Teh Perdamaian Mortenson

>> Minggu, 12 April 2009

Mana sebenarnya yang lebih penting: melakukan sesuatu yang besar atau berbuat sesuatu yang berarti? Mana yang lebih luar biasa: menaklukkan puncak tertinggi pegunungan Karakoram atau mendirikan sekolah untuk anak-anak miskin? Beberapa waktu yang lalu seorang sahabat menghidangkan Three Cups of Tea (penerbit: Hikmah, Januari 2009), sebuah buku yang sangat inspiratif tentang perjuangan Greg Mortenson, seorang pendaki gunung ternama, yang membangun satu demi satu sekolah di wilayah paling ekstrem di bumi ini: pegunungan yang sulit dijangkau dan diliputi peperangan demi peperangan.

Tahun 1993, Greg Mortenson terpaksa harus berdamai dengan kegagalannya menaklukkan puncak K2, titik tertinggi di jajaran pegunungan Karakoram, Pakistan. Namun kegagalan itu memberinya berkah tersembunyi, perkenalan dengan penduduk desa Korphe dan Haji Ali sang tetua desa, yang mengubah garis hidupnya dari seorang pendaki gunung menjadi pekerja kemanusiaan selama bertahun-tahun kemudian.

Jangan membayangkan bahwa Mortenson adalah seorang kaya raya, atau setidaknya punya akses ke para hartawan. Di buku ini kita bisa menyimak perjuangannya mulai dari nol besar, menyisihkan setiap dolar penghasilannya, mengorbankan benda-benda kesayangannya, ‘mengamen’ melalui presentasi yang kadang hanya dihadiri segelintir orang dan ‘mengorbankan harga diri’ di depan orang yang semula diharapkan bisa menjadi donatur.

Namun tetap saja bagian yang paling menyentuh adalah ketika niat baik Mortenson berkembang biak, bertemu dengan ketulusan (dan kepolosan) orang-orang yang kemudian mendukungnya dengan sepenuh hati. Mereka terutama adalah para tetua desa dan pemuka agama di wilayah terpencil Pakistan dan Afghanistan. Dari situlah Mortenson semakin yakin bahwa, di tengah perang absurd melawan terorisme pasca 9/11, perdamaian bisa diwujudkan tidak dengan bom tetapi dengan buku, dengan pendidikan.

Harus diakui bahwa David Oliver Relin, penulis buku ini, berhasil mendokumentasikan perjuangan Mortenson dengan sangat bagus. Kesaksian tokoh-tokoh kunci yang hadir di dalam ‘orbit Mortenson’ diramu sangat memikat, hidup, dengan kata-kata terpilih yang memesona. Buku ini ibarat secangkir teh yang nikmat dan berharga, bisa diresapi kapan saja, bahkan jika harus mengorbankan sebagaian waktu istirahat kita.

Di akhir bukunya, Mortenson mengungkap motivasinya melakukan semua upaya ini: “...ketika aku menatap mata anak-anak di Pakistan dan Afghanistan, aku melihat mata anak-anakku sendiri yang penuh ketakjuban – dan berharap bahwa kita semua melakukan bagian masing-masing guna mewariskan perdamaian pada mereka dan bukannya lingkaran tanpa akhir dari kekerasan, perang, terorisme, rasisme, eksploitasi, dan prasangka yang masih belum berhasil kita taklukkan.” (p. 622)

(Seorang teman menuliskan review-nya begini: “pesan terdekat yang terbetik dalam benakku...: di bidang pengabdian apa pun kau menemukan dirimu hari ini, lakukan itu dengan tulus dan sungguh-sungguh. jejak yang kau buat akan tak kalah berarti dalam skalanya sendiri dengan apa yang dibuat Dr Greg di puncak-puncak dataran tinggi Baltistan sana.”)

Baca selengkapnya...

Menikmati Atonement

>> Rabu, 08 April 2009


Setelah terpapar sangat serius oleh pemandangan karya instalasi para caleg yang menyemak di sepanjang jalan, mata ini rasanya butuh semacam detoksifikasi visual. Memandang matahari rebah di horison pantai panjang bengkulu, sedikit banyak mengobati kejenuhan indera penglihatan ini. Tapi jamuan lezat untuk mata yang sesungguhnya aku nikmati malam harinya ketika menonton (kembali) sebuah film berjudul atonement.

Film yang diangkat dari novel berjudul sama karya Ian McEwan ini bercerita tentang imajinasi penebusan dosa briony tallis, seorang penulis novel ternama yang di akhir perjalanan kreatifnya menulis novel berdasarkan kisah nyata hidupnya sendiri. Film diawali dengan penggambaran kisah cinta terpendam antara cecilia, kakak briony, dengan kekasihnya, robbie, yang tak bisa sepenuhnya dipahami oleh briony kecil saat berusia 13 tahun. Kepolosan, keinginan diperhatikan dan kecemburuan usia belia membangun persepsi bias di benak briony tentang robbie, yang tak lain adalah anak tukang kebun keluarga briony. Hingga kesalahan fatal itu terjadi: briony memberikan kesaksian palsu atas kejahatan yang tidak dilakukan oleh robbie, dan memaksa sang kakak harus terpisah dari kekasihnya itu.

Bertahun-tahun robbie harus menjalani hukuman penjara, sampai dia memutuskan untuk memilih masuk angkatan darat inggris sebelum masa hukumannya berakhir. Cecilia sempat bertemu sang kekasih beberapa saat sebelum perang merenggut robbie dan memisahkan mereka untuk selama-lamanya. Di akhir film briony sang penulis novel mengakui kecerobohan masa kecilnya yang tak (sempat) termaafkan karena ajal telah terlebih dahulu menjemput baik cecilia maupun robbie. Untuk ‘menebus’ kesalahannya itu, briony ‘membelokkan’ bagian akhir novelnya dengan memberikan kesempatan kepada cecilia dan robbie untuk menikmati kebahagiaan. Satu hal yang tak mereka dapatkan di dunia nyata.

Film ini sangat menarik bukan hanya karena ceritanya yang memikat (joe wright, sutradara, lumayan berhasil ‘mengantarkan’ cerita yang konon cukup rumit ini) tetapi juga karena suguhan karya sinematografinya yang memukau (mendapat nominasi oscar ke 80 untuk pencapaian sinematografi). Sejak film dibuka, penonton sudah dimanjakan oleh pemandangan sebuah mansion awal abad 20 yang asri berikut penghuninya dalam balutan kostum yang didominasi warna coklat tanah, hijau tunas, abu-abu dan biru muda. Gambar-gambar indah dengan saturasi terjaga tetap tersaji sekalipun seting telah bergeser ke arena pertempuran, dan inggris pasca perang tahun 1940. Tampaknya, seamus mcgarvey (sinematography) dan sarah greenwood (art director) berupaya maksimal menampilkan keindahan bahasa gambar untuk mengimbangi narasi mcewan yang diakui sang sutradara sangat brilian. Hasilnya? Lumayan sedap dinikmati sembari meneduhkan mata di malam yang mulai larut.

(maaf, ada yang terlupa. pemeran cecilia di film ini adalah keira knightley…)

Baca selengkapnya...

Pengikut

  © Blogger template Palm by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP