Para gajah, mari tonton Horton

>> Minggu, 17 Mei 2009


Lelah dengan berbagai pemberitaan dari panggung politik di luar sana? Mari kita masuk ke dalam rumah, duduk tenang dan simaklah film adaptasi karya Dr Seuss berjudul Horton Hears a Who. Film animasi komputer 3D garapan Blue Sky Studio ini (sebelumnya menggarap Ice Age-2002) tak kalah canggih dalam menghidupkan tokoh maupun suasana dibanding film-film garapan Dreamworks Animation (Shrek-2001) ataupun Pixar Studio (Finding Nemo-2003). Film yang dirilis awal tahun 2008 ini tiba-tiba saja disodorkan oleh seorang sahabat hari jumat sore, tanggal 15 Mei kemarin.

Dan kisah ini memang dimulai pada tanggal 15 Mei, saat Horton, seekor gajah yang baik hati, sedang menikmati cuaca cerah di hutan Nool. Entah bagaimana (mungkin karena telinganya yang ekstra lebar) Horton mendengar suara teriakan dari ‘sebutir debu’ yang melayang di depan matanya. Teriakan yang dipahami Horton sebagai panggilan minta tolong itu menggerakkan hatinya untuk mengikuti kemana debu itu diterbangkan angin. Sebutir debu yang berteriak minta tolong? Bagi binatang lain tentu saja pemahaman Horton ini sangat aneh, bahkan gila. Di mata pemimpin komunitas hewan di hutan Nool, sang kangguru yang kebetulan juga memiliki telinga berlebih, ‘sesuatu yang tidak bisa dilihat, didengar atau dirasa berarti tidak nyata.’ Karenanya, dia menganggap Horton telah melakukan kebohongan kepada publik.

Sebenarnya, dalam debu itu memang ada kehidupan makhluk mikroskopis, sebuah komunitas makhluk Who yang mendiami Who-ville. Mc Dodd, walikota Who-ville, awalnya tidak percaya bahwa mereka hanyalah makhluk imut yang mendiami sebutir debu. Debu itu semula hinggap tenang di atas sekuntum bunga, sampai sebuah kejadian alam menerbangkannya, dan mempertemukannya dengan Horton. Sepanjang film ini kita menyaksikan bagaimana Horton berjuang mati-matian mengembalikan debu Who-ville itu ke tempat yang aman. Bukan perjuangan yang mudah di tengah ‘masyarakat yang penuh prasangka dan tidak peka’. Bahkan pada puncaknya, Horton harus diadili di muka umum, dipenjara dan menyaksikan debu itu terancam masuk ke minyak panas. Untunglah teriakan berjamaah seluruh penduduk Who-ville akhirnya terdengar oleh salah satu binatang selain Horton, yaitu anak sang kangguru. Maka selamatlah debu Who-ville. Warga hutan Nool dan makhluk Who merayakannya bersama, diiringi lagu (yang, huh, sangat menyentuh) ‘can’t fight this filling’ yang dipopularkan band Reo Speedwagon.

Karya Dr. Seuss ini mengingatkanku pada catatan pinggir Goenawan Mohamad di majalah Tempo edisi 13 April lalu. Di caping itu gm menceritakan pengalamannya masuk bilik suara pemilu legislatif. Dia membuka tulisannya dengan ‘Di bilik suara itu aku tertegun: di sini aku sendiri, satu di antara jutaan suara lain, satu noktah di dalam arus 170 juta manusia, mungkin patahan bisik yang tak akan terdengar. Ini sebuah pemilihan umum; statusku: sebuah angka.’

Setitik noktah yang tak terdengar, satu diantara 170 juta, sebuah angka tanpa nama, seperti makhluk Who (sesuatu tanpa nama) di cerita Dr. Seuss itu. Begitu jugakah yang kamu rasakan kemarin? Benarkah ‘suara kita menentukan masa depan bangsa’ sebagaimana bunyi spanduk? Aku tindak ingin menyeret tulisan ini kepada diskusi berkepanjangan tentang hak politik warga negara. Satu saja yang ingin kusampaikan, sebagaimana pesan moral dari film Horton Hears a Who: ‘a person is a person no matter how small...’

(Adakah gajah yang punya telinga cukup peka di sini?)

0 komentar:

Pengikut

  © Blogger template Palm by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP