Warna-warni Permadani

>> Senin, 13 Juli 2009

Jika setiap manusia pernah tinggal seorang diri di dalam rahim dan kelak juga sendiri saat dalam kubur, mengapa kesendirian sering membuat resah? Apakah karena kesendirian acapkali membuat seseorang menjadi salah tingkah? Tengoklah misalnya, Mr. Walt Kowalski, seorang veteran US army di film Gran Torino. Di masa tuanya ia tinggal menyendiri, ditemani Daisy (maaf, ini nama anjing beliau) dan mobil tuanya Ford Gran Torino. Anak dan cucu Mr. Kowalski lebih suka tinggal menjauh sembari berharap episode hidup Mr Kowalski segera berakhir dan warisan segera dibagi. Adapun kegiatan sehari-hari Mr Kowalski ini, mengelap mobil (yang tak pernah dikendarainya) sampai licin mengilap, kemudian memandangnya dengan takjub sambil minum bir dingin dan mengobrol dengan Daisy.

Apakah Mr. Kowalski kesepian dalam kesendiriannya? Benarkah kesendirian sewarna dengan kesepian? Mari kita melihatnya dari kacamata Ushman, seorang pedagang permadani asal Iran di novel berjudul Rug Merchant, karya Meg Mullins. Edisi bahasa Indonesianya diterbitkan oleh PT Bentang Pustaka, Mei 2009. Bermodal ‘kartu hijau’ hasil undian, Ushman berangkat ke Amerika, meninggalkan Farak, istrinya, dan usaha permadani warisan keluarganya. Ia menyuruk di salah satu sudut kota New York, membuka toko permadani, dan perlahan mulai bisa menjejakkan kakinya dengan kokoh di kota super sibuk itu. Ketekunannya menjalin relasi dengan para pelanggan sejalan dengan kesungguhannya memelihara permadani impian di benaknya: membawa Farak ke Amerika dan memulai hidup sejahtera di sana. Awalnya, kesendirian tidak menjadi masalah bagi Ushman selama dia bisa merebahkan badannya di atas permadani impiannya itu. Sampai dia mendengar kabar istrinya itu menjalin hubungan dengan seorang pedagang dari Turki. Farak pun terang-terangan mengakuinya.


Dari sinilah Ushman harus mengakui bahwa rajutan kisah hidupnya tak seindah pola-pola geometris permadani persia yang dijualnya. Kesepian mulai membayang saat impian di benaknya mulai berangsur pudar. Semakin kuat dia mempertahankan impiannya justru semakin terang gambaran kenyataan di mata sadarnya bahwa rumah tangganya bersama Farak telah hancur berantakan, menyisakan rongga kosong dalam hatinya. Di saat itulah Ushman bertemu Stella, gadis Amerika yang tengah menghadapi ‘kekosongannya’ sendiri: tak ada pesta dan kawan di hari ulang tahunnya yang ke sembilanbelas.

Usia Stella itu jelas terpaut jauh darinya, dan sudah pasti ia memiliki latar budaya yang berbeda dengan Ushman. Stella yang cerdas dan terbuka tak mendapatkan masalah yang berarti ketika hubungannya dengan Ushman semakin mendalam dan emosional. Sebaliknya, Ushman selalu diliputi keraguan dan gamang menyikapi hubungan mereka itu. Ushman merasa ‘tidak pantas’ mendapatkan Stella. Dia juga melihat cinta Stella kepadanya tumbuh di dalam diri Stella yang masih belia. Ada kekhawatiran suatu saat Stella akan meninggalkannya. ‘Bagian dari Stella yang belum berkembang adalah sama dengan bagian dari Stella yang mencintainya.... Saat Stella tumbuh dewasa, rasa hormat Stella untuknya akan layu...’

Hubungan mereka makin runyam dibayangi relasi Ushman dengan Ny. Roberts, salah seorang pelanggan setia Ushman. Bagi Ushman, Ny Roberts ‘hanyalah’ pelanggan kaya raya dengan selera yang sulit dipuaskan dan ‘keinginan aneh terhadap segala sesuatu yang tidak bisa dimiliki’ yang tak lain bentuk pelarian dari kesepian Ny Roberts sendiri. Tiga orang dengan kekosongan yang berbeda bertemu dan menuliskan kisahnya masing-masing layaknya pola warna-warni di atas hamparan permadani. Menjadi menarik ketika pola itu saling bersentuhan, berkelindan dan mempertahankan iramanya sendiri.

Ketika hubungannya dengan Stella berakhir, Ushman melanjutkan hidup tanpa harus merasa ada yang kosong. ‘Ti penso sempre (aku selalu memikirkanmu)’, kata Stella sebelum menutup telepon dia pergi. Dan Ushman, ‘meskipun air mata mengalir di pipinya, ia tersenyum’, seakan memaklumi bahwa relasi itu memang harus berhenti seperti ujung pola-pola permadani.

Novel ringan dengan plot sederhana ini diolah dengan lincah oleh Meg Mullins melalui dialog yang kadang tak terduga dan sesekali juga jenaka. Interaksi dua budaya menjadi momen yang menarik ketika masing-masing mulai menemukan titik persamaan. Di situs pribadinya, Mullins menceritakan bagaimana pemahamannya terhadap karakter Ushman didasari atas keyakinannya bahwa manusia selalu punya kesamaan satu dengan lainnya. ‘The beauty of humanity is that none of us is so very different at our core. As I was writing about Ushman, I never felt he was unlike me. I certainly have a great respect for the vast differences in our cultures and our backgrounds, even our genders, but I loved discovering similarities, too. Love and pain, loneliness and desire are universal experiences and we are all linked by them.’ Kesamaan itu, apa pun bentuknya, barangkali memang bisa menjadi alasan paling mendasar untuk tidak perlu merasa sendiri dan sepi di tengah lingkungan manusia lain, di mana pun di bumi ini...

Baca selengkapnya...

Setelah Penyesalan Kariso...

>> Kamis, 09 Juli 2009

Usianya masih muda, 32 tahun. Semangatnya untuk menghirup manisnya hidup barangkali sedang di titik kulminasi. Istri dan anaknya yang berusia 4 tahun memompa semangat hidupnya hari ke hari. Seperti pagi itu, ketika Kariso mengisi botol-botol kosong dengan bensin di kios sederhananya di Kecamatan Sawangan, Depok. Tak ada yang menyangka, ketergantungannya pada nikotin menjadikan hari cerah akhir Juni lalu menjadi hari naas baginya. Kios bensinnya meledak, menewaskan istri dan anak tercintanya. Kariso selamat dengan luka bakar parah. Tapi luka menganga di hatinya lebih parah lagi: penyesalan itu tidak akan tersembuhkan sampai kapan pun.

Sedih harus mengetahui nasib Kariso. Lebih sedih lagi harus melihat kekalahan Indonesia menghadapi bisnis nikotin! Seperti dituliskan Kartono Mohamad di Kompas 27 Juni 2009. Mari, aku ingatkan kamu pada artikel itu. Ketika jumlah perokok di AS turun drastis dari 46 persen (1950) ke 21 persen (2004) dari penduduk AS, perusahaan rokok AS mencari pasar di luar AS termasuk Asia. Dengan senjata GATT, AS merayu negara-negara padat penduduk untuk menerima racun berasap itu. Salah satunya Indonesia. Diantara 4 negara yang dibujuk, hanya Thailand yang berani menolak dengan alasan melindungi kesehatan rakyat. Indonesia menyerah tanpa syarat!

Dengan senjata GATT juga Indonesia berusaha memasukkan produk rokoknya ke AS. Sayangnya AS, terutama setelah Obama menandatangani UU bernama Family Smoking Protection and Tobacco Control Act, menolak menerima produk itu. Apalagi setelah FDA makin garang menghadapi rokok dengan melarang penggunaan kata mild, light, low tar dan melarang penambahan rasa (termasuk cengkeh) ke dalam rokok. Bahkan pengadilan tinggi Washington DC mengatakan pabrik rokok telah melakukan pembohongan publik dengan menggunakan kata-kata mild, light, low tar itu. Dalam hal ini, Indonesia kalah lagi.

Menjadi lebih parah, ketika negara-negara lain sepakat membatasi bisnis madat ini, Indonesia justru ragu-ragu, bahkan cenderung membiarkan industri rokok berkembang dibanding memberi perhatian pada kesehatan rakyatnya. Buktinya, pemerintah menolak menandatangi FCTC (Framework Convention on Tobacco Control) dari WHO. Sungguh ironis, setelah Sampoerna dibeli oleh Philip Morris dan Bentoel dibeli oleh BAT, yang tersisa adalah penyakit dan kemiskinan yang menggerogoti rakyat Indonesia.

Penyesalan Kariso, dan jutaan rakyak miskin yang diperbudak nikotin, tidakkah cukup?

Baca selengkapnya...

[Next] Mahluk transgenik bernama X.

>> Jumat, 03 Juli 2009

Salah satu film paling menjijikkan yang pernah kutonton adalah Island of Dr. Moreau, film akhir tahun 90-an. Di film itu bertebaran binatang-binatang ‘ciptaan’ Dr Moreau yang disisipi gen manusia. Konon untuk menekan sifat-sifat ‘kebinatangannya’. Setting waktu film itu adalah tahun 2010. Hmmm, tahun depan. Mungkinkah (dalam pengertian ‘dibenarkan secara moral’) binatang disisipi gen manusia? Apa nama ‘produk’ yang dihasilkan?

Di luar pertimbangan moral, kemungkinan itu terbuka lebar. Apalagi konon gen antara manusia dan simpanse hanya berbeda 1,5%. Mari tengok lebih dulu contoh ‘mahluk transgenik’ ini: buah tomat. Awalnya buah ini tidak bisa tumbuh baik di daerah bersuhu rendah. Maka dilakukan upaya modifikasi gen dengan menyisipkan gen ikan flounder (ikan yang hidup di air es), dan hasilnya tomat tahan segala cuaca.

Maka, menjadi ‘masuk akal’ ketika Crichton bercerita tentang penemuan orang utan Sumatra yang bisa bicara dan kakatua afrika yang cerdas, fasih berbicara dan menirukan bunyi-bunyian serta mampu berhitung. Dan cerita tentang ‘seekor simpanse’ bernama Dave. Wujudnya memang simpanse, tetapi tes darah menunjukkan bahwa darah yang mengalir di tubuh Dave adalah darah manusia. Bahkan simpanse itu kemudian bisa berbicara dengan lancar.

Dave adalah ‘buah’ eksperimen Henry Kendall, seorang ahli riset genetika. Henry pernah bekerja di National Institutes of Health (NIH) untuk meneliti masalah autisme. Ia pergi ke fasilitas primata untuk meneliti gen-gen yang bertanggung jawab atas perbedaan kemampuan komunikasi antara manusia dan monyet. Dan ia melakukan eksperimen dengan embrio simpanse dan gen miliknya sendiri. Hasilnya, lahirlah Dave, yang memanggil Henry dengan sebutan ibu (Ha ha ha...).

Diceritakan bahwa riset dengan melibatkan embrio simpanse dan gen manusia adalah riset ilegal. Karenanya hasil riset itu, Dave, juga menjadi produk ilegal. Persoalan menjadi pelik karena antara Henry dan Dave punya semacam ikatan emosional. Keputusan NIH untuk ‘melenyapkan’ Dave tak bisa diterima Henry. Dengan sembunyi-sembunyi Hanry melarikan Dave dari laboratorium NIH.

Sulit untuk membayangkan bagaimana jika eksperimen yang melibatkan gen-gen dari mahluk yang berbeda itu akan terus berlanjut. Bagaimana kita akan menyebut produk transgenik itu? Henry sendiri setengah tidak rela jika Dave disebut sebagai simpanse. Bahkan untuk menutupi identitas Dave yang sesungguhnya, dia mengatakan bahwa Dave adalah bocah laki-laki yang mengalami kelainan bawaan bernama Congenital Hypertrichosis Lanuginosa (bisa dilihat antara lain di http://emedicine.medscape.com/article/1072987-overview). Orang dengan kelainan itu akan mempunyai rupa mirip simpanse.

Jadi, mahluk apa sebenarnya si Dave ini? Juga mahluk jadi-jadian ‘karya’ Dr Moreau itu?

Baca selengkapnya...

[Next] Makna tubuh

Crichton mencuplik pernyataan Steven Weinberg (fisikawan AS, pemenang nobel fisika 1979) di pembuka novelnya: ‘Semakin alam semesta tampak bisa dipahami, semakin pula kelihatan tidak ada maknanya.’ Bagaimana pun cerita seputar rekayasa genetika membawa kita ke gambaran tubuh manusia sebagai benda kasar, seperti halnya mobil atau mesin jahit. Bagian-bagiannya bisa ditukar, diganti, atau diperjual-belikan secara terpisah. Bedanya, mobil dan mesin jahit tidak bisa memperbarui tubuhnya sendiri. Mual?

Cerita berikut ini akan membuatmu lebih mual. Seorang ibu bernama Georgia Bellarmino curiga dengan bekas luka memar di perut anak perempuannya. Sudah beberapa kali Georgia melihat luka semacam itu di perut Jennifer yang berusia enam belas tahun . Si anak bersikukuh itu luka biasa akibat benturan tak sengaja. Nalurinya sebagai ibu membawanya ke kamar anak perempuannya, memeriksa dengan teliti dan, wow, dia menemukan obat-obat fertilitas di plafon kamar mandi anaknya. Gerogia tercengang, apa yang terjadi dengan anaknya. Untuk apa dia menyuntikkan obat penyubur itu ke tubuhnya sendiri? Jawabannya datang dari salah satu teman kerja Georgia. Dia bercerita ,’...gadis-gadis remaja ini menyuntikkan hormon, memompa indung telur mereka, menjual sel telur...dan mendapatkan uang.”

Cerita utama di novel Next juga berkaitan dengan bagian tubuh yang diperjual belikan. Frank Burnett dikaruniai keistimewaan karena dalam tubuhnya terdapat rangkaian sel penghasil zat pemerang kanker, cytokine. Rangkaian sel itu ditemukan oleh dokter di UCLA, kemudian dipatenkan dan dijual lisensinya kepada perusahaan bioteknologi bernama BioGen. Sebagai pemegang lisensi atas rangkaian sel Burnett itu, BioGen merasa berhak memanen rangkaian sel Burnett kapan pun mereka membutuhkan dan menjualnya kepada yang membutuhkan. Bayangkan saja tubuh Burnett tak lebih dari ladang sel yang dimiliki BioGen. Ketika masalah ini dibawa ke pengadilan, Burnett kalah. Dia tidak punya hak atas tubuhnya sendiri di bawah ketentuan bernama eminent domain. Eminent domain mengacu pada hak negara untuk mengambil milik pribadi tanpa izin pemiliknya. Inilah problematika patent gen yang dikecam Crichton.

Lebih jauh Crichton juga tak sependapat dengan anggapan bahwa jaringan tubuh manusia yang sudah terlepas dari tubuh asalnya tidak memiliki ikatan lagi dengan pemilik asalnya. ‘Pendapat yang mengatakan jika kita sudah berpisah dengan jaringan kita, kita tidak lagi memiliki hak apa pun atasnya, adalah tidak masuk akal.’ Dia menekankan bahwa manusia memiliki ikatan emosional dengan bagian tubuh manapun yang dimilikinya. Ikatan itu tidak bisa diabaikan begitu saja. Atau diputus secara paksa. Seakan Crichton ingin menggarisbawahi pemberian makna bagi tubuh manusia sebagai kesatuan utuh yang memiliki jiwa, dan tidak bisa disamakan dengan, katakan, mobil dengan businya atau mesin jahit dengan jarumnya.

Baca selengkapnya...

[Next] Periklanan Genomis

>> Kamis, 02 Juli 2009

Dunia periklanan seolah selalu haus ruang untuk aktualisasi diri. Tak cukup dengan billboard raksasa, lantai supermarket dan badan bus kota juga dijadikan tempat beriklan. Sudah cukup lama pula pintu lift dijadikan media iklan, seakan orang yang sedang menunggu di depan lift adalah mereka yang tengah ‘kosong’ pikirannya, dengan demikian menjadi sasaran empuk kampanye pemasaran.

Bagaimana jika para insan kreatif periklanan bertemu dengan ahli genetika? Hasilnya adalah periklanan genomis: makhluk hidup direkayasa secara genetis sehingga secara ‘alami’ akan menampilkan logo perusahaan di badan makhluk itu. Ada ikan hiu dengan logo Cadburry, belut laut menampakkan Mark& Spencer di permukaan kulitnya yang kehijauan, badak afrika bermerek Land Rover dan tentu saja Jaguar garang yang dipersembahkan oleh Jaguar. Wah...

Tentu saja ini akan membuat para pecinta lingkungan mual dan geram. Bagi kebanyakan orang mungkin ini mimpi buruk. Tapi bagi orang periklanan, dalam novel Next diwakili oleh tokoh bernama Gavin Koss, ini adalah upaya bisnis sekaligus budi daya. Spesies yang ‘disponsori’ perusahaan tertentu akan terlindung dari kepunahan karena perusahaan-perusahaan ini mencadangkan dananya untuk melindungi mereka. Bagi Koss, ini situasi win-win, bagi perusahaan, lingkungan hidup dan tentu saja bagi bidang periklanan.

Apakah ini hanya sekedar wacana? Sayangnya, di novel ini jawabannya adalah tidak. Diam-diam sudah ada yang berupaya ke arah itu. Di Pantai Tortuguero, Costa Rica, dua orang pengamat penyu melihat ada sinar lembayung yang aneh di cangkang beberapa penyu yang mereka amati. Cahaya yang berpendar saat gelap itu seperti menampakkan pola yang khas mirip logo sebuah perusahaan. Nah!

Baca selengkapnya...

[Next] Awalnya (hanya) tanaman transgenik

Ada yang baru menyadari bahwa tahu dan tempe bukan makanan ‘sembarangan’, karena bahan bakunya hampir 100% impor. Mirip mobil-mobil built up. Ketika akhir tahun 2007 harga kedele melonjak tajam seiring harga minyak, kita seakan baru sadar bahwa 70%an kedele adalah produk impor. Dan hampir dipastikan kedele asal AS itu adalah produk transgenik. Banyak juga yang kemudian gelisah menyangkut keamanan mengonsumsi produk transgenik dan olahannya. Apalagi Indonesia sepertinya belum memiliki regulasi yang jelas menyangkut bahan pangan transgenik ini. Memang ada PP No. 20 tahun 2005 yang meng-amanatkan pembentukan Tim Teknis Keamanan Hayati dan Keamanan Pangan. Namun sampai sekarang tim itu belum terbentuk. Bahkan peraturan yang lebih lama yaitu PP No. 69 tahun 1999 mengharuskan produk pangan, termasuk yang transgenik, diberi label. Dengan label ini konsumen bisa menentukan pilihan, apakah mau memilih yang ‘alami’ atau yang transgenik. Sayangnya, sampai sekarang pelabelan itu pun tidak berjalan. Di negara-negara maju, sudah lazim disebutkan di label, bahwa makanan tersebut mengandung persentase tertentu materi transgenik.

Kedele, juga jagung, kapas, kentang, adalah produk yang sudah banyak dipasarkan dalam bentuk produk transgenik, atau lebih sering disebut GMF (Genetically Modified Food). Sering juga disebut, dengan sinis, sebagai frankenfood. Kedele ini dihasilkan melalui ‘pengayaan’ genetis, antara lain dengan menyisipkan bakteri tanah yang mampu menghasilkan pestisida alami. Dengan begitu, hama yang menyerang kedele itu akan mati dengan sendirinya. Uniknya, pengayaan genetis kedele itu banyak ragamnya. Bahkan ada yang ‘dirancang’ khusus untuk dijadikan makanan ternak. Wah, apakah konsumen tahu hal ini dan bisa membedakannya dengan kedele untuk dibuat tahu atau tempe?

Buru-buru menteri pertanian Dr. Anton Apriantono mengatakan bahwa ‘belum ada bukti bahwa kedele transgenik membahayakan kesehatan.’ Jangka pendek memang iya, bagaimana efek jangka panjangnya? Bahkan korban manusia akibat produk transgenik juga pernah ada (kasus suplemen kesehatan transgenik di AS yang memakan korban tewas 37 orang tahun 1989). Ada baiknya didengar juga pendapat mereka yang mewaspadai produk transgenik ini. Mereka umumnya keberatan atas 3 hal: pertama, bahaya terhadap lingkungan : kemungkinan tanaman termutasi ‘menulari’ tanaman lain sangat terbuka, misalnya melalu penyerbukan. Bisakah ini dikendalikan?

Kedua, sudah tentu kemungkinan bahayanya bagi manusia. Dalam kasus kedelai yang disisipi ‘gen pestisida’, bagaimana dampaknya bagi manusia dalam jangka panjang? Apalagi kedele dan produk turunannya termasuk makanan yang tingkat konsumsinya tinggi di Indonesia. Ketiga, secara ekonomis produk transgenik ini membuat ketergantungan negara berkembang kepada negara maju. Produk transgenik dikenal memiliki sifat ‘gene suicide’, ditanam untuk berbuah sekali dan mati. Buahnya pun steril, sehingga petani menjadi tergantung terhadap bibit pasokan negara-negara maju.

(dari berbagai sumber)

Baca selengkapnya...

[Next] Penyembuhan penyakit melalui rekayasa genetika.

>> Rabu, 01 Juli 2009

Harian Kompas tanggal 6 Juni menurunkan laporan penelitian ilmuwan Jepang di bidang rekayasa genetika. Dari penelitian tersebut ‘dihasilkan’ primata transgenik yang diharapkan bisa menjadi terobosan bagi pengembangan terapi mengatasi gangguan syaraf otak. Pemanfaatan teknologi genetika untuk mengatasi penyakit ini sudah lama dikembangkan sejak penemuan teknik kunci dalam genetika molekular pada pertengahan tahun 1970-an. Sejak itu para ahli genetika mencoba menemukan gen-gen yang ‘bertanggung jawab’ atas munculnya penyakit tertentu, khususnya penyakit yang bersifat menurun.

Ada sebuah cerita menarik di novel Crichton ini.

Seorang dokter ahli penyakit dalam tiba-tiba digugat oleh seorang wanita yang tidak dikenalnya. Wanita itu ternyata adalah ‘anak biologis’ sang dokter. Bagaimana mungkin? Rupanya sewaktu kuliah dulu, dokter itu pernah menyumbangkan sperma secara anonim kepada seorang ibu melalui bank sperma. Persoalannya, sperma dokter itu ternyata mengandung gen-gen kecanduan AGS3 (ketergantungan pada heroin). Gara-gara gen sialan itu, wanita ‘anak biologis’ tersebut menjadi seorang pecandu dan hidupnya terlunta-lunta. Dengan segala cara dia berusaha mencari siapa pemilik sprema ‘bermasalah’ itu. Kegigihannya itu membawa hasil dan kini ia menggugat, ‘Kau seharusnya tidak boleh menyumbangkan sperma yang kurang baik... Kau adalah aib bagi profesi kedokteran. Membebani orang lain dengan penyakit genetismu...’

Penemuan gen-gen ‘biang kerok’ itu tidak serta merta membawa harapan bagi seluruh manusia karena para ahli genetika itu kemudian sibuk mematenkan penemuannya. Ini salah satu yang dikecam Crichton sebagaimana dia tulis di catatan penutupnya. Mematenkan gen adalah langkah yang tidak masuk akal. ‘...Memberi hak paten atas gen sama saja dengan memberikan hak paten atas besi dan karbon.’ Problem paten atas gen ini menyeret manusia pada persoalan justru mencemaskan. Crichton memberi contoh pada kasus SARS (Severe Acute Respiratory Syndrome). Penyakit menular ini memiliki tingkat kematian sepuluh persen dan telah menyebar ke puluhan negara seluruh dunia. Namun riset ilmiah untuk melawan penyakit ini justru terhambat gara-gara kekhawatiran menyangkut hak paten gen. Pada waktu itu ada tiga pihak yang secara bersamaan mengajukan paten atas genom SARS.

Catatan nomor satu dari Crichton berbunyi: hentikan membuat hak paten gen.

Baca selengkapnya...

[Next] Bermain dengan Tuhan?

Banyak orang berpendapat bahwa dengan rekayasa genetika manusia seakan-akan sedang bermain dengan Tuhan. Mengenai pendapat ini, Crichton melalui tokohnya Dr. Robert Bellarmino mengatakan:

‘Tuhan adalah pencipta DNA, yang menjadi dasar keanega ragaman hayati planet kita. Mungkin karena itulah beberapa kritikus rekayasa genetika mengatakan kita tidak boleh melakukannya karena ini seperti bermain dengan Tuhan. Beberapa doktrin ekologis juga mempunyai pandangan sama, bahwa alam itu sakral dan tak boleh diganggu gugat. Kepercayaan semacam itu tentunya sesat.’

Selanjutnya:



‘Tuhan memberi manusia tugas dan tanggung jawab untuk memelihara bumi dan semua makhluknya. Kita bukan bermain jadi Tuhan. Kita harus mempertanggung jawabkan pada Tuhan bila kita tidak menjadi penanggung jawab atas apa yang diberikan Tuhan kepada kita dalam segala keagungan dan keaneka ragaman hayatinya.....’

‘Rekayasa genetika menggunakan sarana yang diberikan Pencipta kepada kita untuk melakukan pekerjaan yang baik di planet ini. Tanaman yang tidak dilindungi dimakan hama atau mati beku dan kekeringan. Modifikasi genetis bisa mencegahnya...’

‘Rekayasa genetika hanya langkah lain dalam tradisi yang sudah lama diterima. Tidak menandai penyimpangan radikal dari masa lalu... Kadang-kadang kita mendengar opini bahwa kkta tidak seharusnya mengubah DNA, titik. Tapi, mengapa tidak? DNA tidak permanen. Seiring waktu DNA berubah....’

Namun berkaitan dengan penerapan rekayasa genetika pada manusia, Bellarmino tidak bisa menyembunyikan kegundahannya :

‘...Jadi, kita memodifikasi DNA atau tidak? Ini pekerjaan Tuhan atau kesombongan manusia? Keputusan-keputusan tersebut tak boleh dianggap enteng. Begitu juga topik yang paling sensitif, penggunaan sel benih dan embrio....Saya sendiri tidak punya jawaban...Saya mengakui hati saya gundah.’

Di bagian lain, dalam sebuah tanya jawab dengan siswa sekolah lanjutan, Bellarmino lagi-lagi harus menghadapi pertanyaan: ‘Bukankah kloning berarti bermain jadi Tuhan?’ Bellarmino menjawab:’Secara pribadi saya tidak mendefinisikan seperti itu. Kalau Tuhan menciptakan manusia dan menciptakan seisi dunia lainnya, sudah jelas Tuhan membuat alat rekayasa genetika....Itu karya Tuhan bukan manusia.’

Sampai di sini tentu perdebatan akan mengarah ke ranah pemikiran spekulatif. Ahli-ahli di luar bidang rekayasa genetika mestinya dilibatkan.

Baca selengkapnya...

Pengikut

  © Blogger template Palm by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP