[Tipping Point] Amnesia Penanggulangan Rokok

>> Jumat, 28 Agustus 2009


Pada peringatan hari tanpa tembakau sedunia tahun 2003 Menteri Kesehatan RI (saat itu Dr. Sujudi) menyatakan bahwa paling lambat tahun 2005 Indonesia akan memiliki Undang-Undang Anti rokok, menyusul kesepakatan negara-negara yang tergabung dalam badan kesehatan dunia (WHO) untuk mulai memberlakukan The WHO Framework Convention on Tobacco Control. Sayangnya, pernyataan Menkes seperti lenyap diterbangkan angin. Usulan UU anti rokok itu bahkan pernah ditolak DPR periode 2006-2007. Akhir tahun 2008 lalu usulan itu masuk lagi ke DPR, namun hingga kini belum ada tanda-tanda pembahasan undang-undang tersebut.

Sebagaimana dimaksudkan dalam FCTC, paling tidak UU anti rokok itu bisa melarang kampanye perusahaan rokok yang tanpa kendali seperti sekarang ini. Sulit dipahami bahwa perusahaan rokok seperti dibebaskan melakukan segala hal untuk memengaruhi orang terutama dari usia belia untuk mulai merokok. Pembagian rokok gratis di mall, di konser musik bahkan di pertandingan olah raga, sudah bukan hal aneh lagi. Kita tahu, sebagaimana penelitian yang diungkap MG di Tipping Point, usia 12 tahun – 18 tahun adalah saat awal seseorang biasa mulai merokok. Jika pada usia tersebut mereka sudah merokok melebihi ambang batas tertentu (5 mg nikotin per hari), sangat mungkin mereka akan menjadi pencandu hingga tua.

Karenanya, sangat penting untuk memutus mata rantai ini. Dan ini sepertinya disadari benar oleh industri rokok. Andai mereka tidak menggarap segmen usia remaja, sangat mungkin mata rantai itu putus. Saat para pecandu tua hilang dan tidak ada ‘penerusnya’, mereka harus siap-siap gulung tikar, beralih usaha atau memindahkannya ke negara lain, seperti yang dilakukan para ‘saudagar penyebar maut AS’ (meminjam istilah William Ecenbarger, America’s New Merchants of Death), di Indonesia. Ini pula yang mungkin menjadi ‘latar belakang’ betapa sulitnya meng-gol-kan sebuah UU anti rokok.

Sekedar ilustrasi bagaimana para pelobi dari industri rokok memengaruhi para wakil rakyat di AS pada tahun 90-an, seperti dikutip George Milowe di situs encognitive.com berikut ini : In the 1991-92 election period, tobacco lobbyists gave $2.3 million to Congressional candidates. Phillip Morris and RJR Nabisco were among the top seven corporate donors. Tobacco interests also gave $2.5 million to the Republican and Democratic parties." Also, under pressure from tobacco lobbyists in the 1980's, the U.S. Trade Representative helped to force open the markets of Japan, South Korea, Taiwan, and Thailand to U.S. tobacco companies, challenging these countries' and-tobacco health measures as unfair trade barriers, and insuring a tremendous growth of tobacco use, including amongst young people.

Di tengah kegamangan dan amnesia para wakil rakyat dalam membahas dan mengesahkan UU anti rokok tersebut, langkah yang diambil beberapa perguruan tinggi seperti Unissula Semarang, Unsoed Purwokerta, dan belakangan juga UGM Yogyakarta yang melarang semua bentuk promosi rokok di wilayah kampus, perlu mendapat apresiasi yang tinggi. Harapan kita tentu langkah ini diikuti oleh semua perguruan tinggi di Indonesia. Dengan harapan, meminjam penalaran tipping point, bisa menjadi sebuah langkah kecil bagi sebuah perubahan besar.

Baca selengkapnya...

[Tipping Point] Tentang Brand Community

>> Jumat, 21 Agustus 2009

Silih Agung Wasesa, pakar pemasaran dan public relation, beberapa waktu lalu menulis di majalah Marketing edisi Agustus 2009 tentang Community Advertisement. Di situ dia mengungkapkan kecenderungan merek-merek untuk melakukan kegiatan aktivasi brand community, yaitu sebuah upaya menanamkan kesadaran dan loyalitas merek melalui kegiatan yang melibatkan konsumen atau komunitas konsumen. Dia mencontohkan Nesvita yang membuat tantangan kolesterol, Lifebuoy dengan program Super-Dad-nya atau tantangan Rinso untuk ibu-ibu rumah tangga.

Tidak berlebihan jika banyak merek (terutama merek besar dan market leader) rela mengguyurkan sejumlah dana untuk kegiatan itu. Toh jika program itu tepat sasaran biayanya masih jauh lebih rendah dibanding beriklan di media. ‘...untuk anggaran iklan 5 miliar, maka hanya dibutuhkan maksimal 2 miliar untuk mencapai efektifitas yang sama kuatnya (dengan program community advertisement, ym)’. Sayangnya, masih menurut Silih Agung, beberapa kegiatan yang melibatkan komunitas tidak menuai hasil yang diharapkan. Penyebab yang paling menonjol setidaknya ada 2, yaitu: salah memilih brand endorser dari dalam komunitas yang digarap dan keliru menentukan issue atau informasi yang bisa membuat anggota komunitas menjadi bersemangat untuk berbagi.

Pemaparan Silih Agung ini agaknya senada dengan penjelasan Malcolm Gladwell tentang syarat-syarat terjadinya sebuah epidemi perubahan (Tipping Point), yaitu: Hukum tentang Yang Sedikit (the Law of the Few), Faktor Kelekatan (the Stickiness Factor), dan Kekuatan Konteks (the Power of Context). Mengenai Hukum tentang Yang Sedikit, MG berkisah tentang orang (atau sekumpulan orang) yang memang memiliki kelebihan dalam hal menularkan sebuah informasi dan menjadikannya titik awal perubahan. Dalam istilah MG orang-orang yang memiliki ketrampilan sosial yang langka, yang dia kelompokkan menjadi tiga jenis manusia, yaitu Para Penghubung (Connector), Para Bijak Bestari (Mavens) dan para Penjaja (Salesman).

Para Penghubung adalah mereka yang memiliki bakat khusus yang memungkinkan orang sedunia saling berhubungan. Kita tentu pernah mengenal orang-orang jenis ini, orang yang senang menghubungkan/mengenalkan kita dengan orang-orang lain. Sudah pasti mereka mengenal dan dikenal banyak orang. Kenal bukan dalam pengertian sok akrab atau agresif menjalin hubungan dengan orang lain karena ada ‘sesuatu’ yang diharapkan dari hubungan itu. MG menggambarkan Para Penghubung sebagai orang yang memiliki naluri untuk menjalin hubungan, senang bergaul dan tulus. ‘Ketika kebanyakan kita masih sibuk memilih siapa yang ingin kita sapa, dan menolak orang yang menurut kita kurang sepadan atau tinggal terlalu jauh atau sudah terlalu lama tidak jumpa, Lois dan Roger (Para Penghubung, ym) menyukai mereka semua.’

Yang kedua, Para Bijak Bestari (Maven) adalah orang yang memecahkan masalahnya sendiri –memuaskan kebutuhan emosionalnya sendiri—lewat memecahkan masalah orang lain. Dari bahasa asalnya (bahasa Yiddish), maven berarti orang pintar atau orang yang memiliki pengetahuan sangat luas. Tidak hanya itu, mereka juga senang menolong orang dengan pengetahuan yang mereka miliki. Seorang maven akan senang sekali jika informasi yang mereka berikan bisa membantu orang lain. Dan mereka melakukannya tanpa pamrih. Dia mungkin seseorang yang dengan senang hati membantu kita memilih perangkat elektronik yang bagus karena dia paham benar ihwal perlengkapan elektronik tersebut. Atau merekomendasikan sebuah buku yang cocok untuk kita karena dia memiliki segudang informasi mengenai buku, penulis dan tema-teman yang cocok dengan personal interest kita.

Namun seorang maven bukanlah seorang pembujuk. Mereka lebih seperti seorang guru. Adapun orang yang memiliki kemampuan untuk membujuk orang lain ketika orang itu belum yakin tentang sesuatu, disebut Salesman. Mereka tipe orang yang persuasif bahkan ketika mereka tidak sedang melakukan persuasi kepada kita. Dalam bukunya MG menguraikan bahwa persuasi tidak semata-mata bersifat verbal, justru yang non-verbal bisa memiliki efektifitas yang lebih besar karena sifatnya yang tersamar dan mudah merasuk. Faktor inilah yang membuat seorang Salesman bisa terlihat sangat menarik. Mereka menguasai seperangkat kemampuan komunikasi non-verbal.

Uraian tentang Hukum yang Sedikit ini mungkin bisa menjadi salah satu panduan untuk memilih seorang (atau sekelompok orang) brand endorser yang tepat dalam sebuah komunitas, sebagaimana dijelaskan oleh Silih Agung. Tentu saja cara ini berbeda dengan cara-cara konvensional yang sering dilakukan pemilik merek. Biasanya mereka ‘membanjiri’ orang yang dianggap sebagai panutan dalam kelompok dengan hadiah berupa uang, merchandise ataupun fasilitas-fasilitas khusus. Cara tersebut jelas merupakan jalan pintas yang terbukti tidak efektif.

Ada sebuah contoh kasus menarik di buku Tipping Point, yaitu bangkit kembalinya merek Hush Puppies. Sekitar tahun 1994, merek Hush Puppies sudah bisa dibilang mati. Penjualan sepatunya terus menurun, bahkan sempat terpikir untuk menghentikan produksi. Kemudian muncul sekelompok remaja di East Village dan Soho yang iseng memakai sepatu buatan Hush Puppies semata-mata karena ingin tampil beda. Keisengan ini kemudian menjalar ke remaja-remaja lain yang memuat toko-toko barang bekas diserbu pembeli. Sampai kemudian ada seorang desainer yang menggunakan sepatu Hush Puppies sebagai salah satu asesorinya. Sejak itu, pesanan terus mengalir dan dalam waktu dua tahun Hush Puppies kembali bangkit menjadi merek kelengkapan busana ngetren di Amerika. Uniknya, mereka tidak perlu mengeluarkan dana untuk membayar para remaja iseng tersebut.

Baca selengkapnya...

[Tipping Point] Dahsyatnya kekuatan konteks

>> Rabu, 19 Agustus 2009

Orang Indonesia yang datang ke Singapore mendadak bisa menjadi warga yang tertib. Membuang sampah pada tempatnya, mematuhi setiap rambu, bahkan untuk naik taksi pun mereka rela menunggu dalam antrian. Namun begitu kembali ke Indonesia, ‘sifat aslinya’ kembali keluar. Tentu ini bukan cerita yang baru. Sekedar ilustrasi yang mirip dengan beberapa contoh yang dikemukakan MG dalam buku Tipping Point, berkaitan dengan kekuatan konteks.

Mari kita lihat contoh kasus lain yang menarik di buku itu. Tahun 1980-an, New York City adalah tempat yang sangat menakutkan dengan angka kejahatan yang luar biasa tinggi. Dalam setahun ada lebih dari 2.000 kasus pembunuhan (setidaknya 5 kasus per hari!), dan 600.000 tindak kekerasan serius. Di terowongan-terowongan kereta api bawah tanah, yang berlaku adalah hukum rimba. Hampir setiap hari ada kasus penembakan dalam kereta. Kebanyakan gerbong keretanya jorok, penuh coretan (grafitti) dan fasilitas umumnya jauh dari memadai. Namun, tanpa banyak orang yang memahaminya, mulai tahun 1990-an, tiba-tiba saja angka kejahatan itu turun drastis. Apa yang terjadi?


Untuk memahami fenomena ini, MG mengutip sebuah teori dari kriminolog James Q. Wilson dan George Kelling yang disebut teori Broken Windows. Gambaran singkat teori itu seperti ini: jika jendela sebuah rumah pecah namun dibiarkan saja, siapa pun yang lewat cenderung menyimpulkan pastilah di situ tidak ada yang peduli atau bahwa rumah itu tidak berpenghuni. Dalam waktu singkat, akan ada lagi jendelanya yang pecah dan belakangan berkembang anarki yang menyebar ke sekitar tempat itu.

Pertengahan tahun 80-an, Goerge Kelling disewa oleh New York Transit Authority sebagai konsultan untuk mengatasi masalah kejahatan di kereta api bawah tanah. Untuk itu, Kelling meminta jawatan itu menerapkan teori Broken Windows-nya. Berbeda dengan pendapat kebanyakan pejabat pemerintah yang menginginkan penanganan kejahatan secara langsung, Kelling bersama direktur baru urusan kereta api justru memulai aksinya dengan menangani tindak corat-coret yang marak di dalam gerbong kereta. Setiap kali sebuah rangkaian gerbong menyelesaikan satu rute, gerbong-gerbong itu langsung masuk ke fasilitas pembersihan. Semua grafiti akan dibersihkan sampai tuntas. Hanya gerbong-gerbong yang bersih yang boleh beroperasi. Jelas langkah ini membuat tukang corat-corat kecewa dan marah karena ‘hasil karya mereka’ selalu lenyap tak berbekas.

Dalam waktu bersamaan, polisi juga menangkap para penumpang yang nekat naik kereta tanpa karcis. Selama ini para petugas kereta api tidak berkutik menghadapi para penumpang gelap tersebut. Apa yang didapat oleh polisi dengan aksi tersebut ternyata lebih dari yang mereka duga. Sebagian penumpang gelap tersebut ternyata juga para pelaku kejahatan atau orang yang kedapatan membawa senjata dan sejenisnya. Di sinilah Kelling membuktikan teorinya, bahwa kejahatan-kejahatan kecil, pelanggaran-pelanggaran remeh yang lazimnya dianggap tidak signifikan, sesungguhnya merupakan Tipping Point menuju kejahatan-kejahatan besar.

MG menyatakan bahwa teori Broken Windows ini sama dengan konsep Power of Context dalam pengertian sebuah gejala menular yang parah dapat diguncang lewat penanganan masalah-masalah kecil yang terjadi di lingkungan bersangkutan. Sebuah jendela yang rusak tidak akan dibiarkan berlama-lama dalam kondisi rusak yang bisa mengundang kerusakan lebih parah. Sama juga dengan kasus warga Indonesia yang datang ke Singapore, tidak diberi ruang sedikitpun untuk melakukan ‘pelanggaran kecil’. Di sana-sini ada ancaman denda yang siap dijatuhkan. Di setiap pojok ruang publik ada kamera pengintai yang siap menangkap basah para pelanggar. Apakah ini membuat warga Singapore menjadi ‘insan kamil’ di mana pun mereka berada? Tidak juga. Kalau kita melihat warga Singapore yang sedang berlibur ke pulau Bintan di kepulauan Riau, perilaku mereka tak beda jauh dengan warga Indonesia.

MG juga mengemukakan satu studi menarik mengenai FAE (Fundamental Attribution Error), yaitu sebuah kesalahan dalam menafsirkan perilaku seseorang yang cenderung didasarkan pada bakat, karakter atau pembawaan dengan mengecilkan peran situasi atau konteks. Fenomena ini muncul karena kebanyakan kita jauh lebih paham terhadap petunjuk-petunjuk personal ketimbang pada petunjuk-petunjuk kontekstual. Agak mengejutkan bahwa dalam sebuah studi oleh dua orang peneliti di New York tahun 1920 diketahui bahwa sifat seperti Kejujuran bukanlah sifat yang mendasar (fundamental trait). Dari penelitian itu mereka menyimpulkan kejujuran itu sifatnya situasional. Di bagian ini kita menjadi sedikit pesimis dengan beberapa uji kepantasan dan kelayakan yang sering dilakukan terhadap seseorang yang hendak menjabat satu posisi penting. Seandainya pun didapat kandidat yang pantas (proper), itu mungkin tidak akan menjamin bahwa yang bersangkutan akan tetap proper sepanjang masa jabatannya.

Ada contoh menarik dikemukakan di buku ini yaitu penelitian yang dilakukan oleh dua orang psikolog dari Princeton University, John Darley dan Daniel Batson, terhadap sekelompok siswa seminari. Para siswa itu diminta menyiapkan sebuah khotbah singkat mengenai keutamaan menolong orang lemah dan teraniaya berdasarkan literatur injil tentang orang Samaria yang Baik. Mereka kemudian diminta datang ke aula untuk menyampaikan khotbah itu. Di tengah perjalanan menuju aula itu, tanpa sepengetahuan para siswa, mereka akan dihadapkan pada situasi bertemu dengan seorang yang merintih-rintih di tepi jalan, kesakitan dan sangat menderita. Pertanyaannya, siapa diantara siswa itu yang akan tergerak untuk menolong?

Ada yang menarik dalam penelitian itu ketika para siswa seminari yang kelak menjadi pendeta atau pastor dan membaktikan hidupnya untuk menolong sesama, diminta untuk datang segera ke aula. Ketika diingatkan bahwa mereka kemungkinan akan terlambat sampai ke aula, hanya 10 persen dari para siswa itu yang tergerak untuk menolong orang yang kesakitan di pinggir jalan. Selebihnya, melewatinya begitu saja. Sementara kelompok siswa yang tidak diminta untuk tergesa-gesa, 63 persen mau berhenti dan memberikan pertolongan. ‘Yang ingin disiratkan dalam studi ini...adalah bahwa keyakinan dalam hati Anda dan isi sesungguhnya pikiran Anda pada akhirnya tidak terlalu berperan dalam mengarahkan perbuatan Anda dibanding konteks langsung perilaku Anda’.

Wah...

Baca selengkapnya...

[Tipping Point] Melawan Rokok

>> Minggu, 16 Agustus 2009

Harian Kompas edisi 10 Juli 2009 menurunkan tulisan di rubrik Fokus tentang industri rokok sebagai industri penuh tipu daya. Iklan rokok penuh kebohongan memadati tepian jalan protokol, ruang publik, media cetak dan elektronik tanda kendali. Belum lagi kampanye pemasaran melalui konser musik atau olahraga. Tujuannya tentu untuk membangun persepsi tentang kebiasaan merokok sebagai kebiasaan yang cool. Tak peduli bahwa iklan itu sama sekali tak masuk akal, bahwa kebiasaan itu sendiri sangat merusak, nyatanya 60 juta penduduk Indonesia sangat tergantung pada kebiasaan kotor itu.

Aku selalu berkeyakinan bahwa cara yang cukup ampuh untuk menghadapi perilaku masokis vandalis merokok adalah dengan membangun persepsi negatif seputar kebiasaan itu. Persepsi dilawan dengan persepsi. Tinggal bagaimana missi ini bisa dijalankan untuk menandingi iklan-iklan rokok yang begitu masif. Sayangnya, untuk kampanye anti-rokok ini tidak tersedia dana sebesar yang dimiliki para pengusaha rokok (yang di Amerika sering disebut para bad guy). Di titik ini, para aktivis anti-rokok seperti kehilangan semangat juangnya.

Di buku Tipping Point, MG menawarkan solusi yang cukup elegan berdasar kaidah kelekatan (stickiness). Sebagaimana dinyatakan oleh penulis buku ini bahwa perubahan besar tidak selalu membutuhkan energi besar pula, maka perang melawan rokok bisa saja dihadapi tanpa harus bersaing dalam budget iklan dengan para bad guy itu. Menurut MG, ‘kita hanya perlu menemukan tipping point untuk stickiness, kelekatan (dalam kebiasaan merokok, ym), dan titik itu adalah kaitan-kaitan dengan depresi dan ambang batas nikotin.’

Pertama, mengenai depresi. Tahun 1986, dalam sebuah studi yang dilakukan oleh psikolog di Columbia University, ditemukan bahwa 60 persen perokok berat memiliki riwayat depresi yang parah. Sebaliknya, dalam studi lanjutannya, diketahui bahwa mereka yang pernah menderita gangguan jiwa serius, 74 persen merokok. Semakin besar gangguan jiwa yang diderita, semakin kuat korelasinya dengan merokok. Sebuah studi lainnya yang dilakukan beberapa psikiater di Inggris menemukan kaitan antara perilaku merokok anak usia belasan tahun dengan masalah emosi dan lingkungan sekitar mereka yang bermasalah.

Mengenai kaitan ini, ada beberapa teori yang disampaikan. Antara lain, ‘Semua hal yang dapat membuat seseorang rentan...merokok – rasa harga diri yang rendah, suasana rumah yang tidak sehat atau tidak bahagia – sama dengan semua hal yang dapat membuat seseorang mengalami depresi.’ Bahkan ‘ada beberapa bukti awal bahwa kedua masalah tersebut (merokok dan depresi, ym) mungkin mempunyai akar genetik yang sama.’ Sebagai contoh, depresi diyakini disebabkan antara lain oleh terganggunya produksi bahan kimia penting dalam otak yang disebut serotinin, dopamin dan norepineprin. Bahan kimia tadi berpengaruh terhadap rasa percaya diri, kemampuan menanggulangi masalah, kemampuan merasakan kenikmatan, dan mengatur mood. Para perokok yang menderita depresi menggunakan tembakau sebagai cara murah untuk menaikkan kadar bahan kimia otak tersebut agar berfungsi secara normal. Nikotin tampajnya menjalankan peran sebagai perangsang produksi dopamin dan norepineprin.

Kenyataan ini menyiratkan harapan bahwa tembakau bisa ditanggulangi dengan semacam obat yang bisa menggantikan fungsinya sebagai perangsang bahan kimia penting otak tersebut. Sebuah perusahaan farmasi bernama Glaxo Wellcome (tahun 2000 dimerger dengan Smithkline Beecham menjadi GlaxoSmithkline, GSK, www.gsk.com, ym) berhasil membuat obat dan memasarkannya dengan merek Zyban (www.zyban.com) . Obat ini telah diuji coba dan memberikan hasil yang cukup memuaskan pada perokok berat. Dalam kurun 4 minggu pemberian obat itu, 49 persen pecandu rokok berhenti merokok.

Kedua, berkaitan dengan ambang batas nikotin. Ketika seorang remaja pertama kali mencoba merokok, dia tidak serta merta menjadi perokok. Sebagian besar justru tidak melanjutkan merokok dan sekitar sepertiganya yang meneruskan kebiasaan itu. Ketagihan nikotin bukan perkembangan yang mendadak. “Mereka menunggu beberapa tahun untuk sampai ke tingkat itu”, kata Neal Benowitz, pakar ketergantungan di University of California. Ketika seorang remaja limabelas tahun mencoba merokok, ia tidak sertamerta menjadi ketagihan. Artinya, ada ambang batas tertentu seseorang menjadi kecanduan dengan rokok. Jika ambang batas itu tidak terlampaui, maka sampai kapan pun dia tidak akan kecanduan. Tapi sekali ambang itu terlewati, ia sah menjadi seorang perokok.

Pakar nikotin terkemuka dunia, Benowitz dan Henningfiled, menawarkan agar pabrik rokok diharuskan mengurangi kadar nikotin sehingga mereka yang merokok 30 batang sehari pun tidak sampai kemasukan nikotin lebih dari lima miligram dalam 24 jam, yang menjadi ambang batas kecanduan. Dengan mengurangi kadar nikotin sampai di bawah ambang batas kecanduan, maka merokok tidak lagi melekat. ‘Merokok akan menjadi seperti penyakit batuk dan pilek biasa: mudah tertular tapi mudah diobati.’

Bagaimana pun, MG menegaskan di buku ini, mencegah seorang remaja agar tidak tergoda untuk mencoba merokok bukanlah usaha yang tepat karena ‘coba-coba adalah sesuatu yang alami di kalangan anak-anak dan remaja’. Di bagian lain, ‘alih-alih memerangi proses coba-coba itu adalah mengusahakan agar coba-coba tersebut tidak sampai berakibat serius.’

Solusi yang ditawarkan MG untuk mengatasi perilaku buruk merokok tersebut memang layak dikedepankan. Solusi pertama untuk mereka yang sudah menjadi pecandu rokok, dan solusi kedua untuk mengatasi remaja menjadi seorang pecandu. Setuju?

Baca selengkapnya...

Blues untuk Willy

>> Minggu, 09 Agustus 2009

Seniman besar itu telah berpulang, mewariskan antara lain satu buku kecil bersampul coklat. Bagi orang lain mungkin itu bukan karya terbaiknya, sayangnya aku sangat menyukainya. Aku pernah mendengar melalui pita kaset sang seniman membacakan dua puisi dari kumpulan itu. Ketika itu aku masih belia dan mudah terpesona. Cara dia membacakan puisi itu sungguh beda. Bahkan sampai hari ini aku masih bisa mengingatnya. Mengalun berirama dan terkadang jenaka. Puisi yang dia bacakan berjudul Rick dari Corona dan Nyanyian Angsa.

Buku coklat itu berjudul Blues untuk Bonnie. Dan seniman besar itu tentu saja W.S. Rendra. Terbit pertama kali tahun 1971, buku kumpulan puisi itu memuat 13 karya, salah satunya dijadikan judul buku kumpulan puisi itu, Blues untuk Bonnie. Sedikit beda dengan puisi-puisi ‘pemberontakan’ Rendra yang akrab bagi publik dan sering dicuplik, Blues untuk Bonnie jarang disebut. Seperti beberapa puisi naratif Rendra lainnya, di puisi ini aku mendapati cerita tentang kesepian, kepedihan, juga kekalahan.


Blues untuk Bonnie

Kota Boston lusuh dan layu
kerna angin santer, udara jelek,
dan malam larut yang celaka.
Di dalam cafe itu
seorang penyanyi Negro tua
bergitar dan bernyanyi.
Hampir-hampir tanpa penonton.
Cuma tujuh pasang laki dan wanita
berdusta dan bercintaan di dalam gelap
mengepulkan asap rokok kelabu,
seperti tungku-tungku yang menjengkelkan.

Ia bernyanyi.
Suaranya dalam.
Lagu dan kata ia kawinkan
Lagu beranak seratus makna.
Georgia. Georgia yang jauh.
Di sana gubug-gubug kaum Negro.
Atap-atap yang bocor.
Cacing tanah dan pellagra.
Georgia yang jauh disebut dalam nyanyinya.

Orang-orang berhenti bicara
Dalam cafe tak ada suara.
Kecuali angin menggetarkan kaca jendela.
Georgia.
Dengan mata terpejam
si Negro menegur sepi.
Dan sepi menjawab
dengan sebuah tendangan jitu
tepat di perutnya.

Maka dalam blingsatan
ia bertingkah bagai gorilla.
Gorilla tua yang bongkok
meraung-raung.
Sembari jari-jari galak di gitarnya
mencakar dan mencakar
menggaruki rasa gatal di sukmanya.

Georgia.
Tak ada lagi tamu baru.
Udara di luar jekut.
Anginnya tambah santer.
Dan di hotel
menunggu ranjang yang dingin.
Srenta dilihat muka majikan cafe jadi kecut
lantaran malam yang bangkrut.
Negro itu menengadah
Lehernya tegang.
Matanya kering dan merah
menatap surga.
Dan surga
melemparkan sebuah jala
yang menyergap tubuhnya.

Bagai ikan hitam
ia menggelepar dalam jala.
Jumpalitan
dan sia-sia.
Marah
terhina
dan sia-sia.

Angin bertalu-talu di alun-alun Boston.
Bersuit-suit di menara gereje-gereja.
Sehingga malam koyak moyak.
Si Negro menghentakkan kakinya.
Menyanyikan kutuk dan serapah.
Giginya putih berkilatan
meringis dalam dendam.
Bagai batu lumutan
wajahnya kotor, basah dan tua.

Maka waktu bagaikan air bah
melanda sukmanya yang lelah.
Sedang di tengah-tengah itu semua
ia rasakan sentakan yang hebat
pada kakinya.
Kaget
hampir-hampir tak percaya
ia merasa
encok yang pertama
menyerang lututnya.

Menuruti adat pertunjukkan
dengan kalem ia menahan kaget.
Pelan-pelan berhenti.
Pelan-pelan duduk di kursi.
Seperti guci retak
di toko tukang loak.

Baru setelah menarik napas panjang
ia kembali menyanyi.

Georgia.
Georgia yang jauh disebut dalam nyanyinya.
Istrinya masih di sana.
Setia tapi merana.
Anak-anak Negro bermain di selokan
tak krasan sekolah.
Yang tua-tua jadi pemabuk dan pembual
banyak hutangnya.
Dan di hari minggu
mereka pergi ke gereja yang khusus untuk Negro
di sana bernyanyi
terpesona pada harapan akherat
kerna di dunia mereka tak berdaya.

Georgia.
Lumpur yang lekat di sepatu.

Gubug-gubug yang kurang jendela.
Duka dan dunia
sama-sama telah tua.
Sorga dan neraka
keduanya usang pula.
Dan Georgia?
Ya, Tuhan
Setelah begitu jauh melarikan diri,
masih juga Georgia menguntitnya.



Georgia, Negro tua yang payah, lumpur yang lekat di sepatu, adalah idiom tentang tempat, pelaku dan nasib, yang mau tak mau menyeret kita pada banyak kisah hidup yang perih dan tak mudah bagi banyak orang, di mana pun tempatnya. Kalau membaca beberapa kisah kenangan tentang Rendra dalam berbagai media selepas kepergiannya itu, kita tahu bahwa jalan kesenian yang ditempuhnya pun, teater dan puisi, bukan sejenis jalan yang mudah. Sekalipun namanya dan nama kelompok teaternya sudah begitu dikenal publik.

Tapi di sisi lain puisi itu juga menyiratkan sebuah ‘perjuangan’ yang tak pernah selesai. Selalu saja ada Georgia, Negro papa, dan lumpur yang tak kunjung sirna. Menjelang ajalnya, Rendra masih konsisten naik pentas (terakhir kulihat di pentas The Candidate, Metro TV), ‘mencabik-cabik dawai gitarnya sendiri’, menyuarakan resah dari dalam sukmanya: korupsi itu seperti lumpur yang lekat di sepatu birokrasi kita. Pertanyaannya, siapa kini yang mau menempuh jalan tak mudah, menyuarakan kepedihan dan kebusukan itu melalui teater, puisi atau media ekspresi lainnya?

Mudah-mudahan ada, dan selalu akan ada orang-orang yang tak takut menempuh jalan tak mudah itu. Atau dalam bahasa Rendra disebut ‘pemberontak’. Dalam berbagai kesempatan, dia acapkali mengulang “Kalau kita tidak melawan kelaliman dan kezaliman, kita lebih baik tak jadi seniman. Kita sekarang butuh surga baru. Tanpa tangan kita kotor, kita tidak bisa ciptakan kembali itu firdaus...”

Baca selengkapnya...

Pengikut

  © Blogger template Palm by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP