Belajarlah Hingga ke Lubuk Kepala Anjing

>> Selasa, 02 Maret 2010

Andai saja Malcolm Gladwell bersikeras memenuhi impiannya menjadi pengacara, atau tetap nekat (setelah ditolak delapan belas kali) melamar kerja ke biro iklan, bisa jadi penulis berambut kribo itu justru tidak akan begitu dikenal di sini. Untung saja nilai sarjananya kurang bagus, hingga ia tak perlu kuliah pasca sarjana, dan memutuskan untuk menulis -- pekerjaan yang menurutnya berat, serius, tetapi juga asyik, dan dari situ ia membuka mata banyak orang melalui buku-buku larisnya, The Tipping Point, Blink!, Outliers, dan buku terbarunya, What the Dog Saw (PT Gramedia Pustaka Utama, Januari 2010, 457 halaman).

Buku keempat dengan judul menggelitik itu berisi kumpulan tulisan MG di majalah The New Yorker sejak tahun 1996. Dipilih berdasarkan kriteria terfavorit menurut penulisnya sendiri, buku ini sekaligus menguak sedikit dapur kreatif MG, sesuatu yang telah lama mengundang penasaran para pembacanya (dan mungkin juga para penulis lainnya). Di mana Anda mendapatkan ide, begitu MG kerap ditanya. Pertanyaan yang ternyata sulit dijawab oleh seorang penulis produktif seperti MG, apalagi buat penulis yang sering kebingungan mendapatkan ide. “Kuncinya,” demikian MG akhirnya memberikan saran, ”meyakinkan diri sendiri bahwa semua orang dan segala hal punya cerita.” Sayangnya, untuk menumbuhkan keyakinan ini ternyata tidak mudah, karena “naluri kita sebagai manusia adalah menganggap sebagian besar hal tidak menarik.....jika mau menjadi penulis, Anda harus melawan naluri itu saban hari.”

Maka, seperti mengukuhkan pendapat tadi, mengalirlan kisah tentang orang-orang yang oleh MG disebut para genius minor. Alih-alih menceritakan tokoh yang kerap disebut namanya dalam sejarah, di bagian satu buku ini MG mengangkat cerita tentang sales person alat rumah tangga yang pantang menyerah, pencipta saos tomat yang jeli, penulis iklan produk pewarna rambut, penemu pil KB, pelatih anjing dan mungkin satu-satunya kisah tokoh yang ‘agak terkenal’, adalah kisah tentang Nassim Taleb, seorang pemain di bursa saham sekaligus penulis buku laris The Black Swan. Dengan semangat ‘semua orang punya cerita’, lahirlah kisah-kisah yang akan membuat kita terpukau dan mulai menyetujui tip dari MG tadi.

Ambil contoh kisah tentang pawang anjing bernama Cesar Millan, yang judul tulisannya dijadikan judul buku ini. Lelaki Meksiko itu menyeberang dari Tijuana ke San Diego, membawa serta bakatnya sebagai el Perrero (‘bocah anjing’), memulai kerja di salon perawatan anjing hingga memiliki bisnis sendiri, Dog Psychology Center, pusat penanganan anjing-anjing bermasalah. Awalnya, MG memang bercerita tentang Millan dan seluk beluk pekerjaan seorang pawang anjing. Kemudian ia mengulasnya dari sudut pandang seorang ahli antropologi yang meneliti bagaimana sebenarnya anjing memandang manusia. “Anjing benar-benar tertarik kepada manusia,” kata kata sang antropolog. “Tertarik sampai ke tingkat terobsesi. Bagi anjing, Anda adalah bola tenis raksasa yang bisa berjalan.” Dari situ MG lalu memasukkan pendapat dua ahli lain. Kali ini ahli perilaku dari University of Wisconsin yang pernah menulis tentang interaksi manusia dengan anjing dan seorang lagi pakar gerakan dan ketua jurusan tari dari University of Maryland.

Penjelasan dari kedua pakar ini membawa kisah Cesar Millan bergerak ke uraian menarik tentang bahasa tubuh, bagaimana ‘membaca’ seseorang dari gerakan-gerakan anggota tubuhnya, bagaimana sikap tubuh seseorang tidak bisa menyembunyikan sesuatu yang tersimpan di lubuk hatinya -- sesuatu yang kemudian bisa ‘dibaca dengan baik’ oleh seekor anjing. MG menutup kisah ini dengan menyinggung ironi seputar hubungan antara manusia dan anjing, saat kedekatan mereka itu justru mulai merusak hierarki hubungan yang seharusnya, saat manusia bisa lebih dekat dengan seekor anjing dibanding manusia lain, sesuatu yang pernah terjadi pada diri Cesar Millan, pria yang mampu memahami anjing-anjing bermasalah namun gagal memahami orang terdekatnya sendiri: istrinya! Begitulah cara MG ‘mengajari’ kita cara menemukan ‘permata terserak’ di antara batuan yang sering luput dari perhatian.

Masih terkait dengan ‘segala hal punya cerita’, di bagian kedua dan ketiga buku ini MG menampilkan beberapa kisah seputar kekeliruan manusia memahami informasi yang membanjir di sekitar mereka. Kecenderungan membuat generalisasi, prediksi dan teori-teori, menjadi perhatian di bagian ini (tema yang dibahas lebih mendalam oleh Nassim Taleb di The Black Swan). Informasi yang melimpah dan mudah didapat dengan bantuan berbagai perangkat teknologi canggih rupanya membawa persoalan tersendiri. Contoh paling menarik untuk kasus ini adalah kegagalan intelijen AS mengantisipasi serangan teroris 9/11. Penyebabnya bukan karena informasi yang kurang! Divisi kontrateroris FBI mendapat enampuluh delapan ribu petunjuk yang belum ditelusuri sejak 1995. Termasuk di dalamnya transkrip percakapan dua orang anggota al-Qaeda yang belakangan (setelah kejadian 9/11) tampak sangat meyakinkan sebagai percakapan untuk merencanakan serangan itu. Masalahnya, tak semua petunjuk itu bisa dibuktikan kebenarannya. Kalau pun benar, belum tentu relevan.

Sebagaimana pada buku-buku sebelumnya, melalui tulisan-tulisan singkat di buku ini MG juga banyak menyentil berbagai persoalan yang sudah dianggap ‘selesai’, dengan menampilkan argumen yang boleh dibilang melawan arus. Misalnya saja pada kasus Enron, perusahaan raksasa energi AS, yang menyeret pendirinya, Jeffrey Skilling, ke pengadilan federal atas tuduhan penipuan. Skilling dinyatakan bersalah karena berbohong kepada para investor mengenai berbagai aspek bisnis Enron. Ia dijatuhi hukuman 24 tahun penjara, salah satu hukuman terberat yang pernah dijatuhkan kepada pelaku kejahatan kerah putih. Benarkah Skilling bersalah? Tidak sesederhana itu ternyata.

Inti tuduhan jaksa, Skilling dinyatakan bersalah karena dianggap menyembunyikan berbagai informasi penting dari para investor, termasuk kebenaran menyangkut kondisi keuangan perusahaan. Benarkah Skilling menyembunyikan ‘sesuatu’? Paling tidak ada dua hal yang menyebabkan pertanyaan ini tidak mudah untuk dijawab. Pertama, sebagai perusahaan publik, Enron selalu mempublikasikan laporan keuangan mereka yang bisa segera dianalisis oleh para pemerhati investasi di Wall Street, termasuk para wartawan ekonomi. Sebelum Enron dinyatakan bangkrut, seorang wartawan Wall Street Journal bernama Jonathan Weil pernah menelisik laporan keuangan Enron, dan mengangkatnya dalam salah satu tulisannya. Ketika Weil meminta komentar kepada para pejabat Enron, mereka dengan terbuka mengajaknya berdiskusi. Jadi, informasi mana yang disembunyikan Skilling?

Hal kedua, berkaitan dengan rumitnya informasi di zaman ketika berbagai model bisnis tidak mudah lagi dipahami oleh sembarang orang, bahkan oleh orang dalam perusahaan sendiri. Dalam kasus Enron, pengungkapan aspek-aspek bisnis perusahaan itu melibatkan dokumen setebal tiga juta halaman. Upaya paling maksimal untuk meringkasnya, menghasilkan dokumen setebal seribu halaman spasi tunggal yang tetap tak mudah dipahami. Jonathan Macey, profesor hukum Yale, mengatakan bahwa dalam kasus Enron, tidak ada kebenaran yang tersembunyi. Tahun 1998, tiga tahun sebelum kebangkrutan Enron, kata Macey, enam orang mahasiswa Cornell University membuat tugas yang menganalisis laporan keuangan Enron. Mereka menganalisis setiap tiap cabang bisnis Enron, menggunakan berbagai alat statistik yang dirancang untuk mencari pola dalam performa keuangan perusahaan, meneliti berhalaman-halaman catatan kaki, mengajukan banyak sekali pertanyaan. Dan hasilnya, persis dengan kesimpulan yang dibuat wartawan Wall Street Journal menjelang kebangkrutan Enron tahun 2001, bahwa saham Enron overpriced. Jadi, atas dasar apa tuduhan jaksa terhadap Skilling dibuat? Benarkah masalah sesungguhnya bukan karena ada informasi yang disembunyikan, tetapi justru karena begitu banyak informasi yang tersedia—yang sayangnya gagal dipahami para investor?

Menyimak pemaparan pendapat MG di buku ini, anda boleh saja tidak setuju, atau mungkin tidak yakin--mengingat pada buku-buku sebelumnya MG mengulas satu topik dalam satu buku penuh, hingga tulisan-tulisan di buku ini jadi terasa amat pendek. Tidak masalah. Sebagaimana diungkapkan MG di bagian pengantar, bahwa tulisan yang bagus dinilai berhasil bukan dari kekuatannya untuk meyakinkan pembacanya, tetapi dinilai dari kemampuannya membuat orang lain merasa terlibat, berpikir dan memahami kilasan pikiran penulisnya.

Buku ini berisi 19 tulisan yang bisa dipilih secara acak tanpa harus berurutan. Ini adalah kumpulan kisah petualangan yang diramu MG untuk menyentil, membuat orang berani mempertanyakan kembali narasi yang sudah dianggap final, dan pada akhirnya mendorong untuk ‘bertualang’ menelusuri sisi-sisi tersembunyi setiap peristiwa, mencari jawaban, kalau perlu sampai ke lubuk kepala seekor anjing.



Baca selengkapnya...

Pengikut

  © Blogger template Palm by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP