Sejarah Dan Lain-lain Dalam Sebotol Acar

>> Minggu, 29 November 2009

Di manakah seharusnya menempatkan sebuah fiksi di antara sekumpulan realitas? Apa yang terjadi saat sejumlah kejadian (yang dianggap) nyata diawetkan di atas selembar kertas koran atau dalam buku-buku sejarah? Bayangkan andai kemudian di atasnya tertumpuk potongan/kliping cerita pendek atau buku novel yang telah kehilangan sampul. Bagaimana selanjutnya memisahkan fiksi dan yang non-fiksi dari tumpukan itu? Atau meminjam istilah Sapardi, yang mana berita yang mana cerita?

Pertanyaan itu tidak penting barangkali. Bahkan untuk novel karya Salman Rushdie, Midnight’s Children (PT Serambi Ilmu Semesta, Agustus 2009, 689 halaman), yang diakui penulisnya, begitu dekat dengan perjalanan hidupnya, dan sejarah India sebagai latarbelakang. “Di barat orang cenderung membaca Midnight’s Children sebagai novel fantasi, sedangkan di India orang memandangnya novel realis, hampir menyerupai sejarah.” Ini tentu disadari sepenuhnya oleh Rushdie, misalnya saat ia memasukkan nama-nama tokoh di dunia nyata –baik di kehidupan pribadi maupun tokoh nasional-- ke dalam novelnya, seakan tak ada nama lain yang lebih pantas.

Tak hanya itu. Simaklah bagaimana Rushdie membuka novelnya dengan tarian indah di ruang sempit antara berita dan cerita,” Aku dilahirkan di Bombay...pada suatu masa. Tidak, itu tidak cukup, kita tidak bisa menghindari tanggal: Aku lahir di Rumah perawatan Dokter Narlikar pada 15 Agustus 1947; Dan jam berapa? Jam juga penting. Baiklah kalau begitu: pada malam hari. Tidak, ini perlu ditambahkan... Persis saat tengah malam, sebenarnya. Kedua jarum jam merapatkan telapak tangannya dalam sambutan hormat saat aku datang.” Keseluruhan novel itu sendiri adalah penuturan tokoh Saleem Sinai (sulit untuk tidak menisbahkannya sebagai Rushdie) dengan gaya setengah mendongeng kepada sang "penyimak", Padma (baiklah, di kehidupan nyata, salah satu istri Rushdie juga bernama Padma, sekalipun mereka menikah jauh setelah novel itu ditulis), sebagaimana Syahrazad mendongeng untuk Pangeran Syahriar di Kisah Seribu Satu Malam.

Maka beginilah inti dari ‘dongeng’ Saleem kepada Padma. Tanggal 15 Agustus 1947 baru mulai bergulir ketika dua orang bayi lahir di tempat yang sama, di waktu tengah malam yang sama. Seorang perawat yang sedang dirundung masalah secara sengaja menukar label nama kedua bayi tersebut, “memberi bayi yang miskin kehidupan istimewa dan menghukum anak keluarga kaya dengan akordion dan kemiskinan...” Tepat pada waktu yang sama juga, Jawaharlal Nehru memproklamirkan kemerdekaan India dari Britania Raya. Dua orang bayi lahir dan menjadi cermin bagi kutub-kutub sebuah negeri “yang semacam mimpi”, kaya-miskin, hindu-islam, sipil-militer, pusat-pinggiran, barat-timur, dst. Ketegangan antara kutub-kutub itu mewujud dalam kehidupan Saleem (dan alter egonya, Shiva) karena anak-anak yang lahir tepat tengah malam bersamaan dengan kelahiran sebuah negara merdeka “adalah juga anak-anak waktu: berayahkan sejarah..” Lewat penuturan tokoh Saleem, satu diantara ratusan anak-anak tengah malam, potret perjalanan India -- “sebuah fiksi kolektif yang di dalamnya segala sesuatu adalah mungkin”, ditampilkan. Dan pembaca seperti diajak melihat adegan-adegan yang dihasilkan dari proses zoom in terhadap narasi besar sejarah.

Novel ini dibagi menjadi tiga bagian. Bagian pertama berisi gambaran leluhur Saleem hingga saat-saat menjelang kelahirannya. Bagian kedua, bagian terbesar dari novel ini, menceritakan kelahiran Saleem (dan India), masa sekolahnya (euforia India muda, pemilu, rencana pembangunan lima tahun), persaingannya dengan Shiva di Midnight Children Conference (pertikaian India-Pakistan), hijrah ke Pakistan (kekalahan India dari China di Himalaya dan gencatan senjata), kematian kakeknya, Aadam Aziz (kematian ayah India, Jawaharlal Nehru), hingga musnahnya keluarga Saleem akibat perang (akhir perang India-Pakistan). Bagian ketiga mengisahkah kembalinya Saleem ke India, di saat Partai Kongres Baru dan Indira Gandhi berkuasa, sampai pertemuannya dengan perawat -- yang pernah menukar ‘nasibnya’ dengan Shiva, dan Padma, kepada siapa biografi ini dituturkan oleh Saleem.

Di bagian akhir novel ini pula, Saleem menuturkan bagaimana sejarah yang diawetkan serupa acar dalam botol-botol itu – tiga puluh jenis acar mewakili tiga puluh bab kisah autobiografis – bisa saja tidak persis seperti itu. “Terkadang, dalam sejarah versi acar, ...aku harus merevisi dan merevisi, meningkatkan dan memperbaikinya, tetapi tidak ada waktu maupun energi. Aku terpaksa menawarkan kalimat keras kepala ini saja: Itulah yang terjadi karena memang demikianlah yang terjadi.” Dengan kata lain apa yang ada dalam botol-botol acar itu bisa saja sejarah, dan bisa dongeng, bisa juga campuran tertentu dari keduanya. Lalu bagian mana yang nyata dan bagian mana yang bukan?

Pertanyaan itu tidak penting lagi barangkali, sungguh pun ada beberapa pihak yang pernah terlanjur gerah sesaat setelah menyimaknya. Indira Gandhi, semasih berkuasa tahun 1984, pernah melayangkan keberatan atas kalimat di bab 28 novel ini yang dinilai sebagai fitnah. Masalah ini memang tidak sampai meruncing ke pengadilan, dan kalimat kontoversial itu akhirnya dicabut dari novel ini. Terlepas dari itu, novel ini memang lebih mudah dinikmati sebagai catatan subyektif seorang saksi sejarah tanpa perlu ada keharusan untuk melakukan alignment dengan catatan sejarah yang dianggap resmi. Dengan begitu akan terbuka semua alternatif pemaknaan atas narasi yang ditawarkan oleh Rushdie. Juga kekayaan literer yang mengalirkan berbagai sugesti (sinisme dalam kritik sosial, misalnya) sesuai bumbu yang ditambahkan Rushdie ke dalamnya. Dalam istilah Rushdie, semua itu adalah acar, tak lebih dan tak kurang.

*****
Midnight’s Children adalah salah satu karya terpenting Rushdie, kalau bukan yang terbaik. Dinobatkan sebagai The Booker of Bookers Prize Winner tahun 1993 dan The Best of The Booker Prize Winners tahun 2008, penghargaan khusus untuk sastra berbahasa Inggris di seluruh Inggris Raya, menunjukkan bahwa karya ini bisa mengatasi proses pelapukan oleh zaman, setidaknya sampai lebih dari 25 tahun sejak pertama kali diterbitkan. Cara bertutur Rushdie yang unik, ‘percaya diri’, dan segar bisa dinikmati pembaca dengan baik berkat penerjemahan yang bagus oleh Yuliani Liputo. Andai saja versi terjemahan ini dicetak dengan material yang lebih bagus tentu akan lebih representatif untuk sebuah masterpiece.

Baca selengkapnya...

Pengikut

  © Blogger template Palm by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP