Sarapan Bersama Capote

>> Senin, 12 Oktober 2009

Mencari tempat sarapan yang asyik di New York? Tanyakan kepada Holly Golightly, maka jawabannya adalah toko perhiasan Tiffany. Datanglah pagi hari saat toko itu masih tutup. Kalau beruntung, kita akan menjumpai sosok langsing cantik sedang mengunyah croissant, menyesap kopi dari gelas kertas sambil matanya yang tertutup kacamata hitam besar itu tak puas-puas menatap etalase. Jangan hanya terpesona oleh tubuh ramping sesehat sereal sarapan, yang meruapkan kesegaran sabun dan lemon, dan semburat merah jambu di pipinya. Karena di hadapan kita Holly akan terbuka seperti sebuah buku cerita. Semakin lama kita terbuai kisahnya, semakin berat kita menanggung risiko untuk jatuh cinta.

Tak penting benar apakah kisah itu nyata atau bualan belaka. Semuanya sama saja, mantera hipnotis yang akan membuat para pria termehek-mehek mengharapkan cintanya. Benarkah itu cinta? Novel pendek Truman Capote, Breakfast at Tiffany’s (PT Serambi Ilmu Semesta, Februari 2009, 163 halaman), tidak persis menjawab pertanyaan itu. Sekilas novel ini sekedar berisi penuturan tokoh ‘aku’ (dalam versi film bernama Paul Varjak) tentang Holly Golightly, wanita penghibur kelas atas yang ia ‘cintai’ namun, sebagaimana para pria lainnya, ia gagal memilikinya. Paul bukanlah dari golongan pria yang ‘mampu membayar lima puluh dolar untuk ke toilet’. Kedekatannya dengan Holly semata karena tempat tinggalnya yang satu apartemen plus wajahnya yang mirip saudara kandung Holly, Fred.

Kalau menyimak bagaimana Holly memperlakukan para pria (dan dicintai dengan berbagai cara oleh para penggemarnya), barangkali novel ini melulu cerita mengasyikkan tentang ‘taktik bisnis’ Holly untuk mempertahankan hegemoninya atas laki-laki. Tapi melalui Breakfast at Tiffany’s rasanya Capote seperti sedang mengolok-olok kegamangan manusia menghadapi keinginan (dan perasaannya) sendiri. Dengan memasang tokoh-tokoh serba karikatural (terlihat lebih jelas dalam versi film-nya), Capote leluasa menceritakan kegamangan itu, kadang dengan kalimat yang menggelitik. Misalnya saat Holly, waktu berusia 14 tahun, dilamar oleh dokter hewan 50-an tahun yang telah menyelamatkannya dari kepapaan, Holly dengan ringan berkata, ‘Tentu saja kita akan menikah. Aku belum pernah menikah...’ Semudah itu.


Simak juga bagaimana misalnya Joe Bell, salah seorang penggemar berat Holly, mengungkapkan perasaannya: ’Tentu saja aku mencintainya. Tapi bukan berarti aku ingin menyentuhnya.. Bukannya aku tidak pernah memikirkan sisi yang itu. Bahkan bagi orang seumurku, aku akan berumur enam puluh tujuh.... semakin tua diriku, sisi yang itu semakin mengisi pikiranku...’ Beberapa kali tokoh ‘aku’ kesulitan menafsirkan sikap Holly. Menyaksikan Holly sarapan di depan Tiffany’s terasa sama menyedihkannya dengan melihat para pria mengharap remah-remah cinta dari seorang wanita penghibur.


Tema cerita seperti ini juga disinggung penulis lain seperti Milan Kundera melalui The Unbearable Linghtness of Beings (Fresh Book, Jakarta 2007, 455 halaman). Hanya saja, Kundera membicarakannya dengan cara ‘lebih serius’. Baginya, wajar bila manusia sering tidak yakin dengan apa yang diinginkannya, ‘...karena manusia hanya mempunyai satu kehidupan, sehingga tidak dapat dibandingkan dengan kehidupan lain yang pernah dijalani...’ Sekalipun tiap manusia sudah mempunyai semacam tugas/garis hidup (es muss sein) masing-masing, ada kalanya sepanjang perjalannya mereka menemukan semacam kebetulan-kebetulan (tak terduga), coinsidence yang sering membuat gamang. Sayangnya, manusia tak bisa ber-eksperimen untuk menguji apakah mereka harus mengikuti keinginan/perasaannya atau tidak, demikian Kundera.



Berbeda dengan versi film-nya yang dibuat happy ending (dan bagi Capote itu sebuah pengkhianatan), novel Breakfast at Tiffany’s ditutup lebih cantik justru dengan membiarkan Holly mengembara mengikuti es muss sein-nya. Tak jelas apakah di Brazil atau di salah satu sudut Afrika. Yang pasti tidak sesederhana nasib kucing peliharaan Holly yang sudah punya tuan baru, sekalipun tokoh ‘aku’ berharap Holly pun menemukan tempatnya yang tepat. Mungkin bagi Capote, ending yang tuntas seperti versi film-nya akan menyederhanakan novel pendek ini menjadi sekedar sebuah cerita. Bukan sebuah statement.

Baca selengkapnya...

Pengikut

  © Blogger template Palm by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP