Menikmati Atonement

>> Rabu, 08 April 2009


Setelah terpapar sangat serius oleh pemandangan karya instalasi para caleg yang menyemak di sepanjang jalan, mata ini rasanya butuh semacam detoksifikasi visual. Memandang matahari rebah di horison pantai panjang bengkulu, sedikit banyak mengobati kejenuhan indera penglihatan ini. Tapi jamuan lezat untuk mata yang sesungguhnya aku nikmati malam harinya ketika menonton (kembali) sebuah film berjudul atonement.

Film yang diangkat dari novel berjudul sama karya Ian McEwan ini bercerita tentang imajinasi penebusan dosa briony tallis, seorang penulis novel ternama yang di akhir perjalanan kreatifnya menulis novel berdasarkan kisah nyata hidupnya sendiri. Film diawali dengan penggambaran kisah cinta terpendam antara cecilia, kakak briony, dengan kekasihnya, robbie, yang tak bisa sepenuhnya dipahami oleh briony kecil saat berusia 13 tahun. Kepolosan, keinginan diperhatikan dan kecemburuan usia belia membangun persepsi bias di benak briony tentang robbie, yang tak lain adalah anak tukang kebun keluarga briony. Hingga kesalahan fatal itu terjadi: briony memberikan kesaksian palsu atas kejahatan yang tidak dilakukan oleh robbie, dan memaksa sang kakak harus terpisah dari kekasihnya itu.

Bertahun-tahun robbie harus menjalani hukuman penjara, sampai dia memutuskan untuk memilih masuk angkatan darat inggris sebelum masa hukumannya berakhir. Cecilia sempat bertemu sang kekasih beberapa saat sebelum perang merenggut robbie dan memisahkan mereka untuk selama-lamanya. Di akhir film briony sang penulis novel mengakui kecerobohan masa kecilnya yang tak (sempat) termaafkan karena ajal telah terlebih dahulu menjemput baik cecilia maupun robbie. Untuk ‘menebus’ kesalahannya itu, briony ‘membelokkan’ bagian akhir novelnya dengan memberikan kesempatan kepada cecilia dan robbie untuk menikmati kebahagiaan. Satu hal yang tak mereka dapatkan di dunia nyata.

Film ini sangat menarik bukan hanya karena ceritanya yang memikat (joe wright, sutradara, lumayan berhasil ‘mengantarkan’ cerita yang konon cukup rumit ini) tetapi juga karena suguhan karya sinematografinya yang memukau (mendapat nominasi oscar ke 80 untuk pencapaian sinematografi). Sejak film dibuka, penonton sudah dimanjakan oleh pemandangan sebuah mansion awal abad 20 yang asri berikut penghuninya dalam balutan kostum yang didominasi warna coklat tanah, hijau tunas, abu-abu dan biru muda. Gambar-gambar indah dengan saturasi terjaga tetap tersaji sekalipun seting telah bergeser ke arena pertempuran, dan inggris pasca perang tahun 1940. Tampaknya, seamus mcgarvey (sinematography) dan sarah greenwood (art director) berupaya maksimal menampilkan keindahan bahasa gambar untuk mengimbangi narasi mcewan yang diakui sang sutradara sangat brilian. Hasilnya? Lumayan sedap dinikmati sembari meneduhkan mata di malam yang mulai larut.

(maaf, ada yang terlupa. pemeran cecilia di film ini adalah keira knightley…)

0 komentar:

Pengikut

  © Blogger template Palm by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP