepulkan asap rokok kelabu,
seperti tungku-tungku yang menjengkelkan.

Ia bernyanyi.
Suaranya dalam.
Lagu dan kata ia kawinkan
Lagu beranak seratus makna.
Georgia. Georgia yang jauh.
Di sana gubug-gubug kaum Negro.
Atap-atap yang bocor.
Cacing tanah dan pellagra.
Georgia yang jauh disebut dalam nyanyinya.

Orang-orang berhenti bicara
Dalam cafe tak ada suara.
Kecuali angin menggetarkan kaca jendela.
Georgia.
Dengan mata terpejam
si Negro menegur sepi.
Dan sepi menjawab
dengan sebuah tendangan jitu
tepat di perutnya.

Maka dalam blingsatan
ia bertingkah bagai gorilla.
Gorilla tua yang bongkok
meraung-raung.
Sembari jari-jari galak di gitarnya
mencakar dan mencakar
menggaruki rasa gatal di sukmanya.

Georgia.
Tak ada lagi tamu baru.
Udara di luar jekut.
Anginnya tambah santer.
Dan di hotel
menunggu ranjang yang dingin.
Srenta dilihat muka majikan cafe jadi kecut
lantaran malam yang bangkrut.
Negro itu menengadah
Lehernya tegang.
Matanya kering dan merah
menatap surga.
Dan surga
melemparkan sebuah jala
yang menyergap tubuhnya.

Bagai ikan hitam
ia menggelepar dalam jala.
Jumpalitan
dan sia-sia.
Marah
terhina
dan sia-sia.

Angin bertalu-talu di alun-alun Boston.
Bersuit-suit di menara gereje-gereja.
Sehingga malam koyak moyak.
Si Negro menghentakkan kakinya.
Menyanyikan kutuk dan serapah.
Giginya putih berkilatan
meringis dalam dendam.
Bagai batu lumutan
wajahnya kotor, basah dan tua.

Maka waktu bagaikan air bah
melanda sukmanya yang lelah.
Sedang di tengah-tengah itu semua
ia rasakan sentakan yang hebat
pada kakinya.
Kaget
hampir-hampir tak percaya
ia merasa
encok yang pertama
menyerang lututnya.

Menuruti adat pertunjukkan
dengan kalem ia menahan kaget.
Pelan-pelan berhenti.
Pelan-pelan duduk di kursi.
Seperti guci retak
di toko tukang loak.

Baru setelah menarik napas panjang
ia kembali menyanyi.

Georgia.
Georgia yang jauh disebut dalam nyanyinya.
Istrinya masih di sana.
Setia tapi merana.
Anak-anak Negro bermain di selokan
tak krasan sekolah.
Yang tua-tua jadi pemabuk dan pembual
banyak hutangnya.
Dan di hari minggu
mereka pergi ke gereja yang khusus untuk Negro
di sana bernyanyi
terpesona pada harapan akherat
kerna di dunia mereka tak berdaya.

Georgia.
Lumpur yang lekat di sepatu.

Gubug-gubug yang kurang jendela.
Duka dan dunia
sama-sama telah tua.
Sorga dan neraka
keduanya usang pula.
Dan Georgia?
Ya, Tuhan
Setelah begitu jauh melarikan diri,
masih juga Georgia menguntitnya.



Georgia, Negro tua yang payah, lumpur yang lekat di sepatu, adalah idiom tentang tempat, pelaku dan nasib, yang mau tak mau menyeret kita pada banyak kisah hidup yang perih dan tak mudah bagi banyak orang, di mana pun tempatnya. Kalau membaca beberapa kisah kenangan tentang Rendra dalam berbagai media selepas kepergiannya itu, kita tahu bahwa jalan kesenian yang ditempuhnya pun, teater dan puisi, bukan sejenis jalan yang mudah. Sekalipun namanya dan nama kelompok teaternya sudah begitu dikenal publik.

Tapi di sisi lain puisi itu juga menyiratkan sebuah ‘perjuangan’ yang tak pernah selesai. Selalu saja ada Georgia, Negro papa, dan lumpur yang tak kunjung sirna. Menjelang ajalnya, Rendra masih konsisten naik pentas (terakhir kulihat di pentas The Candidate, Metro TV), ‘mencabik-cabik dawai gitarnya sendiri’, menyuarakan resah dari dalam sukmanya: korupsi itu seperti lumpur yang lekat di sepatu birokrasi kita. Pertanyaannya, siapa kini yang mau menempuh jalan tak mudah, menyuarakan kepedihan dan kebusukan itu melalui teater, puisi atau media ekspresi lainnya?

Mudah-mudahan ada, dan selalu akan ada orang-orang yang tak takut menempuh jalan tak mudah itu. Atau dalam bahasa Rendra disebut ‘pemberontak’. Dalam berbagai kesempatan, dia acapkali mengulang “Kalau kita tidak melawan kelaliman dan kezaliman, kita lebih baik tak jadi seniman. Kita sekarang butuh surga baru. Tanpa tangan kita kotor, kita tidak bisa ciptakan kembali itu firdaus...”

Baca selengkapnya...

Warna-warni Permadani

>> Senin, 13 Juli 2009

Jika setiap manusia pernah tinggal seorang diri di dalam rahim dan kelak juga sendiri saat dalam kubur, mengapa kesendirian sering membuat resah? Apakah karena kesendirian acapkali membuat seseorang menjadi salah tingkah? Tengoklah misalnya, Mr. Walt Kowalski, seorang veteran US army di film Gran Torino. Di masa tuanya ia tinggal menyendiri, ditemani Daisy (maaf, ini nama anjing beliau) dan mobil tuanya Ford Gran Torino. Anak dan cucu Mr. Kowalski lebih suka tinggal menjauh sembari berharap episode hidup Mr Kowalski segera berakhir dan warisan segera dibagi. Adapun kegiatan sehari-hari Mr Kowalski ini, mengelap mobil (yang tak pernah dikendarainya) sampai licin mengilap, kemudian memandangnya dengan takjub sambil minum bir dingin dan mengobrol dengan Daisy.

Apakah Mr. Kowalski kesepian dalam kesendiriannya? Benarkah kesendirian sewarna dengan kesepian? Mari kita melihatnya dari kacamata Ushman, seorang pedagang permadani asal Iran di novel berjudul Rug Merchant, karya Meg Mullins. Edisi bahasa Indonesianya diterbitkan oleh PT Bentang Pustaka, Mei 2009. Bermodal ‘kartu hijau’ hasil undian, Ushman berangkat ke Amerika, meninggalkan Farak, istrinya, dan usaha permadani warisan keluarganya. Ia menyuruk di salah satu sudut kota New York, membuka toko permadani, dan perlahan mulai bisa menjejakkan kakinya dengan kokoh di kota super sibuk itu. Ketekunannya menjalin relasi dengan para pelanggan sejalan dengan kesungguhannya memelihara permadani impian di benaknya: membawa Farak ke Amerika dan memulai hidup sejahtera di sana. Awalnya, kesendirian tidak menjadi masalah bagi Ushman selama dia bisa merebahkan badannya di atas permadani impiannya itu. Sampai dia mendengar kabar istrinya itu menjalin hubungan dengan seorang pedagang dari Turki. Farak pun terang-terangan mengakuinya.


Dari sinilah Ushman harus mengakui bahwa rajutan kisah hidupnya tak seindah pola-pola geometris permadani persia yang dijualnya. Kesepian mulai membayang saat impian di benaknya mulai berangsur pudar. Semakin kuat dia mempertahankan impiannya justru semakin terang gambaran kenyataan di mata sadarnya bahwa rumah tangganya bersama Farak telah hancur berantakan, menyisakan rongga kosong dalam hatinya. Di saat itulah Ushman bertemu Stella, gadis Amerika yang tengah menghadapi ‘kekosongannya’ sendiri: tak ada pesta dan kawan di hari ulang tahunnya yang ke sembilanbelas.

Usia Stella itu jelas terpaut jauh darinya, dan sudah pasti ia memiliki latar budaya yang berbeda dengan Ushman. Stella yang cerdas dan terbuka tak mendapatkan masalah yang berarti ketika hubungannya dengan Ushman semakin mendalam dan emosional. Sebaliknya, Ushman selalu diliputi keraguan dan gamang menyikapi hubungan mereka itu. Ushman merasa ‘tidak pantas’ mendapatkan Stella. Dia juga melihat cinta Stella kepadanya tumbuh di dalam diri Stella yang masih belia. Ada kekhawatiran suatu saat Stella akan meninggalkannya. ‘Bagian dari Stella yang belum berkembang adalah sama dengan bagian dari Stella yang mencintainya.... Saat Stella tumbuh dewasa, rasa hormat Stella untuknya akan layu...’

Hubungan mereka makin runyam dibayangi relasi Ushman dengan Ny. Roberts, salah seorang pelanggan setia Ushman. Bagi Ushman, Ny Roberts ‘hanyalah’ pelanggan kaya raya dengan selera yang sulit dipuaskan dan ‘keinginan aneh terhadap segala sesuatu yang tidak bisa dimiliki’ yang tak lain bentuk pelarian dari kesepian Ny Roberts sendiri. Tiga orang dengan kekosongan yang berbeda bertemu dan menuliskan kisahnya masing-masing layaknya pola warna-warni di atas hamparan permadani. Menjadi menarik ketika pola itu saling bersentuhan, berkelindan dan mempertahankan iramanya sendiri.

Ketika hubungannya dengan Stella berakhir, Ushman melanjutkan hidup tanpa harus merasa ada yang kosong. ‘Ti penso sempre (aku selalu memikirkanmu)’, kata Stella sebelum menutup telepon dia pergi. Dan Ushman, ‘meskipun air mata mengalir di pipinya, ia tersenyum’, seakan memaklumi bahwa relasi itu memang harus berhenti seperti ujung pola-pola permadani.

Novel ringan dengan plot sederhana ini diolah dengan lincah oleh Meg Mullins melalui dialog yang kadang tak terduga dan sesekali juga jenaka. Interaksi dua budaya menjadi momen yang menarik ketika masing-masing mulai menemukan titik persamaan. Di situs pribadinya, Mullins menceritakan bagaimana pemahamannya terhadap karakter Ushman didasari atas keyakinannya bahwa manusia selalu punya kesamaan satu dengan lainnya. ‘The beauty of humanity is that none of us is so very different at our core. As I was writing about Ushman, I never felt he was unlike me. I certainly have a great respect for the vast differences in our cultures and our backgrounds, even our genders, but I loved discovering similarities, too. Love and pain, loneliness and desire are universal experiences and we are all linked by them.’ Kesamaan itu, apa pun bentuknya, barangkali memang bisa menjadi alasan paling mendasar untuk tidak perlu merasa sendiri dan sepi di tengah lingkungan manusia lain, di mana pun di bumi ini...

Baca selengkapnya...

Setelah Penyesalan Kariso...

>> Kamis, 09 Juli 2009

Usianya masih muda, 32 tahun. Semangatnya untuk menghirup manisnya hidup barangkali sedang di titik kulminasi. Istri dan anaknya yang berusia 4 tahun memompa semangat hidupnya hari ke hari. Seperti pagi itu, ketika Kariso mengisi botol-botol kosong dengan bensin di kios sederhananya di Kecamatan Sawangan, Depok. Tak ada yang menyangka, ketergantungannya pada nikotin menjadikan hari cerah akhir Juni lalu menjadi hari naas baginya. Kios bensinnya meledak, menewaskan istri dan anak tercintanya. Kariso selamat dengan luka bakar parah. Tapi luka menganga di hatinya lebih parah lagi: penyesalan itu tidak akan tersembuhkan sampai kapan pun.

Sedih harus mengetahui nasib Kariso. Lebih sedih lagi harus melihat kekalahan Indonesia menghadapi bisnis nikotin! Seperti dituliskan Kartono Mohamad di Kompas 27 Juni 2009. Mari, aku ingatkan kamu pada artikel itu. Ketika jumlah perokok di AS turun drastis dari 46 persen (1950) ke 21 persen (2004) dari penduduk AS, perusahaan rokok AS mencari pasar di luar AS termasuk Asia. Dengan senjata GATT, AS merayu negara-negara padat penduduk untuk menerima racun berasap itu. Salah satunya Indonesia. Diantara 4 negara yang dibujuk, hanya Thailand yang berani menolak dengan alasan melindungi kesehatan rakyat. Indonesia menyerah tanpa syarat!

Dengan senjata GATT juga Indonesia berusaha memasukkan produk rokoknya ke AS. Sayangnya AS, terutama setelah Obama menandatangani UU bernama Family Smoking Protection and Tobacco Control Act, menolak menerima produk itu. Apalagi setelah FDA makin garang menghadapi rokok dengan melarang penggunaan kata mild, light, low tar dan melarang penambahan rasa (termasuk cengkeh) ke dalam rokok. Bahkan pengadilan tinggi Washington DC mengatakan pabrik rokok telah melakukan pembohongan publik dengan menggunakan kata-kata mild, light, low tar itu. Dalam hal ini, Indonesia kalah lagi.

Menjadi lebih parah, ketika negara-negara lain sepakat membatasi bisnis madat ini, Indonesia justru ragu-ragu, bahkan cenderung membiarkan industri rokok berkembang dibanding memberi perhatian pada kesehatan rakyatnya. Buktinya, pemerintah menolak menandatangi FCTC (Framework Convention on Tobacco Control) dari WHO. Sungguh ironis, setelah Sampoerna dibeli oleh Philip Morris dan Bentoel dibeli oleh BAT, yang tersisa adalah penyakit dan kemiskinan yang menggerogoti rakyat Indonesia.

Penyesalan Kariso, dan jutaan rakyak miskin yang diperbudak nikotin, tidakkah cukup?

Baca selengkapnya...

[Next] Mahluk transgenik bernama X.

>> Jumat, 03 Juli 2009

Salah satu film paling menjijikkan yang pernah kutonton adalah Island of Dr. Moreau, film akhir tahun 90-an. Di film itu bertebaran binatang-binatang ‘ciptaan’ Dr Moreau yang disisipi gen manusia. Konon untuk menekan sifat-sifat ‘kebinatangannya’. Setting waktu film itu adalah tahun 2010. Hmmm, tahun depan. Mungkinkah (dalam pengertian ‘dibenarkan secara moral’) binatang disisipi gen manusia? Apa nama ‘produk’ yang dihasilkan?

Di luar pertimbangan moral, kemungkinan itu terbuka lebar. Apalagi konon gen antara manusia dan simpanse hanya berbeda 1,5%. Mari tengok lebih dulu contoh ‘mahluk transgenik’ ini: buah tomat. Awalnya buah ini tidak bisa tumbuh baik di daerah bersuhu rendah. Maka dilakukan upaya modifikasi gen dengan menyisipkan gen ikan flounder (ikan yang hidup di air es), dan hasilnya tomat tahan segala cuaca.

Maka, menjadi ‘masuk akal’ ketika Crichton bercerita tentang penemuan orang utan Sumatra yang bisa bicara dan kakatua afrika yang cerdas, fasih berbicara dan menirukan bunyi-bunyian serta mampu berhitung. Dan cerita tentang ‘seekor simpanse’ bernama Dave. Wujudnya memang simpanse, tetapi tes darah menunjukkan bahwa darah yang mengalir di tubuh Dave adalah darah manusia. Bahkan simpanse itu kemudian bisa berbicara dengan lancar.

Dave adalah ‘buah’ eksperimen Henry Kendall, seorang ahli riset genetika. Henry pernah bekerja di National Institutes of Health (NIH) untuk meneliti masalah autisme. Ia pergi ke fasilitas primata untuk meneliti gen-gen yang bertanggung jawab atas perbedaan kemampuan komunikasi antara manusia dan monyet. Dan ia melakukan eksperimen dengan embrio simpanse dan gen miliknya sendiri. Hasilnya, lahirlah Dave, yang memanggil Henry dengan sebutan ibu (Ha ha ha...).

Diceritakan bahwa riset dengan melibatkan embrio simpanse dan gen manusia adalah riset ilegal. Karenanya hasil riset itu, Dave, juga menjadi produk ilegal. Persoalan menjadi pelik karena antara Henry dan Dave punya semacam ikatan emosional. Keputusan NIH untuk ‘melenyapkan’ Dave tak bisa diterima Henry. Dengan sembunyi-sembunyi Hanry melarikan Dave dari laboratorium NIH.

Sulit untuk membayangkan bagaimana jika eksperimen yang melibatkan gen-gen dari mahluk yang berbeda itu akan terus berlanjut. Bagaimana kita akan menyebut produk transgenik itu? Henry sendiri setengah tidak rela jika Dave disebut sebagai simpanse. Bahkan untuk menutupi identitas Dave yang sesungguhnya, dia mengatakan bahwa Dave adalah bocah laki-laki yang mengalami kelainan bawaan bernama Congenital Hypertrichosis Lanuginosa (bisa dilihat antara lain di http://emedicine.medscape.com/article/1072987-overview). Orang dengan kelainan itu akan mempunyai rupa mirip simpanse.

Jadi, mahluk apa sebenarnya si Dave ini? Juga mahluk jadi-jadian ‘karya’ Dr Moreau itu?

Baca selengkapnya...

[Next] Makna tubuh

Crichton mencuplik pernyataan Steven Weinberg (fisikawan AS, pemenang nobel fisika 1979) di pembuka novelnya: ‘Semakin alam semesta tampak bisa dipahami, semakin pula kelihatan tidak ada maknanya.’ Bagaimana pun cerita seputar rekayasa genetika membawa kita ke gambaran tubuh manusia sebagai benda kasar, seperti halnya mobil atau mesin jahit. Bagian-bagiannya bisa ditukar, diganti, atau diperjual-belikan secara terpisah. Bedanya, mobil dan mesin jahit tidak bisa memperbarui tubuhnya sendiri. Mual?

Cerita berikut ini akan membuatmu lebih mual. Seorang ibu bernama Georgia Bellarmino curiga dengan bekas luka memar di perut anak perempuannya. Sudah beberapa kali Georgia melihat luka semacam itu di perut Jennifer yang berusia enam belas tahun . Si anak bersikukuh itu luka biasa akibat benturan tak sengaja. Nalurinya sebagai ibu membawanya ke kamar anak perempuannya, memeriksa dengan teliti dan, wow, dia menemukan obat-obat fertilitas di plafon kamar mandi anaknya. Gerogia tercengang, apa yang terjadi dengan anaknya. Untuk apa dia menyuntikkan obat penyubur itu ke tubuhnya sendiri? Jawabannya datang dari salah satu teman kerja Georgia. Dia bercerita ,’...gadis-gadis remaja ini menyuntikkan hormon, memompa indung telur mereka, menjual sel telur...dan mendapatkan uang.”

Cerita utama di novel Next juga berkaitan dengan bagian tubuh yang diperjual belikan. Frank Burnett dikaruniai keistimewaan karena dalam tubuhnya terdapat rangkaian sel penghasil zat pemerang kanker, cytokine. Rangkaian sel itu ditemukan oleh dokter di UCLA, kemudian dipatenkan dan dijual lisensinya kepada perusahaan bioteknologi bernama BioGen. Sebagai pemegang lisensi atas rangkaian sel Burnett itu, BioGen merasa berhak memanen rangkaian sel Burnett kapan pun mereka membutuhkan dan menjualnya kepada yang membutuhkan. Bayangkan saja tubuh Burnett tak lebih dari ladang sel yang dimiliki BioGen. Ketika masalah ini dibawa ke pengadilan, Burnett kalah. Dia tidak punya hak atas tubuhnya sendiri di bawah ketentuan bernama eminent domain. Eminent domain mengacu pada hak negara untuk mengambil milik pribadi tanpa izin pemiliknya. Inilah problematika patent gen yang dikecam Crichton.

Lebih jauh Crichton juga tak sependapat dengan anggapan bahwa jaringan tubuh manusia yang sudah terlepas dari tubuh asalnya tidak memiliki ikatan lagi dengan pemilik asalnya. ‘Pendapat yang mengatakan jika kita sudah berpisah dengan jaringan kita, kita tidak lagi memiliki hak apa pun atasnya, adalah tidak masuk akal.’ Dia menekankan bahwa manusia memiliki ikatan emosional dengan bagian tubuh manapun yang dimilikinya. Ikatan itu tidak bisa diabaikan begitu saja. Atau diputus secara paksa. Seakan Crichton ingin menggarisbawahi pemberian makna bagi tubuh manusia sebagai kesatuan utuh yang memiliki jiwa, dan tidak bisa disamakan dengan, katakan, mobil dengan businya atau mesin jahit dengan jarumnya.

Baca selengkapnya...

[Next] Periklanan Genomis

>> Kamis, 02 Juli 2009

Dunia periklanan seolah selalu haus ruang untuk aktualisasi diri. Tak cukup dengan billboard raksasa, lantai supermarket dan badan bus kota juga dijadikan tempat beriklan. Sudah cukup lama pula pintu lift dijadikan media iklan, seakan orang yang sedang menunggu di depan lift adalah mereka yang tengah ‘kosong’ pikirannya, dengan demikian menjadi sasaran empuk kampanye pemasaran.

Bagaimana jika para insan kreatif periklanan bertemu dengan ahli genetika? Hasilnya adalah periklanan genomis: makhluk hidup direkayasa secara genetis sehingga secara ‘alami’ akan menampilkan logo perusahaan di badan makhluk itu. Ada ikan hiu dengan logo Cadburry, belut laut menampakkan Mark& Spencer di permukaan kulitnya yang kehijauan, badak afrika bermerek Land Rover dan tentu saja Jaguar garang yang dipersembahkan oleh Jaguar. Wah...

Tentu saja ini akan membuat para pecinta lingkungan mual dan geram. Bagi kebanyakan orang mungkin ini mimpi buruk. Tapi bagi orang periklanan, dalam novel Next diwakili oleh tokoh bernama Gavin Koss, ini adalah upaya bisnis sekaligus budi daya. Spesies yang ‘disponsori’ perusahaan tertentu akan terlindung dari kepunahan karena perusahaan-perusahaan ini mencadangkan dananya untuk melindungi mereka. Bagi Koss, ini situasi win-win, bagi perusahaan, lingkungan hidup dan tentu saja bagi bidang periklanan.

Apakah ini hanya sekedar wacana? Sayangnya, di novel ini jawabannya adalah tidak. Diam-diam sudah ada yang berupaya ke arah itu. Di Pantai Tortuguero, Costa Rica, dua orang pengamat penyu melihat ada sinar lembayung yang aneh di cangkang beberapa penyu yang mereka amati. Cahaya yang berpendar saat gelap itu seperti menampakkan pola yang khas mirip logo sebuah perusahaan. Nah!

Baca selengkapnya...

[Next] Awalnya (hanya) tanaman transgenik

Ada yang baru menyadari bahwa tahu dan tempe bukan makanan ‘sembarangan’, karena bahan bakunya hampir 100% impor. Mirip mobil-mobil built up. Ketika akhir tahun 2007 harga kedele melonjak tajam seiring harga minyak, kita seakan baru sadar bahwa 70%an kedele adalah produk impor. Dan hampir dipastikan kedele asal AS itu adalah produk transgenik. Banyak juga yang kemudian gelisah menyangkut keamanan mengonsumsi produk transgenik dan olahannya. Apalagi Indonesia sepertinya belum memiliki regulasi yang jelas menyangkut bahan pangan transgenik ini. Memang ada PP No. 20 tahun 2005 yang meng-amanatkan pembentukan Tim Teknis Keamanan Hayati dan Keamanan Pangan. Namun sampai sekarang tim itu belum terbentuk. Bahkan peraturan yang lebih lama yaitu PP No. 69 tahun 1999 mengharuskan produk pangan, termasuk yang transgenik, diberi label. Dengan label ini konsumen bisa menentukan pilihan, apakah mau memilih yang ‘alami’ atau yang transgenik. Sayangnya, sampai sekarang pelabelan itu pun tidak berjalan. Di negara-negara maju, sudah lazim disebutkan di label, bahwa makanan tersebut mengandung persentase tertentu materi transgenik.

Kedele, juga jagung, kapas, kentang, adalah produk yang sudah banyak dipasarkan dalam bentuk produk transgenik, atau lebih sering disebut GMF (Genetically Modified Food). Sering juga disebut, dengan sinis, sebagai frankenfood. Kedele ini dihasilkan melalui ‘pengayaan’ genetis, antara lain dengan menyisipkan bakteri tanah yang mampu menghasilkan pestisida alami. Dengan begitu, hama yang menyerang kedele itu akan mati dengan sendirinya. Uniknya, pengayaan genetis kedele itu banyak ragamnya. Bahkan ada yang ‘dirancang’ khusus untuk dijadikan makanan ternak. Wah, apakah konsumen tahu hal ini dan bisa membedakannya dengan kedele untuk dibuat tahu atau tempe?

Buru-buru menteri pertanian Dr. Anton Apriantono mengatakan bahwa ‘belum ada bukti bahwa kedele transgenik membahayakan kesehatan.’ Jangka pendek memang iya, bagaimana efek jangka panjangnya? Bahkan korban manusia akibat produk transgenik juga pernah ada (kasus suplemen kesehatan transgenik di AS yang memakan korban tewas 37 orang tahun 1989). Ada baiknya didengar juga pendapat mereka yang mewaspadai produk transgenik ini. Mereka umumnya keberatan atas 3 hal: pertama, bahaya terhadap lingkungan : kemungkinan tanaman termutasi ‘menulari’ tanaman lain sangat terbuka, misalnya melalu penyerbukan. Bisakah ini dikendalikan?

Kedua, sudah tentu kemungkinan bahayanya bagi manusia. Dalam kasus kedelai yang disisipi ‘gen pestisida’, bagaimana dampaknya bagi manusia dalam jangka panjang? Apalagi kedele dan produk turunannya termasuk makanan yang tingkat konsumsinya tinggi di Indonesia. Ketiga, secara ekonomis produk transgenik ini membuat ketergantungan negara berkembang kepada negara maju. Produk transgenik dikenal memiliki sifat ‘gene suicide’, ditanam untuk berbuah sekali dan mati. Buahnya pun steril, sehingga petani menjadi tergantung terhadap bibit pasokan negara-negara maju.

(dari berbagai sumber)

Baca selengkapnya...

[Next] Penyembuhan penyakit melalui rekayasa genetika.

>> Rabu, 01 Juli 2009

Harian Kompas tanggal 6 Juni menurunkan laporan penelitian ilmuwan Jepang di bidang rekayasa genetika. Dari penelitian tersebut ‘dihasilkan’ primata transgenik yang diharapkan bisa menjadi terobosan bagi pengembangan terapi mengatasi gangguan syaraf otak. Pemanfaatan teknologi genetika untuk mengatasi penyakit ini sudah lama dikembangkan sejak penemuan teknik kunci dalam genetika molekular pada pertengahan tahun 1970-an. Sejak itu para ahli genetika mencoba menemukan gen-gen yang ‘bertanggung jawab’ atas munculnya penyakit tertentu, khususnya penyakit yang bersifat menurun.

Ada sebuah cerita menarik di novel Crichton ini.

Seorang dokter ahli penyakit dalam tiba-tiba digugat oleh seorang wanita yang tidak dikenalnya. Wanita itu ternyata adalah ‘anak biologis’ sang dokter. Bagaimana mungkin? Rupanya sewaktu kuliah dulu, dokter itu pernah menyumbangkan sperma secara anonim kepada seorang ibu melalui bank sperma. Persoalannya, sperma dokter itu ternyata mengandung gen-gen kecanduan AGS3 (ketergantungan pada heroin). Gara-gara gen sialan itu, wanita ‘anak biologis’ tersebut menjadi seorang pecandu dan hidupnya terlunta-lunta. Dengan segala cara dia berusaha mencari siapa pemilik sprema ‘bermasalah’ itu. Kegigihannya itu membawa hasil dan kini ia menggugat, ‘Kau seharusnya tidak boleh menyumbangkan sperma yang kurang baik... Kau adalah aib bagi profesi kedokteran. Membebani orang lain dengan penyakit genetismu...’

Penemuan gen-gen ‘biang kerok’ itu tidak serta merta membawa harapan bagi seluruh manusia karena para ahli genetika itu kemudian sibuk mematenkan penemuannya. Ini salah satu yang dikecam Crichton sebagaimana dia tulis di catatan penutupnya. Mematenkan gen adalah langkah yang tidak masuk akal. ‘...Memberi hak paten atas gen sama saja dengan memberikan hak paten atas besi dan karbon.’ Problem paten atas gen ini menyeret manusia pada persoalan justru mencemaskan. Crichton memberi contoh pada kasus SARS (Severe Acute Respiratory Syndrome). Penyakit menular ini memiliki tingkat kematian sepuluh persen dan telah menyebar ke puluhan negara seluruh dunia. Namun riset ilmiah untuk melawan penyakit ini justru terhambat gara-gara kekhawatiran menyangkut hak paten gen. Pada waktu itu ada tiga pihak yang secara bersamaan mengajukan paten atas genom SARS.

Catatan nomor satu dari Crichton berbunyi: hentikan membuat hak paten gen.

Baca selengkapnya...

[Next] Bermain dengan Tuhan?

Banyak orang berpendapat bahwa dengan rekayasa genetika manusia seakan-akan sedang bermain dengan Tuhan. Mengenai pendapat ini, Crichton melalui tokohnya Dr. Robert Bellarmino mengatakan:

‘Tuhan adalah pencipta DNA, yang menjadi dasar keanega ragaman hayati planet kita. Mungkin karena itulah beberapa kritikus rekayasa genetika mengatakan kita tidak boleh melakukannya karena ini seperti bermain dengan Tuhan. Beberapa doktrin ekologis juga mempunyai pandangan sama, bahwa alam itu sakral dan tak boleh diganggu gugat. Kepercayaan semacam itu tentunya sesat.’

Selanjutnya:



‘Tuhan memberi manusia tugas dan tanggung jawab untuk memelihara bumi dan semua makhluknya. Kita bukan bermain jadi Tuhan. Kita harus mempertanggung jawabkan pada Tuhan bila kita tidak menjadi penanggung jawab atas apa yang diberikan Tuhan kepada kita dalam segala keagungan dan keaneka ragaman hayatinya.....’

‘Rekayasa genetika menggunakan sarana yang diberikan Pencipta kepada kita untuk melakukan pekerjaan yang baik di planet ini. Tanaman yang tidak dilindungi dimakan hama atau mati beku dan kekeringan. Modifikasi genetis bisa mencegahnya...’

‘Rekayasa genetika hanya langkah lain dalam tradisi yang sudah lama diterima. Tidak menandai penyimpangan radikal dari masa lalu... Kadang-kadang kita mendengar opini bahwa kkta tidak seharusnya mengubah DNA, titik. Tapi, mengapa tidak? DNA tidak permanen. Seiring waktu DNA berubah....’

Namun berkaitan dengan penerapan rekayasa genetika pada manusia, Bellarmino tidak bisa menyembunyikan kegundahannya :

‘...Jadi, kita memodifikasi DNA atau tidak? Ini pekerjaan Tuhan atau kesombongan manusia? Keputusan-keputusan tersebut tak boleh dianggap enteng. Begitu juga topik yang paling sensitif, penggunaan sel benih dan embrio....Saya sendiri tidak punya jawaban...Saya mengakui hati saya gundah.’

Di bagian lain, dalam sebuah tanya jawab dengan siswa sekolah lanjutan, Bellarmino lagi-lagi harus menghadapi pertanyaan: ‘Bukankah kloning berarti bermain jadi Tuhan?’ Bellarmino menjawab:’Secara pribadi saya tidak mendefinisikan seperti itu. Kalau Tuhan menciptakan manusia dan menciptakan seisi dunia lainnya, sudah jelas Tuhan membuat alat rekayasa genetika....Itu karya Tuhan bukan manusia.’

Sampai di sini tentu perdebatan akan mengarah ke ranah pemikiran spekulatif. Ahli-ahli di luar bidang rekayasa genetika mestinya dilibatkan.

Baca selengkapnya...

Next, setelah itu apa?

>> Senin, 29 Juni 2009

Michael Jackson, King of Pop itu telah mangkat. Ia meninggalkan kerajaan Neverland miliknya. Kita tahu, Neverland adalah situs metaforis tempat bersemayam Peter Pan, tokoh rekaan J.M. Barrie yang menolak menjadi tua. Bukan tanpa sengaja MJ memilih nama Neverland, dan hubungannya dengan Peter Pan serta ide tak pernah menjadi tua. MJ sendiri memang tak akan pernah mengalami masa tua karena His Story* selesai di usia setengah baya. Baiklah MJ, You’re not Alone*, sebab ide menolak tua itu telah ada sepanjang masa. Dan kini salah satu harapannya ada di tangan para ahli genetika. Benarkah?

Mari kita bayangkan kemungkinannya melalui novel Michael Crichton terbaru dan terakhir, Next. Edisi Indonesianya diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama, April 2009. Bagi sebagian kita yang tidak mengikuti dengan seksama perkembangan teknologi genetika, penuturan Crichton di novel ini mungkin akan menimbulkan tanda tanya: sudah sejauh itukah manusia bermain-main dengan kode genetik? Coba tengok harian Kompas edisi 6 Juni 2009. Di situ diturunkan laporan berjudul ‘Primata Transgenik: kontroversial tetapi menjanjikan’. Itu hanya sebagian dari berbagai pencapaian di bidang rekayasa genetika dan sudah tentu dengan berbagai persoalan di sekitarnya.

Berbeda dengan novel Crichton lainnya, alur cerita Next tidak hanya terpusat pada satu atau dua tokoh sentral. Bahkan beberapa peristiwa tidak saling berhubungan satu dengan lainnya. Rangkaian cerita utamanya berpusat pada perusahaan bioteknologi bernama BioGen yang mengembangkan rangkaian sel penghasil zat pemerang kanker bernama cytokine. Sel-sel tersebut diambil dari tubuh seorang laki-laki bernama Frank Burnett. Burnett selama bertahun-tahun tidak menyadari bahwa sel-sel dari tubuhnya diambil oleh BioGen dan digunakan untuk kepentingan komersial perusahaan itu. Dia dan anak perempuannya yang berprofesi pengacara menggugat ke pengadilan, dan Rick Diehl sang CEO BioGen, berupaya keras mempertahankan ‘kepemilikan’ mereka atas rangkaian sel Burnett yang telah dipatenkan. Sebuah ‘pertempuran’ seru terjadi, baik di dalam maupun di luar ruang sidang. Sementara itu, di laboratorium miliknya, Diehl juga mengembangkan gen lain yang disebut gen kedewasaan yang berkaitan dengan penyakit degeneratif syaraf (wah!). Pengembangan gen ini juga bukan tanpa masalah, bahkan sempat merenggut korban jiwa.

Dalam kisah-kisah lainnya, yang tidak berhubungan dengan alur cerita utama tadi, Crichton juga bercerita panjang lebar tentang topik-topik lain seputar rekayasa genetika. Seperti penemuan orang utan di Sumatra yang bisa berbicara; penyu di Costa Rica yang bisa mengeluarkan cahaya lembayung; seorang wanita yang menuntut ‘ayah biologisnya’ -- seorang dokter yang pernah menjadi donor sperma bagi ibunya dan beberapa kisah yang sepertinya dimasukkan Crichton untuk menjelaskan berbagai pandangan (termasuk pandangannya sendiri) mengenai rekayasa genetika. Termasuk yang berkaitan dengan ‘posisi’ Tuhan dalam persoalan ini. Melalui salah satu tokohnya Crichton menuliskan,’Rekayasa genetika memungkinkan kita membagikan kemurahan hati Tuhan....insulin murni untuk penderita diabetes, faktor pembeku murni untuk penderita hemofilia. Sebelumnya, para penderita ini banyak yang meninggal karena kontaminasi. Tentunya, yang menciptakan kemurnian ini adalah pekerjaan Tuhan. Siapa yang akan menyatakan sebaliknya?’

Novel ini cukup nikmat diikuti karena Crichton membagi tiap peristiwa menjadi fragmen dalam bab-bab pendek dan terpisah. Bab ke-88 bahkan tak sampai satu halaman panjangnya, membuat kita bisa berhenti di mana pun dan masuk lagi ke fragmen berikutnya. Namun peristiwa-peristiwa yang berserakan, pendek dan begitu cair membuat kita tidak mendapatkan suasana yang benar-benar mencekam seperti pada novel Crichton lainnya, misalnya Congo.

Crichton juga membuat catatan khusus mengenai topik rekayasa genetika ini di akhir novelnya plus buku-buku yang menjadi rujukan. Seakan dia merasa tidak cukup puas memaparkan pendapatnya melalui tokoh-tokoh protagonis di novel ini. Melalui Next, Crichton menyikapi secara kritis perkembangan teknologi genetika dan menyodorkan tombol pilihan kepada kita: next/lanjut -- tanpa ada kemungkinan untuk kembali atau berhenti sampai di sini.

Gagasan pemuliaan gen untuk kesejahteraan manusia sampai sekarang masih menjadi persoalan yang tak ada habisnya diperdebatkan. Di akhir tahun 80-an, Arifin C Noer mementaskan lakon Ozone di Bandung. Salah satu tokoh di drama itu bernama Waska. Tokoh Waska bahkan menolak untuk mati dan melalui teknologi khususnya rekayasa genetika, ia berhasil mengalahkan waktu. Namun di titik itulah tragedi muncul. Kehidupan ‘abadi’ itu tak lain sebuah hukuman yang jauh lebih menyakitkan dibanding hukuman mati. Dia melayang-layang di angkasa dalam pesawat khususnya, melihat kekerasan demi kekerasan di bumi, merasakan kesepian mencekam, iri pada kematian dan terus terjaga hingga hari kiamat tiba. Dalam hal ini, agaknya Arifin ingin mengatakan bahwa persoalan yang lebih relevan dikemukakan bukan seberapa lama seorang manusia mampu bertahan hidup di muka bumi ini...



*) HIStory adalah salah satu album Michael Jackson, di mana lagu You’re Not Alone ada di dalamnya. Lagu yang memukau ini ditulis oleh R. Kelly, dirilis tahun 1995 menandai masa sulit yang sedang dialami Jacko waktu itu karena tuduhan melakukan ‘child abuse’.






Baca selengkapnya...

Pintu yang terketuk

>> Selasa, 23 Juni 2009

Ada sebuah ruang dengan pintu tertutup rapat. Dalam ruang itu tersimpan segala sesuatu yang selama ini dianggap tak perlu. Sebenarnya bukan tak perlu, tetapi keseharian yang hiruk pikuk tak memberikan peluang baginya untuk menjadi berarti. Ketika usia merambat naik meninggalkan usia belia, pintu itu perlahan mengatup sampai akhirnya benar-benar tertutup. Dan sejak itu hidup serupa teka-teki silang, terkotak-kotak dengan isian pasti tak bisa ditolak.

Sungguh aneh ketika dari dalam ruang tertutup itu aku mendengar suara ketukan di pintunya. Ketukan dari dalam. Seperti sebuah himbauan untuk membuka pintu yang lama berdebu. Tapi dengan membukanya berarti aku harus siap mengembara ke perjalanan penuh kejutan. Ketika tiap benda bisa bersuara, semua tempat bisa dijangkau sekedipan mata dan waktu membeku bisu.

Baca selengkapnya...

Sebuah ruang untuk cinta

>> Minggu, 14 Juni 2009

Mungkinkah seorang eksekutif Microsoft, dengan segala kehidupan gemerlapnya, rela meninggalkan perusahaan itu dan memilih mengurusi perpustakaan kecil sebuah sekolah dasar di Bahundanda (kuberitahu, ini nama sebuah desa di pelosok Nepal)? Jawabannya adalah: mungkin, jika orang itu bernama John Wood.


Seminggu ini aku tak bisa lepas dari penuturan menakjubkan lelaki mantan eksekutif puncak di Microsoft itu, yang dalam salah satu fase hidupnya menyadari satu hal: ‘Apakah sungguh-sungguh penting berapa banyak salinan Windows yang kami jual di Taiwan bulan ini ketika jutaan anak tak memiliki akses ke buku?’ Pertanyaan ini seolah menandai perubahan radikal garis hidupnya seperti diungkap dalam memoar perjalanan yang ditulisnya, berjudul Room to Read (Penerbit Bentang, 2009).

Kesadaran John Wood bermula dari perjalanan liburan panjangnya mengunjungi Himalaya tahun 1999. Dalam kunjungan itu dia bertemu dengan seorang penilik sekolah yang kemudian membawanya ke Bahundanda untuk melihat salah satu SD di situ. John sempat terkesima ketika diajak masuk ke perpustakaan sekolah yang nyaris tak memiliki buku sama sekali. Muncul keinginan yang kuat dalam dirinya untuk membantu sekolah itu mendapatkan buku-buku yang diperlukan para muridnya. Berawal dari ‘proyek kecil’ mengumpulkan buku bekas dari kawan-kawannya di Amerika, John tergerak untuk melakukan sesuatu yang lebih besar. Nepal tak hanya butuh perpustakaan karena di negri yang indah itu tujuh dari sepuluh anak ternyata buta huruf! Akses ke dunia pendidikan sangat minim, terutama bagi anak perempuan. Nepal membutuhkan lebih banyak gedung sekolah. Namun keinginan ini membawanya pada situasi sulit: membantu anak-anak mendapatkan pendidikan tak bisa berjalan seiring dengan karirnya di Microsoft yang menuntut totalitas.

Sembilan tahun menjalani karir gemilang di perusahaan ternama, justru membawa John pada satu pemikiran: jika ia meninggalkan Microsoft, dalam waktu cepat perusahaan itu bisa mendapatkan pengganti (dari antrian panjang pelamar), sementara jika dia mengundurkan diri dari keinginan membantu jutaan anak agar bisa bersekolah, belum tentu ada satu orang yang mau mengambil alih peran itu. Kenyataan ini menguatkan tekadnya untuk segera bertindak. Dari sinilah John memulai organisasi nirlaba yang pada awalnya bernama Books for Nepal. Langkah berani yang diambilnya saat meninggalkan Microsoft menjadi salah satu unique selling proposition untuk menarik bantuan para donatur. Bukan awal yang mudah, tapi John mampu melewatinya bahkan sebelum organisasinya menginjak dua tahun, dia sudah berekspansi ke negara kedua, Vietnam. Kemudian menyusul Kamboja, Srilanka dan India.

Yang menarik, buku ini juga memberikan gambaran bagaimana sebuah organisasi nirlaba seharusnya dijalankan. Kiat sukses Room to Read membangun ribuan sekolah dan perpustakaan tak lepas dari model bisnis ‘ambil salah satu proyek’, dimana donatur bisa mendapatkan hubungan sebab-akibat yang kuat antara berapa besar sumbangannya dan berapa banyak yang bisa diperbuat dengan sumbangan itu. Ini mungkin berbeda dengan beberapa organisasi nirlaba yang tidak menjelaskan ‘sebab-akibat’ dari dana yang disumbangkan para donaturnya. Model bisnis Room to Read mensyaratkan efisiensi biaya operasional dan keterlibatan komunitas yang dibantu. Dengan model bisnis ini, terbukti proyek-proyek mereka bisa berkelanjutan. Sekolah-sekolah yang mereka bangun bisa terus berkembang tanpa harus selalu bergantung pada bantuan Room to Read.

Bagi banyak orang, terutama anak-anak yang berhasil mendapatkan pendidikan, John adalah seorang pahlawan. Sesungguhnya dia juga tidak bisa lepas dari dorongan manusiawinya untuk memiliki kehidupan pribadi sebagaimana orang lain. Di epilog buku ini John menggambarkan bagaimana ia memasuki usianya yang ke 40 tahun, tanpa seorang pendamping dan rumah yang masih berstatus sewa. ‘Jika anda mencintai apa yang anda lakukan dan dikelilingi oleh teman-teman dan keluarga yang baik, maka empat puluh atau lima puluh atau enam puluh hanyalah suatu angka bulat, bukan penyebab kepanikan.’ Di bagian lain John menuliskan salah satu motivasinya, ‘Saya telah menemukan satu hal yang selalu saya inginkan –sebuah karir bermakna dan tentang hal ini saya merasakan gairah. Setiap bangun saya ingin sekali melompat dari tempat tidur dan pergi ke kantor dan saya bersemangat untuk hal apa saja yang hari itu saya kerjakan. Itulah kemewahan yang langka di dunia ini.’ Dan apa hadiah ulang tahun ke-40 John untuk dirinya sendiri? Sebuah keputusan untuk mencurahkan masa paling produktif hidupnya untuk pendidikan anak-anak negara miskin.

Satu hal yang selalu menyedot emosi ketika membaca buku ini adalah kenyataan bahwa sebuah niat baik bisa berkembang begitu rupa. Seorang Andrew Carnegie bisa membangun 2.000 perpustakaan di Amerika seorang diri. Tapi John, yang tidak sekaya Andrew, dengan kekuatan jaringan Room to Read tidak hanya bisa membangun lebih banyak perpustakaan, tetapi juga sekolah dan beasiswa untuk ribuan pelajar di negara terbelakang. Ada ribuan orang terlibat dalam jaringan itu. Salah seorang diantaranya gadis berusia delapan tahun yang mampu menggalang dana bagi pembangunan sebuah sekolah baru di Nepal. Seakan menegaskan bahwa perbedaan latar belakang, prasangka ras, sekat geografis, dan apapun namanya, tak pernah menggerus habis kemanusiaan kita. Tetap saja ada ruang di hati kita yang tak bisa diganggu gugat. Sebuah ruang yang hangat untuk berbagi dengan sesama.

Baca selengkapnya...

Pengikut

  © Blogger template Palm by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP