Balada Orang-orang Kalah

>> Minggu, 04 April 2010

Riwayat di sekitar rokok selalu berisi kisah tentang orang-orang kalah. Belum lama berselang, Mujiati, ibunda dari Malang yang punya seorang balita pecandu rokok, menyatakan penyesalannya menyikapi kebiasaan buruk buah hatinya itu. Istri kuli bangunan itu hanya bisa pasrah. Sama dengan penyesalan Kariso, pemilik kios bensin di Depok yang harus kehilangan istri dan seorang anaknya, saat kios bensin miliknya meledak. Sebatang rokok di mulut Kariso adalah sumber malapetaka itu.

Mujiati dan Kariso hanyalah segelintir dari 70 persen penduduk Indonesia (sekitar 84,7 juta jiwa) yang hidupnya dibuat morat-marit lantaran kebiasaan merokok. Penghasilan yang tidak seberapa, yang diperoleh dengan susah payah, harus tersedot ke pundi-pundi para pengusaha rokok kaya raya.

Kadang sulit dimengerti jika pemerintah ambigu menghadapi industri madat ini. Keengganan meratifikasi FCTC hanya makin memperjelas betapa pemerintah telah bertekuk lutut alias kalah telak pada kemauan industrialis rokok dunia (ingat, Sampoerna adalah milik Philip Morris dan Bentoel kepunyaan BAT), yang menjadikan bangsa padat penduduk ini sebagai pasar paling menggiurkan. Kalau yang dijadikan alasan adalah pendapatan dari cukai rokok, alangkah naifnya. Itu refleksi dari kemalasan berfikir karena sesungguhnya Indonesia terlalu kaya untuk hanya bertumpu pada sejumput komoditas. Ada begitu banyak jalan terbuka andai saja pemerintah mau dan berani memulainya.

Saat DPR akhirnya mengesahkan RUU Kesehatan bulan September 2009 lalu, publik sempat digegerkan oleh hilangnya satu ayat pada pasal 113, yang memuat tentang masuknya tembakau dan produk turunannya sebagai zat adiktif yang berbahaya. Ada tiga anggota DPR yang dilaporkan sebagai pihak yang bertanggung jawab atas raibnya ayat tembakau itu. Yang lebih mengejutkan, ketiganya adalah wanita alias seorang ibu. Jika mereka terbukti secara sengaja melakukannya, yakin mereka adalah ibu-ibu yang kalah membela nuraninya sendiri.

Deretan daftar orang-orang kalah itu masih bisa ditarik lebih panjang lagi. Seorang ayah yang masih merokok sudah pasti harus mengakui kekalahannya karena ia lebih memihak share holder industri candu dibanding anak-anaknya sendiri. Seorang guru yang merokok amatlah palsu kata-katanya saat ia meminta muridnya mengamalkan hidup bertenggang rasa. Seorang ulama yang merokok pantas merenungi kekalahannya karena ia lebih cinta dunia dari pada ajaran mulia memelihara kesehatan tubuh anugerah Tuhannya. Seorang pria tak pantas merasa menjadi pria sejati bila masih bersembunyi di balik imaji palsu yang ditawarkan iklan-iklan candu.

Tahun 2010 ini diharapkan DPR bisa mengagendakan pembahasan RUU Pengendalian Dampak Tembakau, termasuk di dalamnya larangan iklan rokok. Salut, andai saja benar RUU itu bisa segera diundangkan, diikuti disiplin pelaksanaannya. Jakarta International Java Jazz Festival 2009 lalu bisa berlangsung sukses tanpa sponsor industri rokok. Sepakbola Indonesia yang didanai rokok buktinya justru malah ribut melulu. Jadi, kenapa musti takut?

Baca selengkapnya...

Belajarlah Hingga ke Lubuk Kepala Anjing

>> Selasa, 02 Maret 2010

Andai saja Malcolm Gladwell bersikeras memenuhi impiannya menjadi pengacara, atau tetap nekat (setelah ditolak delapan belas kali) melamar kerja ke biro iklan, bisa jadi penulis berambut kribo itu justru tidak akan begitu dikenal di sini. Untung saja nilai sarjananya kurang bagus, hingga ia tak perlu kuliah pasca sarjana, dan memutuskan untuk menulis -- pekerjaan yang menurutnya berat, serius, tetapi juga asyik, dan dari situ ia membuka mata banyak orang melalui buku-buku larisnya, The Tipping Point, Blink!, Outliers, dan buku terbarunya, What the Dog Saw (PT Gramedia Pustaka Utama, Januari 2010, 457 halaman).

Buku keempat dengan judul menggelitik itu berisi kumpulan tulisan MG di majalah The New Yorker sejak tahun 1996. Dipilih berdasarkan kriteria terfavorit menurut penulisnya sendiri, buku ini sekaligus menguak sedikit dapur kreatif MG, sesuatu yang telah lama mengundang penasaran para pembacanya (dan mungkin juga para penulis lainnya). Di mana Anda mendapatkan ide, begitu MG kerap ditanya. Pertanyaan yang ternyata sulit dijawab oleh seorang penulis produktif seperti MG, apalagi buat penulis yang sering kebingungan mendapatkan ide. “Kuncinya,” demikian MG akhirnya memberikan saran, ”meyakinkan diri sendiri bahwa semua orang dan segala hal punya cerita.” Sayangnya, untuk menumbuhkan keyakinan ini ternyata tidak mudah, karena “naluri kita sebagai manusia adalah menganggap sebagian besar hal tidak menarik.....jika mau menjadi penulis, Anda harus melawan naluri itu saban hari.”

Maka, seperti mengukuhkan pendapat tadi, mengalirlan kisah tentang orang-orang yang oleh MG disebut para genius minor. Alih-alih menceritakan tokoh yang kerap disebut namanya dalam sejarah, di bagian satu buku ini MG mengangkat cerita tentang sales person alat rumah tangga yang pantang menyerah, pencipta saos tomat yang jeli, penulis iklan produk pewarna rambut, penemu pil KB, pelatih anjing dan mungkin satu-satunya kisah tokoh yang ‘agak terkenal’, adalah kisah tentang Nassim Taleb, seorang pemain di bursa saham sekaligus penulis buku laris The Black Swan. Dengan semangat ‘semua orang punya cerita’, lahirlah kisah-kisah yang akan membuat kita terpukau dan mulai menyetujui tip dari MG tadi.

Ambil contoh kisah tentang pawang anjing bernama Cesar Millan, yang judul tulisannya dijadikan judul buku ini. Lelaki Meksiko itu menyeberang dari Tijuana ke San Diego, membawa serta bakatnya sebagai el Perrero (‘bocah anjing’), memulai kerja di salon perawatan anjing hingga memiliki bisnis sendiri, Dog Psychology Center, pusat penanganan anjing-anjing bermasalah. Awalnya, MG memang bercerita tentang Millan dan seluk beluk pekerjaan seorang pawang anjing. Kemudian ia mengulasnya dari sudut pandang seorang ahli antropologi yang meneliti bagaimana sebenarnya anjing memandang manusia. “Anjing benar-benar tertarik kepada manusia,” kata kata sang antropolog. “Tertarik sampai ke tingkat terobsesi. Bagi anjing, Anda adalah bola tenis raksasa yang bisa berjalan.” Dari situ MG lalu memasukkan pendapat dua ahli lain. Kali ini ahli perilaku dari University of Wisconsin yang pernah menulis tentang interaksi manusia dengan anjing dan seorang lagi pakar gerakan dan ketua jurusan tari dari University of Maryland.

Penjelasan dari kedua pakar ini membawa kisah Cesar Millan bergerak ke uraian menarik tentang bahasa tubuh, bagaimana ‘membaca’ seseorang dari gerakan-gerakan anggota tubuhnya, bagaimana sikap tubuh seseorang tidak bisa menyembunyikan sesuatu yang tersimpan di lubuk hatinya -- sesuatu yang kemudian bisa ‘dibaca dengan baik’ oleh seekor anjing. MG menutup kisah ini dengan menyinggung ironi seputar hubungan antara manusia dan anjing, saat kedekatan mereka itu justru mulai merusak hierarki hubungan yang seharusnya, saat manusia bisa lebih dekat dengan seekor anjing dibanding manusia lain, sesuatu yang pernah terjadi pada diri Cesar Millan, pria yang mampu memahami anjing-anjing bermasalah namun gagal memahami orang terdekatnya sendiri: istrinya! Begitulah cara MG ‘mengajari’ kita cara menemukan ‘permata terserak’ di antara batuan yang sering luput dari perhatian.

Masih terkait dengan ‘segala hal punya cerita’, di bagian kedua dan ketiga buku ini MG menampilkan beberapa kisah seputar kekeliruan manusia memahami informasi yang membanjir di sekitar mereka. Kecenderungan membuat generalisasi, prediksi dan teori-teori, menjadi perhatian di bagian ini (tema yang dibahas lebih mendalam oleh Nassim Taleb di The Black Swan). Informasi yang melimpah dan mudah didapat dengan bantuan berbagai perangkat teknologi canggih rupanya membawa persoalan tersendiri. Contoh paling menarik untuk kasus ini adalah kegagalan intelijen AS mengantisipasi serangan teroris 9/11. Penyebabnya bukan karena informasi yang kurang! Divisi kontrateroris FBI mendapat enampuluh delapan ribu petunjuk yang belum ditelusuri sejak 1995. Termasuk di dalamnya transkrip percakapan dua orang anggota al-Qaeda yang belakangan (setelah kejadian 9/11) tampak sangat meyakinkan sebagai percakapan untuk merencanakan serangan itu. Masalahnya, tak semua petunjuk itu bisa dibuktikan kebenarannya. Kalau pun benar, belum tentu relevan.

Sebagaimana pada buku-buku sebelumnya, melalui tulisan-tulisan singkat di buku ini MG juga banyak menyentil berbagai persoalan yang sudah dianggap ‘selesai’, dengan menampilkan argumen yang boleh dibilang melawan arus. Misalnya saja pada kasus Enron, perusahaan raksasa energi AS, yang menyeret pendirinya, Jeffrey Skilling, ke pengadilan federal atas tuduhan penipuan. Skilling dinyatakan bersalah karena berbohong kepada para investor mengenai berbagai aspek bisnis Enron. Ia dijatuhi hukuman 24 tahun penjara, salah satu hukuman terberat yang pernah dijatuhkan kepada pelaku kejahatan kerah putih. Benarkah Skilling bersalah? Tidak sesederhana itu ternyata.

Inti tuduhan jaksa, Skilling dinyatakan bersalah karena dianggap menyembunyikan berbagai informasi penting dari para investor, termasuk kebenaran menyangkut kondisi keuangan perusahaan. Benarkah Skilling menyembunyikan ‘sesuatu’? Paling tidak ada dua hal yang menyebabkan pertanyaan ini tidak mudah untuk dijawab. Pertama, sebagai perusahaan publik, Enron selalu mempublikasikan laporan keuangan mereka yang bisa segera dianalisis oleh para pemerhati investasi di Wall Street, termasuk para wartawan ekonomi. Sebelum Enron dinyatakan bangkrut, seorang wartawan Wall Street Journal bernama Jonathan Weil pernah menelisik laporan keuangan Enron, dan mengangkatnya dalam salah satu tulisannya. Ketika Weil meminta komentar kepada para pejabat Enron, mereka dengan terbuka mengajaknya berdiskusi. Jadi, informasi mana yang disembunyikan Skilling?

Hal kedua, berkaitan dengan rumitnya informasi di zaman ketika berbagai model bisnis tidak mudah lagi dipahami oleh sembarang orang, bahkan oleh orang dalam perusahaan sendiri. Dalam kasus Enron, pengungkapan aspek-aspek bisnis perusahaan itu melibatkan dokumen setebal tiga juta halaman. Upaya paling maksimal untuk meringkasnya, menghasilkan dokumen setebal seribu halaman spasi tunggal yang tetap tak mudah dipahami. Jonathan Macey, profesor hukum Yale, mengatakan bahwa dalam kasus Enron, tidak ada kebenaran yang tersembunyi. Tahun 1998, tiga tahun sebelum kebangkrutan Enron, kata Macey, enam orang mahasiswa Cornell University membuat tugas yang menganalisis laporan keuangan Enron. Mereka menganalisis setiap tiap cabang bisnis Enron, menggunakan berbagai alat statistik yang dirancang untuk mencari pola dalam performa keuangan perusahaan, meneliti berhalaman-halaman catatan kaki, mengajukan banyak sekali pertanyaan. Dan hasilnya, persis dengan kesimpulan yang dibuat wartawan Wall Street Journal menjelang kebangkrutan Enron tahun 2001, bahwa saham Enron overpriced. Jadi, atas dasar apa tuduhan jaksa terhadap Skilling dibuat? Benarkah masalah sesungguhnya bukan karena ada informasi yang disembunyikan, tetapi justru karena begitu banyak informasi yang tersedia—yang sayangnya gagal dipahami para investor?

Menyimak pemaparan pendapat MG di buku ini, anda boleh saja tidak setuju, atau mungkin tidak yakin--mengingat pada buku-buku sebelumnya MG mengulas satu topik dalam satu buku penuh, hingga tulisan-tulisan di buku ini jadi terasa amat pendek. Tidak masalah. Sebagaimana diungkapkan MG di bagian pengantar, bahwa tulisan yang bagus dinilai berhasil bukan dari kekuatannya untuk meyakinkan pembacanya, tetapi dinilai dari kemampuannya membuat orang lain merasa terlibat, berpikir dan memahami kilasan pikiran penulisnya.

Buku ini berisi 19 tulisan yang bisa dipilih secara acak tanpa harus berurutan. Ini adalah kumpulan kisah petualangan yang diramu MG untuk menyentil, membuat orang berani mempertanyakan kembali narasi yang sudah dianggap final, dan pada akhirnya mendorong untuk ‘bertualang’ menelusuri sisi-sisi tersembunyi setiap peristiwa, mencari jawaban, kalau perlu sampai ke lubuk kepala seekor anjing.



Baca selengkapnya...

Layang-layang Terakhir Amir

>> Minggu, 24 Januari 2010

“Yang terjadi saat menerbangkan layang-layang, pikiranmu melayang bersamanya.”

Bayangkan seorang anak yang menerbangkan layang-layang di hari cerah berangin. Lembaran kertas tipis yang dilukis warna-warni – dibentuk oleh rangka kecil dari bambu yang diraut hati-hati, melayang megah di tengah warna biru bersih, di antara belasan layang-layang lain. Ia akan dengan gampang merasakan sensasi kecil ini: sebentuk representasi yang terbang gagah, terhubung dengannya melalui seutas benang yang terrentang tegang, dengan begitu ia bisa menarik atau mengulur, mengambil jarak seperlunya kapan pun ia mau.

Layang-layang menjadi alegori yang menarik di tangan Khaled Hosseini (KH) dalam Kite Runner (Penerbit Qanita, PT Mizan Pustaka, cet. III Mei 2008, 490 hlm) untuk menjelaskan bagaimana manusia terkait dengan manusia lain dan segala sesuatu di sekitarnya. Amir, tokoh utama kisah ini, seperti umumnya belia Afghanistan lainnya, adalah penggemar layang-layang. Bersama sahabat sebayanya, Hassan, mereka tak pernah lalai mengikuti turnamen layang-layang di Kabul setiap musim dingin tiba. Amir dibesarkan oleh seorang ayah, Baba, yang kaya dan duda, sementara Hassan tak lain adalah anak pembantu laki-laki keluarga Amir, Ali. Melalui Kite Runner, KH menampilkan tarik ulur yang memukau antara Amir dan tiga ‘layang-layang’ di tangannya: Hassan, Baba dan Afghanistan.


Persahabatan Amir dan Hassan adalah hubungan pertemanan biasa antara dua orang anak dengan kenakalan masa kecil mereka. Kasih sayang antara keduanya tak bisa ditutup-tutupi. Amir senang membacakan buku-buku cerita kepada Hassan yang buta huruf. Saat Amir mulai gemar menulis cerita, Hassanlah penggemar pertamanya. Hassan, dengan keluguan seorang yang tidak mengenyam bangku sekolah, kerap membuat repot Amir dengan pertanyaan-pertanyaan bernas. Simaklah kisah ketika Amir membuat cerita tentang seorang pria yang menemukan cangkir ajaib yang mampu mengubah tetesan air mata menjadi butiran mutiara. Pria miskin itu sampai harus membunuh istri tecintanya demi bisa terus menangis dan mendapat mutiara dari airmatanya. Hassan dengan polos bertanya,”...mengapa pria itu harus membunuh istrinya? Mengapa dia harus merasa sedih untuk mengucurkan air matanya? Bukankah lebih mudah kalau dia menghirup aroma bawang merah?”


Hubungan dua bersahabat itu bukannya tanpa masalah. Sentimen etnis yang tajam sering menempatkan Amir pada posisi yang sulit. Ia seorang Pashtun, etnis mayoritas di Afghanistan, sementara Hassan berasal dari suku Hazara, suku minoritas yang nyaris dianggap paria. Bergaul dengan seorang Hazara menerbitkan pandangan kurang simpati dan cenderung melecehkan. Di hadapan kawan-kawannya, Amir enggan mengakui Hassan sebagai temannya, walau di kedalaman hatinya ia menyayangi Hassan. Namun masalah paling serius dalam persahabatan mereka adalah kecemburuan. Di mata Amir, ayahnya memperlakukan Hassan terlampau istimewa. Kecemburuan itu menodai tangan Amir dengan fitnah yang memutus hubungannya dengan Hassan, layang-layang pertamanya. Hassan dan ayahnya pergi meninggalkan rumah Amir.



Ketika Soviet melakukan invasi ke Afghanistan, Amir dan ayahnya mengungsi ke Pakistan, dan kemudian terbang ke Amerika. Hubungan Amir dan layang-layang keduanya putus. Hampir sepanjang novel itu KH tidak menunjukkan kaitan istimewa antara Amir dan negerinya selain hubungan yang lebih bersifat promordial. Amir seakan-akan lebih nyaman berada di kampung halaman keduanya, San Francisco.


Di kampung halaman keduanya itu, Amir berharap mendapatkan kasih sayang seutuhnya dari Baba, layang-layang ketiganya, tanpa perlu dibayangi kecemburuan. Bagi Baba, Amerika adalah hadiah terakhir yang bisa ia berikan kepada Amir. Bagi Amir, Amerika adalah tempat mengubur kenangan dan melupakan dua layang-layang yang telah lepas dari tangannya. Mungkin keinginan Amir melupakan semua kenangan itu, secara menyedihkan, akan sempurna saat ajal menjemput Baba--pria yang luar biasa cintanya kepada Afghanistan, pria yang sebelum mengungsi keluar dari negeri itu menyempatkan diri membawa sejumput tanahnya. Namun, di saat ketiga layang-layang itu telah putus, Amir justru harus kembali ke Afghanistan.



Dari titik inilah KH menempatkan Amir layaknya seorang anak yang harus mengejar layang-layang putusnya. Melalui tokoh Rahim Khan, teman ayahnya sekaligus sahabat masa kecilnya, Amir dihadapkan pada alasan di balik keharusan itu. Hassan telah mati saat Taliban berkuasa di Afghanistan. Negeri itu pun telah luluh lantak akibat perang berkepanjangan. Tapi Amir harus kembali ke sana untuk menjemput layang-layang terakhirnya, seorang anak bernama Sohrab.


Sohrab adalah anak Hassan. Secara mengejutkan Amir diberi tahu bahwa Baba, ayahnya, duda kesepian itu pernah ‘mendekati’ istri pembantunya suatu kali, menjadikan Hassan saudara satu ayah dengannya. Dengan kata lain, Sohrab adalah layang-layang sempurna yang mewakili sosok Hassan, Baba, dan tentu saja Afghanistan. Bukankah dalam tubuh Hazara itu juga mengalir darah seorang Pashtun?



****


Kite Runner adalah novel pertama yang melejitkan nama Khaled Hosseini. Pujian dari berbagai media memang pantas dialamatkan kepada karya ini diiringi sukses penjualan yang mencapai jutaan kopi. Namun di balik itu, tidak mudah rasanya membaca novel ini tanpa memikirkannya sedikit ‘politis’. Nama-nama seperti Afghanistan, Taliban, maupun Pashtun (dan Hazara), adalah nama-nama yang tidak bisa dilepaskan begitu saja dari konteksnya. Sebagai karya fiksi, konteks dalam penyebutan nama itu memang tidak sekaku dalam karya non-fiksi. Misalnya saja ketika KH menggambarkan Taliban tentu tak bisa disamakan dengan gambaran Yvonne Ridley, wartawati Inggris yang pernah merasakan penjara Taliban (Anton Kurnia, Dari Penjara Taliban Menuju Iman, Penerbit Mizan, cet. 1 Maret 2007, 186 hlm).



Barangkali ini yang kemudian memunculkan kritik kepada KH lantaran ketika Afghanistan dikuasai Soviet, dilanda perang saudara hingga Taliban berkuasa, ia tidak sedang berada di sana, tidak mengalaminya. KH sendiri mengakui kekurangan ini seperti diungkapkan dalam wawancara tertulisnya dengan wartawati Tempo, Angela Dewi. Meski begitu, dalam wawancara lain ia mengungkapkan bahwa pengalaman masa kecilnya di Kabul, bermain layang-layang, dan beberapa hal yang digambarkan agak detil di bagian awal novel ini, telah membawanya kembali ke Afghanistan (di bagian akhir novel ini Amir berkata, “Kau bisa menjauhkan orang Afghan dari Paghman, tetapi kau tidak akan bisa menjauhkan Paghman dari orang Afghan”, mungkin sedikit banyak menjelaskan perihal kepulangan KH itu).


KH tidak menyembunyikan keprihatinannya setelah lebih dari dua puluh tahun tidak menginjakkan kaki di Afghanistan. Negeri itu memang butuh perhatian, dan sepertinya KH berusaha mengusiknya melalui karya ini, semacam karikatur untuk sebuah headline berbunyi “Afghanistan Butuh Dukungan Internasional Hingga 15 Tahun Mendatang”. *



*) Diungkapkan oleh Hamid Karzai dalam wawancara dengan BBC London beberapa saat sebelum konferensi yang membahas krisis Afghanistan beberapa waktu yang lalu.

Baca selengkapnya...

Sang Pemenang Pulang Bertualang

>> Kamis, 31 Desember 2009

Barangkali benar, musuh terbesar manusia saat ini adalah televisi. Baiklah, berdiri sejajar di sebelahnya, sekutu terdekatnya, media cetak. Keduanya berperan besar dalam merekonstruksi realitas berdasar keinginan segelintir pengkhotbah fetishisme, dan menampilkan hasilnya dalam kemasan memikat, mulus, gemerlap. Masuk akal bila bungkus menjadi segalanya, ia bahkan lebih penting daripada isi, itu pun jika isi masih diperlukan.

Sayangnya, di mana-mana bungkus selalu dimaksudkan untuk menutupi, mengelabuhi atau menggoda. Kitsch, menurut istilah Kundera. Karena ia tidak ditujukan untuk merepresentasikan isi. Tapi ia bahkan lebih gaduh. Karena itulah ia menjadi menarik ketika ditampilkan di layar televisi atau direproduksi besar-besaran di media cetak. Jutaan orang dibuat terkesima, terbuai, dan secara tak sadar berusaha menjadi bagian dari hiruk pikuk itu. Dalam konteks budaya ‘kemasan’ inilah novel Paulo Coelho, The Winner Stands Alone (Gramedia Pustaka Utama, Juli 2009, 468 halaman) menjadi menarik untuk disimak.

Mengambil setting kota kecil Cannes saat berlangsung festival film tahunan, Coelho mempertemukan tokoh-tokohnya, tidak hanya para pengusaha dan seniman film, tetapi juga – dalam novel ini – orang-orang yang rela mengorbankan apa pun, bersaing dengan sesamanya, untuk bisa menjadi bagian dari sirkus besar itu. Ada Gabriel, mantan pemain drama sekolah yang berambisi besar menjadi seorang aktris film. Maureen, sineas pemula yang sudah mempertaruhkan segalanya untuk membuat sebuah film yang akan ditawarkan ke seorang distributor kenamaan. Dan Jasmine, model kulit hitam yang mulai naik daun dan menjadi incaran desainer kelas dunia. Coelho menguliti sisi-sisi kehidupan tokoh-tokoh itu dengan menarik untuk menegaskan betapa kemegahan yang ditampilkan selama dua belas hari festival itu tak lebih kulit terluar yang menutupi kepalsuan di dalamnya.

Di tengah ambisi para tokoh yang berkecamuk itu, Coelho menyatukannya melalui tokoh Igor, seorang pengusaha telekomunikasi Rusia, yang datang ke Cannes dengan agenda tersendiri: mendapatkan kembali cinta Ewa, mantan istri yang kini menjadi pasangan hidup Hamid, seorang couturier ternama. Cara yang ditempuh Igor memang mengerikan: ia melakukan pembunuhan di tengah hingar bingar festival dengan harapan akan menarik perhatian Ewa. ‘Aku akan menghancurkan dunia sampai istriku sadar betapa berartinya dia bagiku dan bahwa aku siap mengambil risiko apa pun untuk mendapatkannya kembali.’ Pengusaha kaya Rusia yang pernah mengenyam ‘pendidikan’ medan perang Afghanistan itu tanpa kesulitan mengakhiri hidup para korbannya dengan berbagai cara yang mengejutkan dan sangat rapi. Satu per satu korban jatuh di tangan Igor, satu per satu dunia ia hancurkan.

Ini ironi lain yang ditampilkan Coelho melalui novelnya: di tengah arus budaya kemasan, serba permukaan, dangkal, kematian pun tak lebih dari persoalan yang juga dangkal dan banal. Kasus pembunuhan sekedar bumbu pedas berbentuk breaking news di sela-sela liputan perhelatan serba glamor. Kematian, apalagi dengan cara yang ‘tak wajar’ adalah komoditas menggiurkan bagi media, terutama jika itu menyangkut seorang tokoh publik. Bahkan seorang inspektur polisi pun berkepentingan menjadikan pengusutan kasus ini untuk popularitas pribadinya. Motif dan ritual pembunuhan yang dilakukan Igor pun tak kalah absurd: selepas satu pembunuhan ia lakukan, ia mengirimkan SMS ke Ewa, memberitahukan bahwa ‘aku sudah menghancurkan satu dunia untukmu...’ Seremeh itu!

Rentetan pembunuhan yang dilakukan Igor ini mengingatkan pada kasus yang sama yang dilakukan Zodiac. Hingga kini kasus Zodiac dianggap tidak terpecahkan (kisahnya diangkat ke layar film tahun 2007 oleh sutradara David Fincher). Sama halnya dengan Igor, Zodiac juga melakukan pembunuhan nyaris tanpa ciri khusus sebagaimana umumnya kasus pembunuhan berantai. Satu hal yang selalu dilakukan Zodiac sebelum (atau sesudah) pembunuhan adalah menulis pesan ke media massa. Ia mengancam agar pesan itu mendapat tempat terhormat di koran atau sebaliknya ia akan melakukan pembunuhan berikutnya. Sungguh miris bila mengetahui bahwa pembunuh tengik itu melakukan kekejian semata karena ingin menjadi bagian dari berita di koran.

Hasrat untuk ‘mengapung’ di permukaan dan terlihat oleh media menjadi perhatian Coelho. Melalui Gabriela, tokoh yang mengambil porsi cukup banyak di novel ini dan ‘dibiarkan hidup’ hingga akhir, Coelho menampilkan galau orang-orang yang dalam realitas bentukan media dikukuhkan sebagai orang sukses, dianggap pemenang dalam kancah persaingan. Dalam sebuah ‘dialog pengukuhan’ Gabriela sebagai pemenang audisi untuk sebuah peran di film, sutradara film itu memberikan sedikit penegasan: ’Jadi...kau akan hidup bak jutawan dan bisa berlagak bagai bintang besar, tapi ingat satu hal: tidak ada yang nyata...’ Ia juga menggarisbawahi konsekuensi penandatanganan sebuah kontrak ‘ sebelum kau membubuhkan tandatangan, dunia ini milikmu sendiri dan kau bisa berbuat sesuka hati, tapi begitu kau menandatangani kontrak, kau harus melepaskan semuanya.’ Bukan hal yang baru bahwa sejak saat itu kehidupan seorang ‘Gabriela’ tergantung pada citra yang kelak akan didiktekan untuknya dan menjadi selubung cantik saat berada di depan publik.

Ini memang bukan cerita dengan logika sebuah novel thriller atau detektif. Gaya bertutur Coelho yang ‘adem’, kadang seperti mengajak untuk merenung (mengingatkan pada novel Sang Alkemis), dan masuk ke kedalaman pikiran seorang Igor, satu-satunya tokoh yang punya cara sendiri dalam melihat fenomena Cannes. Makanya, tak mengejutkan ketika Igor ‘diselamatkan’ dari absurditas pembunuhan acaknya (justru) melalui kemunculan bayangan gadis beralis hitam yang menjadi korban pertamanya. Sosok yang bahkan secara fisik tak nyata ini mampu mengubah orientasi pencarian Igor di belantara Cannes.

Dari sini Coelho seakan ingin mengatakan bahwa sang pemenang mendapatkan ‘hadiahnya’ justru ketika ia memutuskan untuk melepaskan ‘buruannya’. Rela menukar hasrat fetisnya demi sebuah kedalaman. ‘Jiwa kita menderita, sangat menderita, saat kita memaksanya untuk menjalani kehidupan yang dangkal. Jiwa kita menyukai segala sesuatu yang indah dan dalam.’

Baca selengkapnya...

Sejarah Dan Lain-lain Dalam Sebotol Acar

>> Minggu, 29 November 2009

Di manakah seharusnya menempatkan sebuah fiksi di antara sekumpulan realitas? Apa yang terjadi saat sejumlah kejadian (yang dianggap) nyata diawetkan di atas selembar kertas koran atau dalam buku-buku sejarah? Bayangkan andai kemudian di atasnya tertumpuk potongan/kliping cerita pendek atau buku novel yang telah kehilangan sampul. Bagaimana selanjutnya memisahkan fiksi dan yang non-fiksi dari tumpukan itu? Atau meminjam istilah Sapardi, yang mana berita yang mana cerita?

Pertanyaan itu tidak penting barangkali. Bahkan untuk novel karya Salman Rushdie, Midnight’s Children (PT Serambi Ilmu Semesta, Agustus 2009, 689 halaman), yang diakui penulisnya, begitu dekat dengan perjalanan hidupnya, dan sejarah India sebagai latarbelakang. “Di barat orang cenderung membaca Midnight’s Children sebagai novel fantasi, sedangkan di India orang memandangnya novel realis, hampir menyerupai sejarah.” Ini tentu disadari sepenuhnya oleh Rushdie, misalnya saat ia memasukkan nama-nama tokoh di dunia nyata –baik di kehidupan pribadi maupun tokoh nasional-- ke dalam novelnya, seakan tak ada nama lain yang lebih pantas.

Tak hanya itu. Simaklah bagaimana Rushdie membuka novelnya dengan tarian indah di ruang sempit antara berita dan cerita,” Aku dilahirkan di Bombay...pada suatu masa. Tidak, itu tidak cukup, kita tidak bisa menghindari tanggal: Aku lahir di Rumah perawatan Dokter Narlikar pada 15 Agustus 1947; Dan jam berapa? Jam juga penting. Baiklah kalau begitu: pada malam hari. Tidak, ini perlu ditambahkan... Persis saat tengah malam, sebenarnya. Kedua jarum jam merapatkan telapak tangannya dalam sambutan hormat saat aku datang.” Keseluruhan novel itu sendiri adalah penuturan tokoh Saleem Sinai (sulit untuk tidak menisbahkannya sebagai Rushdie) dengan gaya setengah mendongeng kepada sang "penyimak", Padma (baiklah, di kehidupan nyata, salah satu istri Rushdie juga bernama Padma, sekalipun mereka menikah jauh setelah novel itu ditulis), sebagaimana Syahrazad mendongeng untuk Pangeran Syahriar di Kisah Seribu Satu Malam.

Maka beginilah inti dari ‘dongeng’ Saleem kepada Padma. Tanggal 15 Agustus 1947 baru mulai bergulir ketika dua orang bayi lahir di tempat yang sama, di waktu tengah malam yang sama. Seorang perawat yang sedang dirundung masalah secara sengaja menukar label nama kedua bayi tersebut, “memberi bayi yang miskin kehidupan istimewa dan menghukum anak keluarga kaya dengan akordion dan kemiskinan...” Tepat pada waktu yang sama juga, Jawaharlal Nehru memproklamirkan kemerdekaan India dari Britania Raya. Dua orang bayi lahir dan menjadi cermin bagi kutub-kutub sebuah negeri “yang semacam mimpi”, kaya-miskin, hindu-islam, sipil-militer, pusat-pinggiran, barat-timur, dst. Ketegangan antara kutub-kutub itu mewujud dalam kehidupan Saleem (dan alter egonya, Shiva) karena anak-anak yang lahir tepat tengah malam bersamaan dengan kelahiran sebuah negara merdeka “adalah juga anak-anak waktu: berayahkan sejarah..” Lewat penuturan tokoh Saleem, satu diantara ratusan anak-anak tengah malam, potret perjalanan India -- “sebuah fiksi kolektif yang di dalamnya segala sesuatu adalah mungkin”, ditampilkan. Dan pembaca seperti diajak melihat adegan-adegan yang dihasilkan dari proses zoom in terhadap narasi besar sejarah.

Novel ini dibagi menjadi tiga bagian. Bagian pertama berisi gambaran leluhur Saleem hingga saat-saat menjelang kelahirannya. Bagian kedua, bagian terbesar dari novel ini, menceritakan kelahiran Saleem (dan India), masa sekolahnya (euforia India muda, pemilu, rencana pembangunan lima tahun), persaingannya dengan Shiva di Midnight Children Conference (pertikaian India-Pakistan), hijrah ke Pakistan (kekalahan India dari China di Himalaya dan gencatan senjata), kematian kakeknya, Aadam Aziz (kematian ayah India, Jawaharlal Nehru), hingga musnahnya keluarga Saleem akibat perang (akhir perang India-Pakistan). Bagian ketiga mengisahkah kembalinya Saleem ke India, di saat Partai Kongres Baru dan Indira Gandhi berkuasa, sampai pertemuannya dengan perawat -- yang pernah menukar ‘nasibnya’ dengan Shiva, dan Padma, kepada siapa biografi ini dituturkan oleh Saleem.

Di bagian akhir novel ini pula, Saleem menuturkan bagaimana sejarah yang diawetkan serupa acar dalam botol-botol itu – tiga puluh jenis acar mewakili tiga puluh bab kisah autobiografis – bisa saja tidak persis seperti itu. “Terkadang, dalam sejarah versi acar, ...aku harus merevisi dan merevisi, meningkatkan dan memperbaikinya, tetapi tidak ada waktu maupun energi. Aku terpaksa menawarkan kalimat keras kepala ini saja: Itulah yang terjadi karena memang demikianlah yang terjadi.” Dengan kata lain apa yang ada dalam botol-botol acar itu bisa saja sejarah, dan bisa dongeng, bisa juga campuran tertentu dari keduanya. Lalu bagian mana yang nyata dan bagian mana yang bukan?

Pertanyaan itu tidak penting lagi barangkali, sungguh pun ada beberapa pihak yang pernah terlanjur gerah sesaat setelah menyimaknya. Indira Gandhi, semasih berkuasa tahun 1984, pernah melayangkan keberatan atas kalimat di bab 28 novel ini yang dinilai sebagai fitnah. Masalah ini memang tidak sampai meruncing ke pengadilan, dan kalimat kontoversial itu akhirnya dicabut dari novel ini. Terlepas dari itu, novel ini memang lebih mudah dinikmati sebagai catatan subyektif seorang saksi sejarah tanpa perlu ada keharusan untuk melakukan alignment dengan catatan sejarah yang dianggap resmi. Dengan begitu akan terbuka semua alternatif pemaknaan atas narasi yang ditawarkan oleh Rushdie. Juga kekayaan literer yang mengalirkan berbagai sugesti (sinisme dalam kritik sosial, misalnya) sesuai bumbu yang ditambahkan Rushdie ke dalamnya. Dalam istilah Rushdie, semua itu adalah acar, tak lebih dan tak kurang.

*****
Midnight’s Children adalah salah satu karya terpenting Rushdie, kalau bukan yang terbaik. Dinobatkan sebagai The Booker of Bookers Prize Winner tahun 1993 dan The Best of The Booker Prize Winners tahun 2008, penghargaan khusus untuk sastra berbahasa Inggris di seluruh Inggris Raya, menunjukkan bahwa karya ini bisa mengatasi proses pelapukan oleh zaman, setidaknya sampai lebih dari 25 tahun sejak pertama kali diterbitkan. Cara bertutur Rushdie yang unik, ‘percaya diri’, dan segar bisa dinikmati pembaca dengan baik berkat penerjemahan yang bagus oleh Yuliani Liputo. Andai saja versi terjemahan ini dicetak dengan material yang lebih bagus tentu akan lebih representatif untuk sebuah masterpiece.

Baca selengkapnya...

Sarapan Bersama Capote

>> Senin, 12 Oktober 2009

Mencari tempat sarapan yang asyik di New York? Tanyakan kepada Holly Golightly, maka jawabannya adalah toko perhiasan Tiffany. Datanglah pagi hari saat toko itu masih tutup. Kalau beruntung, kita akan menjumpai sosok langsing cantik sedang mengunyah croissant, menyesap kopi dari gelas kertas sambil matanya yang tertutup kacamata hitam besar itu tak puas-puas menatap etalase. Jangan hanya terpesona oleh tubuh ramping sesehat sereal sarapan, yang meruapkan kesegaran sabun dan lemon, dan semburat merah jambu di pipinya. Karena di hadapan kita Holly akan terbuka seperti sebuah buku cerita. Semakin lama kita terbuai kisahnya, semakin berat kita menanggung risiko untuk jatuh cinta.

Tak penting benar apakah kisah itu nyata atau bualan belaka. Semuanya sama saja, mantera hipnotis yang akan membuat para pria termehek-mehek mengharapkan cintanya. Benarkah itu cinta? Novel pendek Truman Capote, Breakfast at Tiffany’s (PT Serambi Ilmu Semesta, Februari 2009, 163 halaman), tidak persis menjawab pertanyaan itu. Sekilas novel ini sekedar berisi penuturan tokoh ‘aku’ (dalam versi film bernama Paul Varjak) tentang Holly Golightly, wanita penghibur kelas atas yang ia ‘cintai’ namun, sebagaimana para pria lainnya, ia gagal memilikinya. Paul bukanlah dari golongan pria yang ‘mampu membayar lima puluh dolar untuk ke toilet’. Kedekatannya dengan Holly semata karena tempat tinggalnya yang satu apartemen plus wajahnya yang mirip saudara kandung Holly, Fred.

Kalau menyimak bagaimana Holly memperlakukan para pria (dan dicintai dengan berbagai cara oleh para penggemarnya), barangkali novel ini melulu cerita mengasyikkan tentang ‘taktik bisnis’ Holly untuk mempertahankan hegemoninya atas laki-laki. Tapi melalui Breakfast at Tiffany’s rasanya Capote seperti sedang mengolok-olok kegamangan manusia menghadapi keinginan (dan perasaannya) sendiri. Dengan memasang tokoh-tokoh serba karikatural (terlihat lebih jelas dalam versi film-nya), Capote leluasa menceritakan kegamangan itu, kadang dengan kalimat yang menggelitik. Misalnya saat Holly, waktu berusia 14 tahun, dilamar oleh dokter hewan 50-an tahun yang telah menyelamatkannya dari kepapaan, Holly dengan ringan berkata, ‘Tentu saja kita akan menikah. Aku belum pernah menikah...’ Semudah itu.


Simak juga bagaimana misalnya Joe Bell, salah seorang penggemar berat Holly, mengungkapkan perasaannya: ’Tentu saja aku mencintainya. Tapi bukan berarti aku ingin menyentuhnya.. Bukannya aku tidak pernah memikirkan sisi yang itu. Bahkan bagi orang seumurku, aku akan berumur enam puluh tujuh.... semakin tua diriku, sisi yang itu semakin mengisi pikiranku...’ Beberapa kali tokoh ‘aku’ kesulitan menafsirkan sikap Holly. Menyaksikan Holly sarapan di depan Tiffany’s terasa sama menyedihkannya dengan melihat para pria mengharap remah-remah cinta dari seorang wanita penghibur.


Tema cerita seperti ini juga disinggung penulis lain seperti Milan Kundera melalui The Unbearable Linghtness of Beings (Fresh Book, Jakarta 2007, 455 halaman). Hanya saja, Kundera membicarakannya dengan cara ‘lebih serius’. Baginya, wajar bila manusia sering tidak yakin dengan apa yang diinginkannya, ‘...karena manusia hanya mempunyai satu kehidupan, sehingga tidak dapat dibandingkan dengan kehidupan lain yang pernah dijalani...’ Sekalipun tiap manusia sudah mempunyai semacam tugas/garis hidup (es muss sein) masing-masing, ada kalanya sepanjang perjalannya mereka menemukan semacam kebetulan-kebetulan (tak terduga), coinsidence yang sering membuat gamang. Sayangnya, manusia tak bisa ber-eksperimen untuk menguji apakah mereka harus mengikuti keinginan/perasaannya atau tidak, demikian Kundera.



Berbeda dengan versi film-nya yang dibuat happy ending (dan bagi Capote itu sebuah pengkhianatan), novel Breakfast at Tiffany’s ditutup lebih cantik justru dengan membiarkan Holly mengembara mengikuti es muss sein-nya. Tak jelas apakah di Brazil atau di salah satu sudut Afrika. Yang pasti tidak sesederhana nasib kucing peliharaan Holly yang sudah punya tuan baru, sekalipun tokoh ‘aku’ berharap Holly pun menemukan tempatnya yang tepat. Mungkin bagi Capote, ending yang tuntas seperti versi film-nya akan menyederhanakan novel pendek ini menjadi sekedar sebuah cerita. Bukan sebuah statement.

Baca selengkapnya...

Menelisik Titik Lenting

>> Rabu, 09 September 2009


Sebuah merek yang nyaris masuk liang lahat tiba-tiba bangkit bahkan menemukan kembali kejayaannya gara-gara ulah iseng sekelompok anak muda yang ingin tampil beda. Merek yang beruntung itu adalah Hush Puppies. Akhir tahun 1994 Wolverine, perusahaan yang membuat Hush Puppies, sudah mempersiapkan ‘pemakaman’ bagi merek itu dengan merencanakan penghentian produksi sepatu kulit klasik Hush Puppies. Namun niat itu urung dilaksanakan lantaran mereka melihat sebuah keajaiban. Beberapa remaja iseng yang ingin tampil beda memakai sepatu Hush Puppies yang sudah ketinggalan jaman. Keisengan ini diikuti oleh remaja lainnya sampai kemudian menyebar tak terkendali. Toko sepatu loak yang menjual Hush Puppies diserbu pembeli. Seorang perancang adi busana bahkan menjadikannya salah satu pelengkap koleksi musim semi. Pesanan sepatu baru pun mendadak mengalir ke pabrik Wolverine bagai air bah. Hanya dalam kurun dua tahun Hush Puppies kembali sehat wal afiat. Sebuah tindakan kecil tanpa sengaja itu telah menyelamatkan sebuah merek besar dari kematiannya.

Kecil itu esensiil, kata Arifin C Noer saat menjelaskan nama kelompok teaternya (Teater Ketjil). Tak banyak yang seperti Arifin, mau memberi perhatian pada hal-hal kecil, apalagi ketika berbicara tentang ide-ide besar, perubahan-perubahan besar. Contoh di atas adalah kisah pembuka dari buku Tipping Point, tulisan Malcolm Gladwell (PT GPU, 2007). Sub judul buku ini, Bagaimana Hal-hal Kecil Berhasil Membuat Perubahan Besar, cukup provokatif dan menggelitik. Gladwell mengajak kita menelusuri ide-ide sederhana yang mampu menjalar bagai epidemi dan kemudian menghasilkan sebuah perubahan besar. Dan yang lebih penting dari semua itu, tentu saja, bagaimana membuat dan mengendalikan secara sengaja epidemi positif ciptaan kita sendiri.

Tipping point adalah sebutan untuk saat dramatis ketika segala sesuatu dapat berubah total secara sekaligus. Dalam kasus Hush Puppies di atas, tipping point terjadi saat orang-orang mulai beramai-ramai mengikuti ulah iseng para remaja memakai sepatu Hush Puppies. Di situ ada tiga hal yang terjadi dan menjadi ciri khas sebuah tipping point, yaitu sifat menular, kenyataan bahwa perubahan itu berawal dari ide yang sederhana, dan adanya perubahan yang dramatis dalam kurun waktu relatif singkat. Kalau dalam kasus Hush Puppies tipping point itu terjadi secara tidak sengaja, lantas bagaimana kita merancang sebuah tipping point yang disengaja?

Gladwell menjelaskannya melalui tiga kaidah epidemi, yaitu Hukum yang sedikit (the Law of the Few), Faktor Kelekatan (the Stickiness Factor) dan Kekuatan Konteks (the Power of Context). Gagasan mengenai tipping point memang tak bisa dilepaskan dari fenomena epidemi, penularan ‘penyakit’ secara cepat dan tak terelakkan. Ada tiga faktor berperan di situ, yaitu: orang yang bertindak sebagai peng-infeksi, sesuatu yang ditularkan dan lingkungan tempat terjadinya wabah. Jadi, hal pertama yang harus dimiliki untuk sebuah tipping point yang disengaja adalah: orang yang bertindak sebagai peng-infeksi.

Hukum yang sedikit menjelaskan bahwa orang yang bisa berperan sebagai peng-infeksi itu jumlahnya tidak banyak. Ada sejenis ketrampilan sosial yang wajib dimiliki orang tersebut. Gladwell menyebut tiga kelompok orang, yaitu: para penghubung (the connector), para bijak bestari (mavens) dan para penjaja (salesman). Ketiganya berbeda hanya dalam cara mereka bekerja. Namun ada satu hal yang menyamakan mereka yakni adanya semacam bakat dan ketrampilan sosial yang khas. Baik penghubung, para bijak bestari maupun para penjaja, adalah orang-orang yang menarik, persuasif, peka, dan punya kepedulian yang tulus. Mereka dikenal dan mengenal banyak orang. Mereka mempunyai kemampuan menularkan emosi kepada orang lain (merujuk pada buku Emotional Contagion, E. Hatfield dan J. Cacioppo). Temukan mereka, dan Anda sudah punya satu modal untuk membuat sebuah tipping point terencana.

Yang kedua adalah faktor kelekatan, berkaitan dengan pesan atau gejala yang ditularkan. Sebagaimana dimaklumi, era banjir informasi dewasa ini memberikan masalah tersendiri bagi penyampai pesan untuk menarik perhatian dan melekatkan informasi di benak khalayak. Di bagian ini Gladwell mengedepankan contoh tayangan Sesame Street dan Blue’s Clues, serta keberhasilan trik pemasaran sederhana Wunderman, yang dari contoh itu terbukti bahwa faktor kelekatan rupanya tidak melulu berkaitan dengan substansi/kualitas pesan yang ingin disampaikan tetapi justru pada sebuah gagasan sederhana tapi tepat waktu. ‘Faktor Kelekatan menawarkan sesuatu yang berbeda sekali. Prinsip ini menyodorkan pandangan bahwa masalahnya mungkin tidak berhubungan sama sekali dengan konsepsi pesan secara keseluruhan.’ Pada tayangan Sesame Street dan Blue’s Clues, gagasan sederhana itu berupa pengulangan tayangan, penyampaian pesan dalam struktur naratif, dan melibatkan penonton secara aktif dalam keseluruhan pertunjukan. Mirip dengan ini, Wunderman yang menangani perusahaan rekaman Columbia membuat sebuah iklan interaktif di mana pemirsa TV yang melihat tanda kotak emas tertentu pada iklan Columbia di majalah, berhak mendapat hadiah menarik dari Columbia. Trik ini memaksa pemirsa untuk menunggu-nunggu dan melihat iklan Columbia di televisi serta memberi perhatian pada iklan Columbia versi cetak di majalah. Nah, tugas Anda yang kedua berkaitan dengan Faktor Kelekatan adalah keluar sebentar dari substansi pesan yang ingin disampaikan dan menemukan sebuah cara sederhana yang membuat pesan itu mengalir tak terbendung ke benak khalayak dan bertahan di sana.

Kekuatan konteks menjadi bagian terbesar pembahasan di buku ini, kalau bukan faktor terpenting dari tiga syarat terjadinya tipping. ‘Kekuatan konteks merupakan argumen yang mengacu ke lingkungan (enviromentalism)...bahwa perilaku adalah sebuah fungsi dalam konteks sosial.’ Bedanya, Kekuatan Konteks mengacu pada hal-hal kecil yang berperan dalam sebuah perubahan. Gladwell mencontohkan kasus penurunan drastis kejahatan di kereta bawah tanah New York City awal tahun 90-an. Bukan karena sebuah gagasan besar atau tindakan luar biasa, tetapi karena ide sederhana menghapus grafiti dan menangkal aksi corat coret di kereta. ‘Kejahatan-kejahatan kecil, pelanggaran-pelanggaran remeh, yang lazimnya dianggap tidak signifikan....sesungguhnya merupakan Tipping Point menuju kejahatan-kejahatan besar.’ Lingkungan gerbong yang jorok penuh grafiti mengisyaratkan tidak adanya kendali di lingkungan itu yang akhirnya mendorong tindakan kejahatan yang lebih besar (teori Broken Windows).

Upaya membuat lingkungan (konteks) yang tepat bagi sebuah tipping point agaknya menjadi upaya yang paling sulit dibanding dua upaya sebelumnya. Ini juga yang menjadi semacam hambatan bagi realisasi ide tipping point secara keseluruhan. Apalagi bila upaya itu ternyata tidak lagi bisa dianggap sebuah ‘upaya kecil’. Seperti misalnya pada contoh kasus menanggulangi dampak tembakau. Gladwell antara lain mengusulkan pengurangan kadar nikotin sampai pada batas di bawah kadar yang bisa menyebabkan ‘kelekatan’. Tentu ini membutuhkan intervensi pemerintah. Dalam konteks Indonesia, tentu ini menjadi upaya yang tidak kecil mengingat Pemerintah sendiri masih mendua menyikapi kebiasaan merokok ini.

Paling tidak, gagasan tipping point ini memberi kita satu harapan pada perubahan positif dengan satu langkah (kecil) yang cerdas. Adakalanya usaha yang melibatkan sumberdaya yang besar tidak membawa perubahan yang diinginkan karena tidak melibatkan orang-orang yang tepat, cara yang sederhana namun cerdas, dan lingkungan yang mendukung terlaksananya perubahan itu.

Baca selengkapnya...

Pengikut

  © Blogger template Palm by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP