La Vie en Rose

>> Minggu, 24 Mei 2009

Jazz, musik yang nikmat dan eksotis itu, konon muncul dari situasi yang sama sekali tidak nikmat. Bahkan ia lahir lewat getir, kelam dan kesepian*). Maka ketika minggu pagi aku dengar Louis Armstrong menyanyikan La Vie en Rose di sela suara trumpetnya, ingatanku melayang pada Edith Piaf, penyanyi Perancis yang menulis dan memopulerkan lagu itu pada tahun 1946. La Vie en Rose secara harfiah berarti ‘hidup (yang indah) dalam warna mawar’, mungkin kurang tepat untuk menggambarkan kehidupan penulisnya sendiri.

Edith Giovanna Gassion lahir dari orang tua yang berpisah. Ibunya penyanyi jalanan yang lelah dan putus asa, sementara ayahnya pemain akrobat di sirkus keliling. Dibesarkan oleh ayah yang bangkrut dan harus berpindah-pindah tempat, pernah dititipkan di rumah bordil selama beberapa tahun, membuat hidup Edith kecil hingga remaja bergantung pada jalanan dan receh yang didapat setiap kali mengamen. Sampai dia bertemu Louis Laplee yang bersedia mempekerjakan di kelab malam miliknya, memberi julukan ‘piaf’ (yang berarti burung pipit), dan yang terpenting, menyadarkan Edith pada anugerah suara yang dimilikinya. Itu pula yang menarik Raymond Asso, seorang penulis lagu dan pemandu bakat, untuk memoles Edith hingga menjadi penyanyi teater terkenal.

Namun tak serta merta hidup Edith menjadi seindah bunga mawar. Di film berjudul La Vie en Rose yang dirilis tahun 2007 lalu, diperlihatkan bagaimana Edith tak bisa lepas dari alkohol dan obat penghilang nyeri untuk menopang penampilannya yang tak kenal lelah dari satu pentas ke pentas berikutnya. Sering kali dia ambruk ketika menyanyi dan harus digotong keluar pentas. ‘Bukan hidup jika tak mengandung bahaya,’ begitu alasan Edith, dan manajemennya tak bisa berbuat banyak untuk mencegahnya kembali naik ke atas pentas. Maka, dengan langkah tertatih Edith kembali menyeret tubuhnya yang lemah ke panggung, menemui para pencintanya yang telah siap dengan puluhan tangkai kembang mawar.

Edith Piaf meninggal pada Oktober 1963 dengan kanker liver dan tubuh yang jauh lebih tua dari usianya yang belum setengah abad. Namun dia tidak pernah menyesalinya. Ratusan lagu, puluhan album, buku dan film menjadi saksi kesungguhan Edith menjalani peran hidupnya. Film La Vie en Rose yang mengantarkan Marion Cottilard sebagai pemeran Edith meraih Oscar untuk aktris terbaik tahun 2007, ditutup dengan penampilan terakhir Edith di Olympia Hall membawakan lagu ‘Non je ne regrette rien’. Lagu ini mungkin akrab di telinga kita dalam versi english, ‘No Regrets’, yang bagi Edith menggambarkan kehidupannya sendiri. Konon Edith mendedikasikan rekaman lagu ini untuk tentara Perancis yang waktu itu sedang berperang.

Tak ada yang perlu disesali bila hidup telah dibaktikan begitu rupa. Memang berat, getir dan kadang terasa kelam tak berpengharapan. Tapi di sana selalu tersimpan kesempatan untuk menjadi berarti. Sebagaimana suara parau Louis Armstrong pagi itu, sekali pun kadang terdengar seperti rintihan, telah mewartakan padaku pengertian sederhana lewat liriknya: ‘give your heart and soul.., and life will always be, La vie en rose...’

(Have a great day, get your own La Vie en Rose..)



*) Tentang jazz ini, aku mengetahuinya lewat penuturan Seno Gumira Ajidarma dalam Jazz, Parfum dan Insiden. Di bagian ‘Apakah Hidup Seperti Jazz’ dia menulis begini: ’Ketika penulis F. Scott Fitzgerald menyatakan datangnya abad jazz pada tahun ’20-an, ia maksudkan kata jazz untuk menjabarkan suatu sikap. Anda tidak usah tahu musiknya untuk memahami rasanya.....Itulah uniknya jazz bagiku. Ia seperti hiburan tapi hiburan yang pahit, sendu, mengungkit-ungkit rasa duka. Selalu ada luka dalam jazz, selalu ada keperihan...’ Namun di bagian lain, SGA juga menulis begini: ‘musik jazz, tentu saja, menyadarkan kita bahwa segala sesuatu tidak harus terikat kepada cara-cara tertentu. Begitu banyak cara lain, begitu banyak variasi. Kalau kita mendengarkan jazz...kita akan tahu betapa dahsyatnya musik sebagai pemantik imajinasi..’

Baca selengkapnya...

Gado-gado rectoverso

>> Jumat, 22 Mei 2009

Memang cinta itu ada berapa macam?
(rectoverso, p.56)


Ya, ada berapa macam cinta yang pernah kamu rasakan? Cinta dalam pengertiannya yang paling sederhana sebagai hubungan batin antara seorang pria dan wanita lazimnya sudah mulai hadir di masa-masa beliamu. Barangkali hingga kamu menemukan pasangan hidupmu kini kamu merasa cukup dengan satu jenis cinta, tak ada salahnya sejenak kamu menengok belasan jenis (cerita) cinta dalam buku Rectoverso, tulisan Dewi “dee” Lestari. Tak perlu menjadi terlalu serius dengan buku ini. Matikan laptopmu, ambil secangkir cappuccino dan nikmati saja.

Buku ini diawali dengan sebuah cerita pendek berjudul curhat buat sahabat. Mungkin disengaja cerita ini ditempatkan di awal, karena sepuluh cerpen berikutnya seperti curhat-curhat yang acapkali kita dengar dari sahabat yang sedang merasakan haru biru asmara. Tapi, tunggu dulu. Dee punya kepiawaian yang mengagumkan untuk menuliskan berbagai ‘curhat’ itu, apakah itu cinta terpendam, cinta tak bersambut, penantian, kejenuhan, juga kekaguman. Dee juga menghadirkan kisah cinta yang bukan monopoli para remaja: cinta seorang ibu (dalam cerpen tidur) dan cinta rahasia yang hadir kala usia tak terbilang muda (back to heaven’s light). Penuturan Dee yang liris memikat, mungkin akan membuatmu lupa pada cappuccinomu yang berangsur dingin tak tersentuh.

Berbeda dengan buku-buku sebelumnya seperti trilogi supernova, atau filosofi kopi, yang lebih serius, rectoverso ini terasa lebih intim, feminin dan segar. Apakah itu karena di setiap cerita pendek, dee menyisipkan puisi (syair lagu) yang berisi senada dengan ceritanya? Atau karena ada gambar/ilustrasi yang menyelip di bagian-bagian yang pas di tengah cerita? Bisa jadi. Aku sendiri punya kebiasaan membuat perumpamaan mengenai buku yang kubaca dengan makanan. Rectoverso ini mirip gado-gado yang mengundang selera. Bukan lantaran covernya yang hijau, tapi karena ramuan berbagai kesegaran dan bumbu di dalamnya, yang acapkali muncul seronok menohok lidah.

Tak berlebihan jika kamu mulai ‘menuliskan’ kisah cintamu sendiri setelah membaca buku ini. Tak perlu menjadi sebuah buku, tak perlu berbentuk cakram berisi lagu. Cukup melalui sebuah perghargaan atas semua bentuk cinta yang sekarang sedang ada.

Baca selengkapnya...

Para gajah, mari tonton Horton

>> Minggu, 17 Mei 2009


Lelah dengan berbagai pemberitaan dari panggung politik di luar sana? Mari kita masuk ke dalam rumah, duduk tenang dan simaklah film adaptasi karya Dr Seuss berjudul Horton Hears a Who. Film animasi komputer 3D garapan Blue Sky Studio ini (sebelumnya menggarap Ice Age-2002) tak kalah canggih dalam menghidupkan tokoh maupun suasana dibanding film-film garapan Dreamworks Animation (Shrek-2001) ataupun Pixar Studio (Finding Nemo-2003). Film yang dirilis awal tahun 2008 ini tiba-tiba saja disodorkan oleh seorang sahabat hari jumat sore, tanggal 15 Mei kemarin.

Dan kisah ini memang dimulai pada tanggal 15 Mei, saat Horton, seekor gajah yang baik hati, sedang menikmati cuaca cerah di hutan Nool. Entah bagaimana (mungkin karena telinganya yang ekstra lebar) Horton mendengar suara teriakan dari ‘sebutir debu’ yang melayang di depan matanya. Teriakan yang dipahami Horton sebagai panggilan minta tolong itu menggerakkan hatinya untuk mengikuti kemana debu itu diterbangkan angin. Sebutir debu yang berteriak minta tolong? Bagi binatang lain tentu saja pemahaman Horton ini sangat aneh, bahkan gila. Di mata pemimpin komunitas hewan di hutan Nool, sang kangguru yang kebetulan juga memiliki telinga berlebih, ‘sesuatu yang tidak bisa dilihat, didengar atau dirasa berarti tidak nyata.’ Karenanya, dia menganggap Horton telah melakukan kebohongan kepada publik.

Sebenarnya, dalam debu itu memang ada kehidupan makhluk mikroskopis, sebuah komunitas makhluk Who yang mendiami Who-ville. Mc Dodd, walikota Who-ville, awalnya tidak percaya bahwa mereka hanyalah makhluk imut yang mendiami sebutir debu. Debu itu semula hinggap tenang di atas sekuntum bunga, sampai sebuah kejadian alam menerbangkannya, dan mempertemukannya dengan Horton. Sepanjang film ini kita menyaksikan bagaimana Horton berjuang mati-matian mengembalikan debu Who-ville itu ke tempat yang aman. Bukan perjuangan yang mudah di tengah ‘masyarakat yang penuh prasangka dan tidak peka’. Bahkan pada puncaknya, Horton harus diadili di muka umum, dipenjara dan menyaksikan debu itu terancam masuk ke minyak panas. Untunglah teriakan berjamaah seluruh penduduk Who-ville akhirnya terdengar oleh salah satu binatang selain Horton, yaitu anak sang kangguru. Maka selamatlah debu Who-ville. Warga hutan Nool dan makhluk Who merayakannya bersama, diiringi lagu (yang, huh, sangat menyentuh) ‘can’t fight this filling’ yang dipopularkan band Reo Speedwagon.

Karya Dr. Seuss ini mengingatkanku pada catatan pinggir Goenawan Mohamad di majalah Tempo edisi 13 April lalu. Di caping itu gm menceritakan pengalamannya masuk bilik suara pemilu legislatif. Dia membuka tulisannya dengan ‘Di bilik suara itu aku tertegun: di sini aku sendiri, satu di antara jutaan suara lain, satu noktah di dalam arus 170 juta manusia, mungkin patahan bisik yang tak akan terdengar. Ini sebuah pemilihan umum; statusku: sebuah angka.’

Setitik noktah yang tak terdengar, satu diantara 170 juta, sebuah angka tanpa nama, seperti makhluk Who (sesuatu tanpa nama) di cerita Dr. Seuss itu. Begitu jugakah yang kamu rasakan kemarin? Benarkah ‘suara kita menentukan masa depan bangsa’ sebagaimana bunyi spanduk? Aku tindak ingin menyeret tulisan ini kepada diskusi berkepanjangan tentang hak politik warga negara. Satu saja yang ingin kusampaikan, sebagaimana pesan moral dari film Horton Hears a Who: ‘a person is a person no matter how small...’

(Adakah gajah yang punya telinga cukup peka di sini?)

Baca selengkapnya...

Sukses yang tak berdiri sendiri

>> Selasa, 12 Mei 2009


Benarkah ada orang-orang tertentu yang memang diberkati sejak lahir?

Waktu kuliah dulu aku sempat ‘curiga’ dengan fenomena menghilangnya beberapa teman dari ruang kuliah gara-gara terkena DO atau mengundurkan diri dengan berat hati. Padahal mereka adalah para mahasiswa terpilih dari seluruh penjuru tanah air yang kecerdasannya tak perlu diragukan lagi. Dengan nada getir kita sering menyebutnya sebagai seleksi alam. Benarkah? Apakah orang yang tidak mampu secara ekonomi tidak berhak mengenyam pendidikan tinggi? Dengan demikian juga tidak berhak atas sebuah ‘kesuksesan’?

Kesuksesan memang bukan pengertian yang mudah dijelaskan. Anggaplah ia berupa sebuah pencapaian ‘duniawi’ seperti kedudukan, harta benda maupun popularitas. Maka buku berjudul Outliers tulisan Malcolm Gladwell menggambarkan dengan menarik bagaimana kesuksesan itu tidak pernah berdiri sendiri. Orang tidak pernah berjuang dari nol menuju sesuatu, sebagaimana selama ini sering diceritakan dalam kisah-kisah sukses para tokoh. Orang sukses, para outliers, ‘...mereka tanpa kecuali adalah penerima berbagai keuntungan yang tersembunyi, kesempatan yang luar biasa, dan warisan kebudayaan yang membuat mereka bisa belajar dan bekerja keras serta menghadapi dunia ini dalam cara yang tidak bisa dilakukan orang lain.’

Gladwell mengajak kita menilai kesuksesan dengan cara yang lebih rendah hati. Pertama, kesuksesan sebagai ‘keuntungan yang terakumulasi’. Ambil contoh, apakah sebuah kebetulan jika para tokoh di dunia teknologi informasi dilahirkan di tahun yang hampir sama: Bill Gates (Microsoft, 1955), Paul Allen (Microsoft, 1953), Steve Ballmer (Microsoft, 1956), Steve Jobs (Apple, 1955), empat sekawan pendiri Sun Microsystem: Bill Joy (1954), Scott McNealy (1954), Vinod Khosla (1955), Andy Bechtolseim (1955) dan Eric Schmidt (Novell, 1955)? Bukan sebuah kebetulan, karena ketika revolusi komputer pribadi tahun 1975 terjadi, merekalah yang sedang dalam posisi (usia) terbaik untuk mengambil keuntungan dari revolusi itu. Gladwell juga menyorot lebih detil riwayat Gates yang, tanpa mengecilkan kerja kerasnya, bertemu serangkaian kesempatan yang sangat langka. Dalam hal ini Gates sendiri manyatakan,’aku memiliki pengalaman yang lebih baik...dibandingkan orang lain dalam masa yang sama dan semua karena serangkaian peristiwa yang benar-benar menguntungkan bagi diriku.’

Perpaduan antara kaya (Gates anak pengacara kaya raya), cerdas, dan ‘serangkaian peristiwa menguntungkan’ adalah kombinasi yang sangat jarang. Gladwell mengambil contoh seorang genius bernama Chris Langan (IQ 195, bandingkan dengan Einstein yang IQ-nya ‘cuma’150), yang tidak memiliki kombinasi langka itu, harus gagal meraih gelar sarjana karena keluarganya yang miskin dan berantakan dan kini cukup puas dengan ‘sebuah peternakan kuda yang sedikit rusak di utara Missouri’. Meskipun pembahasan mengenai IQ ini terasa sedikit ‘kuno’, namun Gladwell menyajikan beberapa penelitian tentang IQ yang cukup menarik untuk disimak. Misalnya penelitian Lewis Terman yang mengumpulkan ribuan anak ber-IQ di atas 140 dan mengamati perkembangan mereka hingga dewasa. Di akhir pengamatan, Terman mendapati fakta yang menyedihkan: anak-anak genius dari keluarga kurang mampu gagal meraih kesuksesan dalam hidupnya.

Di bagian kedua bukunya, Gladwell mengungkap pengaruh budaya pada kinerja seseorang (dengan demikian juga kesempatan untuk meraih sukses) melalui cerita yang unik, salah satunya teori etnik mengenai jatuhnya pesawat. Banyak kecelakaan pesawat terbang terjadi karena ko-pilot merasa sungkan untuk mengingatkan pilot pada situasi darurat. Dan itu terjadi pada awak pesawat di negara dengan Power Distance Index yang tinggi, yaitu negara yang masih menganggap hirarki kekuasaan sebagai hal yang ‘terlalu penting’, termasuk rasa sungkan bawahan untuk mengingatkan atasan. Pada bagian ini Gladwell juga bercerita bagaimana orang berupaya mengatasi ‘pengaruh budaya’ yang kurang relevan dengan dunia kerja.

Pada akhirnya Gladwell menyimpulkan bahwa kesuksesan adalah hadiah. ‘Outliers adalah mereka yang telah diberikan serangkaian kesempatan dan mereka yang memiliki kekuatan dan kegigihan untuk meraihnya.’ Mungkin benar bahwa ada sebagian orang yang memang diberkati sejak lahir berupa kejeniusan. Itu sesuatu yang tidak bisa dinegosiasikan. Tetapi kesempatan untuk semua orang adalah hal yang bisa diusahakan. Sebagaimana Gladwell menulis (hemm...ini bagian yang aku suka): ‘untuk membangun dunia yang lebih baik, kita harus menggantikan serangkaian keberuntungan dan kelebihan yang hari ini menjadi penentu kesuksesan ....dengan masyarakat yang memberikan kesempatan untuk semuanya...’

(kamu setuju?)

Baca selengkapnya...

Menggubris metamorfosis

>> Jumat, 08 Mei 2009


Hati-hati, manusia bisa bermetamorfosis menjadi kutu. Berbeda dengan influenza yang terasa gejalanya, metamorfosis ini sangat sulit dikenali tanda-tandanya. Seorang pria bernama Gregor tahu-tahu sudah berubah menjadi binatang menjijikkan itu ketika bangun dari tidurnya yang gelisah. Masih belum percaya? Baca saja novel pendek Kafka, Metamorfosis, dan bersiaplah menghadapi teror menakutkan itu.

Dalam sebuah seminar motivasi beberapa waktu yang lalu, ada seorang karyawan yang mengeluh betapa ‘hidupnya sangat membosankan’. Mengawali hari dengan bangun tidur tergesa-gesa, mengisinya dengan memeras keringat hingga tak bersisa, dan menutupnya kembali dengan tidur di samping alarm yang begitu berkuasa. Begitu berulang-ulang seperti tak ada pilihan lain yang lebih menarik. Sama dengan yang dialami Gregor di novel Kafka itu. Bekerja 15 tahun tanpa pernah ijin sakit, menjadi tulang punggung keluarga (ayah dan ibu yang sudah renta dan seorang adik perempuan belia) dan diliputi kebosanan yang sama. Sebagai seorang sales person dia harus berhadapan dengan ‘...kutukan perjalanan, khawatir tentang jadwal kereta, makanan yang buruk dan tidak tentu, berhubungan dengan orang yang berbeda setiap saat, dengan demikian kau tidak pernah dapat mengenal siapa pun dengan baik....’

Perjalanan hidup Gregor adalah kisah manusia from hero to zero, dari pahlawan bagi keluarga hingga menjadi orang paling tidak diinginkan bahkan aib di dalam keluarga. Kafka menguliti secara dingin nasib Gregor yang dicampakkan, bahkan berusaha dilenyapkan sebagaimana nasib binatang yang menjijikkan pada umumnya. Menjelang akhir novel Kafka menyudahi kepahitan hidup Gregor dalam sebuah kamar sempit, gelap tapi ‘...ia seperti melihat cahaya di mana-mana di luar jendela...’ Apakah dunia kerja memang semacam kepompong yang mengubah seseorang menjadi bentuk lain tanpa disadari sama sekali?

Tunggu dulu. Beberapa waktu lalu aku membaca kisah Toyotomi Hideyoshi, The Swordless Samurai, di kolom Arvan Pradiansyah di situs web.bisnis.com. Pengabdian seumur hidup Hideyoshi sebagai pelayan Lord Nabunaga seolah dilalui dengan ringan tanpa mengubahnya menjadi sebentuk makhluk buruk. Atau kisah lain di pembuka buku Malcolm Gladwell, Outliers, sedikit banyak menggambarkan bagaimana kerja keras penduduk Roseto, wilayah kecil di Pennsylvania timur, tidak serta merta membawa mereka pada kondisi yang mengkhawatirkan. Bahkan sebaliknya, ‘...Tidak ada kasus bunuh diri, tidak ada penyalahgunaan alkohol, tidak ada kecanduan obat terlarang...’ Gladwell bercerita bagaimana penduduk Roseto ‘...saling berkunjung antara satu dengan yang lain, berhenti untuk mengobrol dalam bahasa italia di jalanan, atau memasak untuk tetangganya di halaman belakang rumahnya...’ Kalau pun penduduk Roseto meninggal, itu karena memang sudah uzur, dan bukan karena menjadi kutu yang tumpas dilibas alas kaki yang gemas.

(bangunlah, dan katakan padaku untuk tidak pernah menyerah...)

Baca selengkapnya...

Pengikut

  © Blogger template Palm by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP