Sang Pemenang Pulang Bertualang

>> Kamis, 31 Desember 2009

Barangkali benar, musuh terbesar manusia saat ini adalah televisi. Baiklah, berdiri sejajar di sebelahnya, sekutu terdekatnya, media cetak. Keduanya berperan besar dalam merekonstruksi realitas berdasar keinginan segelintir pengkhotbah fetishisme, dan menampilkan hasilnya dalam kemasan memikat, mulus, gemerlap. Masuk akal bila bungkus menjadi segalanya, ia bahkan lebih penting daripada isi, itu pun jika isi masih diperlukan.

Sayangnya, di mana-mana bungkus selalu dimaksudkan untuk menutupi, mengelabuhi atau menggoda. Kitsch, menurut istilah Kundera. Karena ia tidak ditujukan untuk merepresentasikan isi. Tapi ia bahkan lebih gaduh. Karena itulah ia menjadi menarik ketika ditampilkan di layar televisi atau direproduksi besar-besaran di media cetak. Jutaan orang dibuat terkesima, terbuai, dan secara tak sadar berusaha menjadi bagian dari hiruk pikuk itu. Dalam konteks budaya ‘kemasan’ inilah novel Paulo Coelho, The Winner Stands Alone (Gramedia Pustaka Utama, Juli 2009, 468 halaman) menjadi menarik untuk disimak.

Mengambil setting kota kecil Cannes saat berlangsung festival film tahunan, Coelho mempertemukan tokoh-tokohnya, tidak hanya para pengusaha dan seniman film, tetapi juga – dalam novel ini – orang-orang yang rela mengorbankan apa pun, bersaing dengan sesamanya, untuk bisa menjadi bagian dari sirkus besar itu. Ada Gabriel, mantan pemain drama sekolah yang berambisi besar menjadi seorang aktris film. Maureen, sineas pemula yang sudah mempertaruhkan segalanya untuk membuat sebuah film yang akan ditawarkan ke seorang distributor kenamaan. Dan Jasmine, model kulit hitam yang mulai naik daun dan menjadi incaran desainer kelas dunia. Coelho menguliti sisi-sisi kehidupan tokoh-tokoh itu dengan menarik untuk menegaskan betapa kemegahan yang ditampilkan selama dua belas hari festival itu tak lebih kulit terluar yang menutupi kepalsuan di dalamnya.

Di tengah ambisi para tokoh yang berkecamuk itu, Coelho menyatukannya melalui tokoh Igor, seorang pengusaha telekomunikasi Rusia, yang datang ke Cannes dengan agenda tersendiri: mendapatkan kembali cinta Ewa, mantan istri yang kini menjadi pasangan hidup Hamid, seorang couturier ternama. Cara yang ditempuh Igor memang mengerikan: ia melakukan pembunuhan di tengah hingar bingar festival dengan harapan akan menarik perhatian Ewa. ‘Aku akan menghancurkan dunia sampai istriku sadar betapa berartinya dia bagiku dan bahwa aku siap mengambil risiko apa pun untuk mendapatkannya kembali.’ Pengusaha kaya Rusia yang pernah mengenyam ‘pendidikan’ medan perang Afghanistan itu tanpa kesulitan mengakhiri hidup para korbannya dengan berbagai cara yang mengejutkan dan sangat rapi. Satu per satu korban jatuh di tangan Igor, satu per satu dunia ia hancurkan.

Ini ironi lain yang ditampilkan Coelho melalui novelnya: di tengah arus budaya kemasan, serba permukaan, dangkal, kematian pun tak lebih dari persoalan yang juga dangkal dan banal. Kasus pembunuhan sekedar bumbu pedas berbentuk breaking news di sela-sela liputan perhelatan serba glamor. Kematian, apalagi dengan cara yang ‘tak wajar’ adalah komoditas menggiurkan bagi media, terutama jika itu menyangkut seorang tokoh publik. Bahkan seorang inspektur polisi pun berkepentingan menjadikan pengusutan kasus ini untuk popularitas pribadinya. Motif dan ritual pembunuhan yang dilakukan Igor pun tak kalah absurd: selepas satu pembunuhan ia lakukan, ia mengirimkan SMS ke Ewa, memberitahukan bahwa ‘aku sudah menghancurkan satu dunia untukmu...’ Seremeh itu!

Rentetan pembunuhan yang dilakukan Igor ini mengingatkan pada kasus yang sama yang dilakukan Zodiac. Hingga kini kasus Zodiac dianggap tidak terpecahkan (kisahnya diangkat ke layar film tahun 2007 oleh sutradara David Fincher). Sama halnya dengan Igor, Zodiac juga melakukan pembunuhan nyaris tanpa ciri khusus sebagaimana umumnya kasus pembunuhan berantai. Satu hal yang selalu dilakukan Zodiac sebelum (atau sesudah) pembunuhan adalah menulis pesan ke media massa. Ia mengancam agar pesan itu mendapat tempat terhormat di koran atau sebaliknya ia akan melakukan pembunuhan berikutnya. Sungguh miris bila mengetahui bahwa pembunuh tengik itu melakukan kekejian semata karena ingin menjadi bagian dari berita di koran.

Hasrat untuk ‘mengapung’ di permukaan dan terlihat oleh media menjadi perhatian Coelho. Melalui Gabriela, tokoh yang mengambil porsi cukup banyak di novel ini dan ‘dibiarkan hidup’ hingga akhir, Coelho menampilkan galau orang-orang yang dalam realitas bentukan media dikukuhkan sebagai orang sukses, dianggap pemenang dalam kancah persaingan. Dalam sebuah ‘dialog pengukuhan’ Gabriela sebagai pemenang audisi untuk sebuah peran di film, sutradara film itu memberikan sedikit penegasan: ’Jadi...kau akan hidup bak jutawan dan bisa berlagak bagai bintang besar, tapi ingat satu hal: tidak ada yang nyata...’ Ia juga menggarisbawahi konsekuensi penandatanganan sebuah kontrak ‘ sebelum kau membubuhkan tandatangan, dunia ini milikmu sendiri dan kau bisa berbuat sesuka hati, tapi begitu kau menandatangani kontrak, kau harus melepaskan semuanya.’ Bukan hal yang baru bahwa sejak saat itu kehidupan seorang ‘Gabriela’ tergantung pada citra yang kelak akan didiktekan untuknya dan menjadi selubung cantik saat berada di depan publik.

Ini memang bukan cerita dengan logika sebuah novel thriller atau detektif. Gaya bertutur Coelho yang ‘adem’, kadang seperti mengajak untuk merenung (mengingatkan pada novel Sang Alkemis), dan masuk ke kedalaman pikiran seorang Igor, satu-satunya tokoh yang punya cara sendiri dalam melihat fenomena Cannes. Makanya, tak mengejutkan ketika Igor ‘diselamatkan’ dari absurditas pembunuhan acaknya (justru) melalui kemunculan bayangan gadis beralis hitam yang menjadi korban pertamanya. Sosok yang bahkan secara fisik tak nyata ini mampu mengubah orientasi pencarian Igor di belantara Cannes.

Dari sini Coelho seakan ingin mengatakan bahwa sang pemenang mendapatkan ‘hadiahnya’ justru ketika ia memutuskan untuk melepaskan ‘buruannya’. Rela menukar hasrat fetisnya demi sebuah kedalaman. ‘Jiwa kita menderita, sangat menderita, saat kita memaksanya untuk menjalani kehidupan yang dangkal. Jiwa kita menyukai segala sesuatu yang indah dan dalam.’

Baca selengkapnya...

Pengikut

  © Blogger template Palm by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP