Rantai kebencian

>> Kamis, 05 Maret 2009


Berbicara mengenai benci, aku ingat pada kalimat heroik yang dulu menghiasi setiap sudut kampus: hanya ada satu kata, lawan! Kamu tentu tahu, kalimat itu berasal dari puisi wiji thukul berjudul peringatan. Aku menemukannya (lagi) di buku kumpulan puisinya yang berjudul aku ingin jadi peluru, terbitan indonesiatera tahun 2004. Mari kita sejenak bernostalgia:

jika rakyat pergi
ketika penguasa pidato
kita harus hati-hati
barangkali mereka putus asa

Kalau rakyat sembunyi
dan berbisik-bisik
ketika membicarakan masalahnya sendiri
penguasa harus waspada dan belajar mendengar

Bila rakyat tidak berani mengeluh
itu artinya sudah gawat
dan bila omongan penguasa
tidak boleh dibantah
kebenaran pasti terancam

Apabila usul ditolak tanpa ditimbang
suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan
dituduh subversif dan mengganggu keamanan
maka hanya ada satu kata: lawan!

Bukan kalimat-kalimat yang merdu, memang. Sang penulis barangkali menorehkan penanya dengan tangan bergetar. Darimanakah sumber kebencian itu? Kalau menyimak puisi-puisi wiji thukul, sepertinya sumber itu tidak asing lagi. Siapa yang tak pernah sakit hati kepada penguasa, mengalami represi, tak bebas menyuarakan pendapat, merasa terancam oleh orang yang harusnya melindungi, terintimidasi, dibakar cemburu, dll. Makanya aku khawatir, jangan-jangan kebencian itu juga ada di sebuah tempat tersembunyi di hati kita. Dan dia laten.

Jenis kebencian yang lain kudapati beberapa waktu lalu saat aku menonton film you don’t mess with the zohan. Bukan film yang bagus, tapi di film itu kebencian ditertawakan. Pertikaian palestina-israel yang tak berkesudahan sampai batas yang sulit dimengerti oleh sebagian penduduk negeri itu yang diwakili dalia, jelita palestina, dan zohan, mantan agen rahasia israel. Kebencian diwariskan turun temurun seperti tak ada ujungnya. Sampai kapan? Tak ada yang tahu. Ah, aku jadi ingin membaca buku how to cure fanatic, tulisan amos oz (ada yang punya?). Paling tidak dalam salah satu bagian buku itu dia menawarkan resolusi untuk menyudahi kebencian berantai: bring a bucket of water and throw it on the fire, and if you don’t have a bucket, bring a glass, and if you don’t have a glass, use a teaspoon—everyone has a teaspoon. And yes, I know a teaspoon is little and the fire is huge, but there are millions of us and each one of us has a teaspoon.

Hanya saja, kebencian sepertinya tidak pernah berdiri sendiri. Si pembuat spanduk bernada kebencian di perempatan jalan, bisa jadi seorang fanatik. Tetapi bisa juga sekedar orang yang terluka di masa lalu, laiknya wiji thukul, dan tiba-tiba menemukan alasan untuk meneriakkan rasa sakitnya dalam bentuk yang menyerupai fanatisme. Aku tak tahu pasti. Sebagaimana aku ingin ada yang bisa menjelaskan bahwa dalam diri kita tersimpan juga puluhan birat luka semacam itu, bahwa kita pada hakekatnya cuma produk sejarah, storehouse of all the past?

Andai saja kita punya imajinasi seperti amoz os, bersedia menyiapkan sesendok air untuk setiap api yang muncul di sekitar kita, kurasa kita bisa membuat sedikit perbedaan (kalau bukan perubahan).

0 komentar:

Pengikut

  © Blogger template Palm by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP