[Next] Awalnya (hanya) tanaman transgenik

>> Kamis, 02 Juli 2009

Ada yang baru menyadari bahwa tahu dan tempe bukan makanan ‘sembarangan’, karena bahan bakunya hampir 100% impor. Mirip mobil-mobil built up. Ketika akhir tahun 2007 harga kedele melonjak tajam seiring harga minyak, kita seakan baru sadar bahwa 70%an kedele adalah produk impor. Dan hampir dipastikan kedele asal AS itu adalah produk transgenik. Banyak juga yang kemudian gelisah menyangkut keamanan mengonsumsi produk transgenik dan olahannya. Apalagi Indonesia sepertinya belum memiliki regulasi yang jelas menyangkut bahan pangan transgenik ini. Memang ada PP No. 20 tahun 2005 yang meng-amanatkan pembentukan Tim Teknis Keamanan Hayati dan Keamanan Pangan. Namun sampai sekarang tim itu belum terbentuk. Bahkan peraturan yang lebih lama yaitu PP No. 69 tahun 1999 mengharuskan produk pangan, termasuk yang transgenik, diberi label. Dengan label ini konsumen bisa menentukan pilihan, apakah mau memilih yang ‘alami’ atau yang transgenik. Sayangnya, sampai sekarang pelabelan itu pun tidak berjalan. Di negara-negara maju, sudah lazim disebutkan di label, bahwa makanan tersebut mengandung persentase tertentu materi transgenik.

Kedele, juga jagung, kapas, kentang, adalah produk yang sudah banyak dipasarkan dalam bentuk produk transgenik, atau lebih sering disebut GMF (Genetically Modified Food). Sering juga disebut, dengan sinis, sebagai frankenfood. Kedele ini dihasilkan melalui ‘pengayaan’ genetis, antara lain dengan menyisipkan bakteri tanah yang mampu menghasilkan pestisida alami. Dengan begitu, hama yang menyerang kedele itu akan mati dengan sendirinya. Uniknya, pengayaan genetis kedele itu banyak ragamnya. Bahkan ada yang ‘dirancang’ khusus untuk dijadikan makanan ternak. Wah, apakah konsumen tahu hal ini dan bisa membedakannya dengan kedele untuk dibuat tahu atau tempe?

Buru-buru menteri pertanian Dr. Anton Apriantono mengatakan bahwa ‘belum ada bukti bahwa kedele transgenik membahayakan kesehatan.’ Jangka pendek memang iya, bagaimana efek jangka panjangnya? Bahkan korban manusia akibat produk transgenik juga pernah ada (kasus suplemen kesehatan transgenik di AS yang memakan korban tewas 37 orang tahun 1989). Ada baiknya didengar juga pendapat mereka yang mewaspadai produk transgenik ini. Mereka umumnya keberatan atas 3 hal: pertama, bahaya terhadap lingkungan : kemungkinan tanaman termutasi ‘menulari’ tanaman lain sangat terbuka, misalnya melalu penyerbukan. Bisakah ini dikendalikan?

Kedua, sudah tentu kemungkinan bahayanya bagi manusia. Dalam kasus kedelai yang disisipi ‘gen pestisida’, bagaimana dampaknya bagi manusia dalam jangka panjang? Apalagi kedele dan produk turunannya termasuk makanan yang tingkat konsumsinya tinggi di Indonesia. Ketiga, secara ekonomis produk transgenik ini membuat ketergantungan negara berkembang kepada negara maju. Produk transgenik dikenal memiliki sifat ‘gene suicide’, ditanam untuk berbuah sekali dan mati. Buahnya pun steril, sehingga petani menjadi tergantung terhadap bibit pasokan negara-negara maju.

(dari berbagai sumber)

0 komentar:

Pengikut

  © Blogger template Palm by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP