Next, setelah itu apa?

>> Senin, 29 Juni 2009

Michael Jackson, King of Pop itu telah mangkat. Ia meninggalkan kerajaan Neverland miliknya. Kita tahu, Neverland adalah situs metaforis tempat bersemayam Peter Pan, tokoh rekaan J.M. Barrie yang menolak menjadi tua. Bukan tanpa sengaja MJ memilih nama Neverland, dan hubungannya dengan Peter Pan serta ide tak pernah menjadi tua. MJ sendiri memang tak akan pernah mengalami masa tua karena His Story* selesai di usia setengah baya. Baiklah MJ, You’re not Alone*, sebab ide menolak tua itu telah ada sepanjang masa. Dan kini salah satu harapannya ada di tangan para ahli genetika. Benarkah?

Mari kita bayangkan kemungkinannya melalui novel Michael Crichton terbaru dan terakhir, Next. Edisi Indonesianya diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama, April 2009. Bagi sebagian kita yang tidak mengikuti dengan seksama perkembangan teknologi genetika, penuturan Crichton di novel ini mungkin akan menimbulkan tanda tanya: sudah sejauh itukah manusia bermain-main dengan kode genetik? Coba tengok harian Kompas edisi 6 Juni 2009. Di situ diturunkan laporan berjudul ‘Primata Transgenik: kontroversial tetapi menjanjikan’. Itu hanya sebagian dari berbagai pencapaian di bidang rekayasa genetika dan sudah tentu dengan berbagai persoalan di sekitarnya.

Berbeda dengan novel Crichton lainnya, alur cerita Next tidak hanya terpusat pada satu atau dua tokoh sentral. Bahkan beberapa peristiwa tidak saling berhubungan satu dengan lainnya. Rangkaian cerita utamanya berpusat pada perusahaan bioteknologi bernama BioGen yang mengembangkan rangkaian sel penghasil zat pemerang kanker bernama cytokine. Sel-sel tersebut diambil dari tubuh seorang laki-laki bernama Frank Burnett. Burnett selama bertahun-tahun tidak menyadari bahwa sel-sel dari tubuhnya diambil oleh BioGen dan digunakan untuk kepentingan komersial perusahaan itu. Dia dan anak perempuannya yang berprofesi pengacara menggugat ke pengadilan, dan Rick Diehl sang CEO BioGen, berupaya keras mempertahankan ‘kepemilikan’ mereka atas rangkaian sel Burnett yang telah dipatenkan. Sebuah ‘pertempuran’ seru terjadi, baik di dalam maupun di luar ruang sidang. Sementara itu, di laboratorium miliknya, Diehl juga mengembangkan gen lain yang disebut gen kedewasaan yang berkaitan dengan penyakit degeneratif syaraf (wah!). Pengembangan gen ini juga bukan tanpa masalah, bahkan sempat merenggut korban jiwa.

Dalam kisah-kisah lainnya, yang tidak berhubungan dengan alur cerita utama tadi, Crichton juga bercerita panjang lebar tentang topik-topik lain seputar rekayasa genetika. Seperti penemuan orang utan di Sumatra yang bisa berbicara; penyu di Costa Rica yang bisa mengeluarkan cahaya lembayung; seorang wanita yang menuntut ‘ayah biologisnya’ -- seorang dokter yang pernah menjadi donor sperma bagi ibunya dan beberapa kisah yang sepertinya dimasukkan Crichton untuk menjelaskan berbagai pandangan (termasuk pandangannya sendiri) mengenai rekayasa genetika. Termasuk yang berkaitan dengan ‘posisi’ Tuhan dalam persoalan ini. Melalui salah satu tokohnya Crichton menuliskan,’Rekayasa genetika memungkinkan kita membagikan kemurahan hati Tuhan....insulin murni untuk penderita diabetes, faktor pembeku murni untuk penderita hemofilia. Sebelumnya, para penderita ini banyak yang meninggal karena kontaminasi. Tentunya, yang menciptakan kemurnian ini adalah pekerjaan Tuhan. Siapa yang akan menyatakan sebaliknya?’

Novel ini cukup nikmat diikuti karena Crichton membagi tiap peristiwa menjadi fragmen dalam bab-bab pendek dan terpisah. Bab ke-88 bahkan tak sampai satu halaman panjangnya, membuat kita bisa berhenti di mana pun dan masuk lagi ke fragmen berikutnya. Namun peristiwa-peristiwa yang berserakan, pendek dan begitu cair membuat kita tidak mendapatkan suasana yang benar-benar mencekam seperti pada novel Crichton lainnya, misalnya Congo.

Crichton juga membuat catatan khusus mengenai topik rekayasa genetika ini di akhir novelnya plus buku-buku yang menjadi rujukan. Seakan dia merasa tidak cukup puas memaparkan pendapatnya melalui tokoh-tokoh protagonis di novel ini. Melalui Next, Crichton menyikapi secara kritis perkembangan teknologi genetika dan menyodorkan tombol pilihan kepada kita: next/lanjut -- tanpa ada kemungkinan untuk kembali atau berhenti sampai di sini.

Gagasan pemuliaan gen untuk kesejahteraan manusia sampai sekarang masih menjadi persoalan yang tak ada habisnya diperdebatkan. Di akhir tahun 80-an, Arifin C Noer mementaskan lakon Ozone di Bandung. Salah satu tokoh di drama itu bernama Waska. Tokoh Waska bahkan menolak untuk mati dan melalui teknologi khususnya rekayasa genetika, ia berhasil mengalahkan waktu. Namun di titik itulah tragedi muncul. Kehidupan ‘abadi’ itu tak lain sebuah hukuman yang jauh lebih menyakitkan dibanding hukuman mati. Dia melayang-layang di angkasa dalam pesawat khususnya, melihat kekerasan demi kekerasan di bumi, merasakan kesepian mencekam, iri pada kematian dan terus terjaga hingga hari kiamat tiba. Dalam hal ini, agaknya Arifin ingin mengatakan bahwa persoalan yang lebih relevan dikemukakan bukan seberapa lama seorang manusia mampu bertahan hidup di muka bumi ini...



*) HIStory adalah salah satu album Michael Jackson, di mana lagu You’re Not Alone ada di dalamnya. Lagu yang memukau ini ditulis oleh R. Kelly, dirilis tahun 1995 menandai masa sulit yang sedang dialami Jacko waktu itu karena tuduhan melakukan ‘child abuse’.






Baca selengkapnya...

Pintu yang terketuk

>> Selasa, 23 Juni 2009

Ada sebuah ruang dengan pintu tertutup rapat. Dalam ruang itu tersimpan segala sesuatu yang selama ini dianggap tak perlu. Sebenarnya bukan tak perlu, tetapi keseharian yang hiruk pikuk tak memberikan peluang baginya untuk menjadi berarti. Ketika usia merambat naik meninggalkan usia belia, pintu itu perlahan mengatup sampai akhirnya benar-benar tertutup. Dan sejak itu hidup serupa teka-teki silang, terkotak-kotak dengan isian pasti tak bisa ditolak.

Sungguh aneh ketika dari dalam ruang tertutup itu aku mendengar suara ketukan di pintunya. Ketukan dari dalam. Seperti sebuah himbauan untuk membuka pintu yang lama berdebu. Tapi dengan membukanya berarti aku harus siap mengembara ke perjalanan penuh kejutan. Ketika tiap benda bisa bersuara, semua tempat bisa dijangkau sekedipan mata dan waktu membeku bisu.

Baca selengkapnya...

Sebuah ruang untuk cinta

>> Minggu, 14 Juni 2009

Mungkinkah seorang eksekutif Microsoft, dengan segala kehidupan gemerlapnya, rela meninggalkan perusahaan itu dan memilih mengurusi perpustakaan kecil sebuah sekolah dasar di Bahundanda (kuberitahu, ini nama sebuah desa di pelosok Nepal)? Jawabannya adalah: mungkin, jika orang itu bernama John Wood.


Seminggu ini aku tak bisa lepas dari penuturan menakjubkan lelaki mantan eksekutif puncak di Microsoft itu, yang dalam salah satu fase hidupnya menyadari satu hal: ‘Apakah sungguh-sungguh penting berapa banyak salinan Windows yang kami jual di Taiwan bulan ini ketika jutaan anak tak memiliki akses ke buku?’ Pertanyaan ini seolah menandai perubahan radikal garis hidupnya seperti diungkap dalam memoar perjalanan yang ditulisnya, berjudul Room to Read (Penerbit Bentang, 2009).

Kesadaran John Wood bermula dari perjalanan liburan panjangnya mengunjungi Himalaya tahun 1999. Dalam kunjungan itu dia bertemu dengan seorang penilik sekolah yang kemudian membawanya ke Bahundanda untuk melihat salah satu SD di situ. John sempat terkesima ketika diajak masuk ke perpustakaan sekolah yang nyaris tak memiliki buku sama sekali. Muncul keinginan yang kuat dalam dirinya untuk membantu sekolah itu mendapatkan buku-buku yang diperlukan para muridnya. Berawal dari ‘proyek kecil’ mengumpulkan buku bekas dari kawan-kawannya di Amerika, John tergerak untuk melakukan sesuatu yang lebih besar. Nepal tak hanya butuh perpustakaan karena di negri yang indah itu tujuh dari sepuluh anak ternyata buta huruf! Akses ke dunia pendidikan sangat minim, terutama bagi anak perempuan. Nepal membutuhkan lebih banyak gedung sekolah. Namun keinginan ini membawanya pada situasi sulit: membantu anak-anak mendapatkan pendidikan tak bisa berjalan seiring dengan karirnya di Microsoft yang menuntut totalitas.

Sembilan tahun menjalani karir gemilang di perusahaan ternama, justru membawa John pada satu pemikiran: jika ia meninggalkan Microsoft, dalam waktu cepat perusahaan itu bisa mendapatkan pengganti (dari antrian panjang pelamar), sementara jika dia mengundurkan diri dari keinginan membantu jutaan anak agar bisa bersekolah, belum tentu ada satu orang yang mau mengambil alih peran itu. Kenyataan ini menguatkan tekadnya untuk segera bertindak. Dari sinilah John memulai organisasi nirlaba yang pada awalnya bernama Books for Nepal. Langkah berani yang diambilnya saat meninggalkan Microsoft menjadi salah satu unique selling proposition untuk menarik bantuan para donatur. Bukan awal yang mudah, tapi John mampu melewatinya bahkan sebelum organisasinya menginjak dua tahun, dia sudah berekspansi ke negara kedua, Vietnam. Kemudian menyusul Kamboja, Srilanka dan India.

Yang menarik, buku ini juga memberikan gambaran bagaimana sebuah organisasi nirlaba seharusnya dijalankan. Kiat sukses Room to Read membangun ribuan sekolah dan perpustakaan tak lepas dari model bisnis ‘ambil salah satu proyek’, dimana donatur bisa mendapatkan hubungan sebab-akibat yang kuat antara berapa besar sumbangannya dan berapa banyak yang bisa diperbuat dengan sumbangan itu. Ini mungkin berbeda dengan beberapa organisasi nirlaba yang tidak menjelaskan ‘sebab-akibat’ dari dana yang disumbangkan para donaturnya. Model bisnis Room to Read mensyaratkan efisiensi biaya operasional dan keterlibatan komunitas yang dibantu. Dengan model bisnis ini, terbukti proyek-proyek mereka bisa berkelanjutan. Sekolah-sekolah yang mereka bangun bisa terus berkembang tanpa harus selalu bergantung pada bantuan Room to Read.

Bagi banyak orang, terutama anak-anak yang berhasil mendapatkan pendidikan, John adalah seorang pahlawan. Sesungguhnya dia juga tidak bisa lepas dari dorongan manusiawinya untuk memiliki kehidupan pribadi sebagaimana orang lain. Di epilog buku ini John menggambarkan bagaimana ia memasuki usianya yang ke 40 tahun, tanpa seorang pendamping dan rumah yang masih berstatus sewa. ‘Jika anda mencintai apa yang anda lakukan dan dikelilingi oleh teman-teman dan keluarga yang baik, maka empat puluh atau lima puluh atau enam puluh hanyalah suatu angka bulat, bukan penyebab kepanikan.’ Di bagian lain John menuliskan salah satu motivasinya, ‘Saya telah menemukan satu hal yang selalu saya inginkan –sebuah karir bermakna dan tentang hal ini saya merasakan gairah. Setiap bangun saya ingin sekali melompat dari tempat tidur dan pergi ke kantor dan saya bersemangat untuk hal apa saja yang hari itu saya kerjakan. Itulah kemewahan yang langka di dunia ini.’ Dan apa hadiah ulang tahun ke-40 John untuk dirinya sendiri? Sebuah keputusan untuk mencurahkan masa paling produktif hidupnya untuk pendidikan anak-anak negara miskin.

Satu hal yang selalu menyedot emosi ketika membaca buku ini adalah kenyataan bahwa sebuah niat baik bisa berkembang begitu rupa. Seorang Andrew Carnegie bisa membangun 2.000 perpustakaan di Amerika seorang diri. Tapi John, yang tidak sekaya Andrew, dengan kekuatan jaringan Room to Read tidak hanya bisa membangun lebih banyak perpustakaan, tetapi juga sekolah dan beasiswa untuk ribuan pelajar di negara terbelakang. Ada ribuan orang terlibat dalam jaringan itu. Salah seorang diantaranya gadis berusia delapan tahun yang mampu menggalang dana bagi pembangunan sebuah sekolah baru di Nepal. Seakan menegaskan bahwa perbedaan latar belakang, prasangka ras, sekat geografis, dan apapun namanya, tak pernah menggerus habis kemanusiaan kita. Tetap saja ada ruang di hati kita yang tak bisa diganggu gugat. Sebuah ruang yang hangat untuk berbagi dengan sesama.

Baca selengkapnya...

Prita dan yang terhempas dan yang putus

>> Sabtu, 06 Juni 2009


Tak sulit memahami situasi yang dihadapi Prita Mulyasari ketika membawa tubuhnya yang menggigil demam ke rumah sakit ‘itu’, you know who, malam hari 7 Agustus 2008 lalu. Kita semua mungkin pernah mengalami situasi yang sama. Bertemu dengan dokter, orang yang sebenarnya ingin kita hindari seumur hidup, berdialog singkat seperti diburu-buru, lantas pasrah pada apa pun yang kemudian terjadi.


Bila menyimak isi e-mail keluhan Prita, menjadi jelas bahwa sejak awal tidak terjadi komunikasi yang semestinya antara pasien dan dokter, persis yang sering kita alami ketika berada di ruang dokter. Tulisan dr. Handrawan Nadesul di Kompas 6 Juni 2009 pun mengungkapkan hal yang sama, ‘Kasus Prita muncul karena tidak dibangun komunikasi dokter dengan pasien.’ Ada yang terputus di situ. Penjelasan dari rumah sakit ‘itu’, you know who, bahwa penanganan Prita sudah sesuai dengan SOP, pantas dipertanyakan. Apakah di SOP itu memuat butir yang berisi ‘melakukan komunikasi yang intensif dengan pasien berkaitan dengan semua keluhannya’.

Seorang peneliti bidang kedokteran, Wendy Levinson, belum lama ini melakukan penelitian berkaitan dengan gugatan pasien terhadap dokternya. Hasil penelitian itu menyatakan bahwa dokter yang tidak pernah menghadapi gugatan pasien bersedia menyediakan waktu lebih lama 3 menit dibanding dokter yang pernah digugat oleh pasiennya. Hanya selisih 3 menit. Dengan kata lain, kebanyakan dokter diperkarakan bukan karena keahliannya tetapi karena mereka pelit waktu, enggan menjalin komunikasi yang menenangkan dengan orang yang dalam kondisi perlu bantuan.

Komunikasi, saudara dokter. Apakah anda masih akan berpikir waktu adalah uang ketika waktu juga berhubungan dengan nyawa orang?

(Seorang dokter muda bernama Julian Sunan juga berpesan hal yang sama melalui situsnya: kalau mau berbisnis jadilah pedagang, bukan dokter. Ini dokter lo yang ngomong.....)


Photo: dari blog Tikabanget.com

Baca selengkapnya...

Sim Sala Blink!

>> Jumat, 05 Juni 2009

Rankin Fitch sedang dalam perjalanannya yang pertama di New Orleans dengan taxi. Dia melihat seuntai rosario menggantung di spion atas kemudi, sebuah photo wanita tua di dekat speedometer, dan selembar kartu parkir rumah sakit. Kepada sopir taxi yang tidak dikenalnya itu, Fitch menanyakan kabar ibunda sang sopir. Setengah heran, sang sopir bertanya,’bagaimana kamu tahu kalau ibuku sakit?’. Fitch kemudian menyambung,’ya, kamu baru saja menjemputnya dari rumah sakit. Istrimu sebenarnya ingin menitipkan ibumu di panti jompo tetapi kamu merasa bersalah karena bertentangan dengan keyakinan kristen. Menurutku, sebaiknya kamu pertimbangkan saran istrimu itu.’



Peristiwa tadi adalah sepenggal adegan di film Runaway Juri (2004), adaptasi novel John Grisham dan digarap oleh Gary Fleder. Bagaimana Fitch, diperankan dengan bagus oleh Gene Hackman, seperti tahu banyak mengenai kehidupan sopir taxi itu hanya dengan melihat beberapa benda di dalam taxinya? Itu yang disebut snap judgement (kesimpulan cepat), topik menarik yang dibahas Malcolm Gladwell di buku berjudul Blink (PT Gramedia PU, 2007). Ada banyak orang mempunyai kemampuan seperti itu, sebuah kemampuan membuat kesimpulan tepat berdasarkan ‘sedikit informasi’. Benarkah hanya dengan sedikit informasi? Apakah hanya orang-orang tertentu yang bisa melakukannya?

Gladwell memulai pembahasannya tentang Blink dengan mengungkap sumber kemampuan membuat kesimpulan cepat, yaitu bagian otak bernama bawah sadar adaptif (adaptive unconscious), yang merujuk pada buku Strangers to Ourselves, Timothy D. Wilson. Di salah satu situsnya, Wilson menjelaskan pengertian yang sering dikaitkan dengan Sigmund Freud ini: ‘...Freud’s view of an infantile, primitive unconscious has proved to be far too limited; the unconscious is much more sophisticated and powerful than he imagined. Humans possess a powerful set of psychological processes that are critical for survival and operate behind the conscious mental scene..’ Lebih lanjut Wilson mengatakan bahwa otak kita sebenarnya bolak balik bekerja dalam modus pikir sadar dan bawah sadar tergantung situasi. Dalam situasi bawah sadar itulah kesan sesaat dan kesimpulan spontan mengejawantah, misalnya saja ketika kita bertemu seseorang atau melihat benda tertentu pertama kali.

Dari awal Gladwell sudah menggarisbawahi bahwa kesimpulan cepat itu bisa lebih baik dibanding kesimpulan hati-hati yang direnungkan lama sekali. Bahkan kemampuan mengambil kesimpulan cepat itu bisa dilatih dan dikendalikan. Dalam buku ini berlimpah contoh yang dipaparkan Gladwell dengan menarik untuk mendukung pernyataannya. Misalnya saja Vic Braden, seorang pelatih tenis kelas dunia yang bisa menyimpulkan dengan cepat dan tepat kapan seorang pemain akan melakukan double fault, sesuatu yang sangat jarang terjadi di pertandingan tenis profesional. Hanya dengan melihat bagaimana seorang pemain memantulkan bola, melambungkan ke udara, menarik raket, dan sebelum raket menyentuh bola –blink!—Braden bisa menebak apakah pemain itu melakukan double fault!

Braden sendiri tidak bisa menjelaskan bagaimana keahlian seperti itu bisa dia miliki. Gladwell mencoba memaparkan bagaimana orang-orang seperti Braden mampu membuat kesimpulan cepat melalui sebuah pemahaman yang disebut teori cuplikan tipis (thin slicing). Dia bercerita tentang penelitian Gottman atas ribuan pasangan suami istri. Dengan melihat ribuan video percakapan pasangan-pasangan itu, Gottman menemukan bahwa pada tiap perkawinan ada sebuah pola yang khas, semacam DNA perkawinan. Secuil saja pemahaman mengenai pola ini, sudah cukup bagi Gottman untuk bisa ‘meramalkan’ pasangan mana yang akan bertahan sebagai suami istri setelah lima belas tahun berumah tangga. Menurut Gladwell, bawah sadar yang melakukan cuplikan tipis sama dengan Gottman mencuplik pola sebuah hubungan perkawinan. Untuk memperkuat argumennya, Gladwell melampiri pemikirannya dengan beberapa contoh lagi dari berbagai bidang, seperti kedokteran, militer, pemasaran, dan entertainment.

Namun satu hal yang tak bisa dihindari bahwa kesimpulan cepat juga mempunyai sisi gelap. Gladwell mencontohkan bagaimana rakyat Amerika pernah ‘salah’ memilih presiden hanya karena melihat penampilannya yang rupawan. Juga bagaimana kita sering keliru menaksir kemampuan seseorang karena melihat warna kulit atau jenis kelaminnya. Tak bisa dihindari, snap judgement juga dipengaruhi oleh prasangka, perasaan suka-tak suka dan stereotypes. Berkaitan dengan ini Gladwell mengatakan ‘ ...kita dapat mengubah cara kita membuat cuplikan tipis dengan mengubah pengalaman yang berpengaruh terhadap kesan-kesan tersebut.’ Dengan kata lain, kemampuan kita membuat kesimpulan cepat itu bisa diperbaiki, dilatih dan disempurnakan. Kalau dicermati, contoh-contoh metode cuplikan tipis yang berhasil semuanya dilakukan oleh para experts, apakah itu ahli cicip makanan, pengamat seni, pegawai museum, produser musik, ataupun dokter. Sampai di sini mungkin pemaparan Gladwell jadi ‘kurang mengejutkan’. Kepiawaian membuat cuplikan tipis oleh bawah sadar itu tak bisa dilepaskan dari kemampuan sadar. Ia bersifat melengkapi.

Buku ini, sebagaimana pemikiran Gladwell yang lain, tak sepi dari pembicaraan dan kritik. Salah satunya datang dari Michael R. LeGault yang menyoroti argumen blink yang seakan mereduksi pentingnya kemampuan manusia untuk think. LeGault menerbitkan buku dengan judul provokatif Think, Why Crucial Decisions Can’t Be Made in the Blink of an Eye (terjemahannya ada di google books) -- menjadikan buku Gladwell ini makin menarik untuk disimak. Apalagi disampaikan dengan gaya yang akan memaksa kita untuk terus membacanya, penuh dengan kisah unik penambah wawasan dan boleh jadi mengusik rasa penasaran kita juga. Bahwa di tengah banjir informasi seperti sekarang ini, kemampuan membuat cuplikan tipis bisa memberikan perbedaan yang sangat besar.
(Tertarik untuk menguasai ‘jurus maut’ ini?)

Baca selengkapnya...

Pengikut

  © Blogger template Palm by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP