Perkara senyum

>> Rabu, 18 Maret 2009

Sometimes I just forget to smile (judul lagu michael franks)

Perkara senyum membawaku kepada dialog dengan seorang pengamen di sebuah kedai di jakarta beberapa waktu yang lalu. Lelaki kurus berambut panjang dan sebagian besar sudah beruban itu melayangkan protes gara-gara aku tak membalas senyumnya usai sebuah lagu mengalir dari mulutnya. Aku berusaha membela diri karena ‘merasa’ sudah membalas senyumannya itu. Baiklah, waktu itu aku memang tidak begitu mempedulikannya. Dan ketika di depan cermin aku me-rekonstruksi kejadiannya, sadarlah bahwa sekalipun hatiku merasa sudah tersenyum ternyata wajahku sama sekali tidak mempertontonkan seulas senyum pun!

Senyum tak berbalas mungkin sama menyakitkan dengan cinta yang bertepuk sebelah tangan. Suatu ketika aku pernah bertanya kepada beberapa staf frontliner di tempatku bekerja. Mengapa mereka sulit sekali tersenyum, terutama kepada para pelanggan? Dalih yang mereka berikan: mereka pernah berkali-kali memberikan senyum kepada pelanggan dan senyum itu tak berbalas sama sekali. Mereka menjadi ragu, dan mungkin juga sakit hati. Katakan padaku, bila kamu datang ke sebuah restoran atau departemen store, dan di pintu masuknya ada seorang gadis menyambut dengan salam dan senyum terindahnya, apa yang kamu lakukan? Membalasnya ataukah berlalu seakan mereka itu sejenis patung penghias pintu masuk? Berapa ratus kali sehari gadis itu tersakiti hatinya?

Aku jadi berpikir, sudah begitu sulitkah kita tersenyum? Ataukah kita lupa cara tersenyum yang tidak hanya dalam hati tetapi juga lahir dalam bentuknya yang paling indah? Berapa kali dalam sehari kita tersenyum untuk orang-orang di sekitar kita? Istri/suami, anak, tetangga, staff, atasan, rekan usaha, sudahkah mereka mendapatkan haknya atas senyum kita? Ingatkah kamu bagaimana joker dalam film batman the dark knight mengajari orang cara untuk tersenyum? Benar sekali, dengan cara membuat sayatan ke atas dengan pisau di kedua ujung bibir kita. Kamu ingin belajar dari joker atau mencoba sendiri menemukan semua alasan untuk bisa tersenyum setiap hari.

Baca selengkapnya...

Beri aku jeda

>> Senin, 09 Maret 2009



Aku sedang membayangkan sebuah cuti yang terasa seperti libur panjang masa sekolah dulu. Waktunya sudah terjadwal dan ditunggu penuh rasa tak sabar. Apa yang nikmat dalam libur sekolah? Ini dia: tak ada peraturan sekolah, sepi dari perintah dan hardikan guru, bebas menikmati waktu, bertemu teman tanpa pembicaraan materi pelajaran, bisa berdiam diri seharian di kamar atau pergi tanpa seorang pun peduli. Apakah ada yang terlewat? Baiklah, mungkin juga saat libur itu ada diantara kita menemukan cinta pertama. Umumnya, semuanya mengalir begitu saja, ringan dan tak terbeban.

Aku tak ingat lagi, sudah berapa lama tidak menikmati kemewahan seperti itu? Sudah beberapa kali aku mendapat cuti sepanjang masa kerja. Biasanya, libur tahunan itu hanyalah jeda, sebuah spasi untuk statement berikutnya. Aku bisa mengambilnya kapan saja, tapi saat aku berada di dalamnya, sering kali bukan spasi itu yang kunikmati. Dengan hp yang siap menyalak setiap saat, libur itu lebih mirip tidur panjang dengan mimpi buruk. Jadi ingat bob munro (robin williams) dalam film runaway vacation. Wisata bareng keluarga memang sebaiknya tak membawa laptop, blackberry dan hp.

Sepertinya, jeda yang bernama cuti itu tidak melulu persoalan waktu tapi juga berkaitan dengan ruang. Lihatlah bagaimana pikiran mulai menegang kembali bahkan ketika waktu cuti masih satu dua hari lagi. Aku gagal menciptakan ruang yang lapang untuk memulai kembali aktifitas keseharian. Ruang dalam hati dan pikiranku masih berantakan, fragmented, dan terasa sempit hingga sulit bergerak bahkan untuk sekedar mengambil nafas. Ini yang membuatku kadang jadi kurang sensitif, tak kreatif, bahkan melakukan tindakan bodoh yang kusesali kemudian.

Aku mau cuti dan tak ada salahnya punya agenda membenahi ruang yang berantakan itu. Kurasa, masih banyak tempat kosong untuk berdiri dan -- dalam jarak yang cukup dan pandangan yang jelas tak terhalang, melihat ke dalam diriku. Mengenalinya apa adanya. Bukan aku sebagaimana selama ini direfleksikan oleh penilaian orang lain, oleh pencapaian-pencapaian (jika pun itu ada dan bukan sekedar ilusi), pun oleh kegagalan-kegagalan. Aku yang telanjang dan bisa merasakan udara yang bergerak di sekitarku, mendengar bisikan hati yang selama ini terabaikan dan melihat tanpa bantuan kacamata penuh distorsi. Kuharap dengan begitu aku bisa mendapatkan jeda yang sebenarnya dan tak perlu khawatir kekurangan tempat saat cuti itu usai…

(Apakah kamu selalu berhasil dengan cutimu?)

*photo: "Beyond Space Time" karya Sun Shaoqun

Baca selengkapnya...

Rantai kebencian

>> Kamis, 05 Maret 2009


Berbicara mengenai benci, aku ingat pada kalimat heroik yang dulu menghiasi setiap sudut kampus: hanya ada satu kata, lawan! Kamu tentu tahu, kalimat itu berasal dari puisi wiji thukul berjudul peringatan. Aku menemukannya (lagi) di buku kumpulan puisinya yang berjudul aku ingin jadi peluru, terbitan indonesiatera tahun 2004. Mari kita sejenak bernostalgia:

jika rakyat pergi
ketika penguasa pidato
kita harus hati-hati
barangkali mereka putus asa

Kalau rakyat sembunyi
dan berbisik-bisik
ketika membicarakan masalahnya sendiri
penguasa harus waspada dan belajar mendengar

Bila rakyat tidak berani mengeluh
itu artinya sudah gawat
dan bila omongan penguasa
tidak boleh dibantah
kebenaran pasti terancam

Apabila usul ditolak tanpa ditimbang
suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan
dituduh subversif dan mengganggu keamanan
maka hanya ada satu kata: lawan!

Bukan kalimat-kalimat yang merdu, memang. Sang penulis barangkali menorehkan penanya dengan tangan bergetar. Darimanakah sumber kebencian itu? Kalau menyimak puisi-puisi wiji thukul, sepertinya sumber itu tidak asing lagi. Siapa yang tak pernah sakit hati kepada penguasa, mengalami represi, tak bebas menyuarakan pendapat, merasa terancam oleh orang yang harusnya melindungi, terintimidasi, dibakar cemburu, dll. Makanya aku khawatir, jangan-jangan kebencian itu juga ada di sebuah tempat tersembunyi di hati kita. Dan dia laten.

Jenis kebencian yang lain kudapati beberapa waktu lalu saat aku menonton film you don’t mess with the zohan. Bukan film yang bagus, tapi di film itu kebencian ditertawakan. Pertikaian palestina-israel yang tak berkesudahan sampai batas yang sulit dimengerti oleh sebagian penduduk negeri itu yang diwakili dalia, jelita palestina, dan zohan, mantan agen rahasia israel. Kebencian diwariskan turun temurun seperti tak ada ujungnya. Sampai kapan? Tak ada yang tahu. Ah, aku jadi ingin membaca buku how to cure fanatic, tulisan amos oz (ada yang punya?). Paling tidak dalam salah satu bagian buku itu dia menawarkan resolusi untuk menyudahi kebencian berantai: bring a bucket of water and throw it on the fire, and if you don’t have a bucket, bring a glass, and if you don’t have a glass, use a teaspoon—everyone has a teaspoon. And yes, I know a teaspoon is little and the fire is huge, but there are millions of us and each one of us has a teaspoon.

Hanya saja, kebencian sepertinya tidak pernah berdiri sendiri. Si pembuat spanduk bernada kebencian di perempatan jalan, bisa jadi seorang fanatik. Tetapi bisa juga sekedar orang yang terluka di masa lalu, laiknya wiji thukul, dan tiba-tiba menemukan alasan untuk meneriakkan rasa sakitnya dalam bentuk yang menyerupai fanatisme. Aku tak tahu pasti. Sebagaimana aku ingin ada yang bisa menjelaskan bahwa dalam diri kita tersimpan juga puluhan birat luka semacam itu, bahwa kita pada hakekatnya cuma produk sejarah, storehouse of all the past?

Andai saja kita punya imajinasi seperti amoz os, bersedia menyiapkan sesendok air untuk setiap api yang muncul di sekitar kita, kurasa kita bisa membuat sedikit perbedaan (kalau bukan perubahan).

Baca selengkapnya...

Pengikut

  © Blogger template Palm by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP