Balada Orang-orang Kalah

>> Minggu, 04 April 2010

Riwayat di sekitar rokok selalu berisi kisah tentang orang-orang kalah. Belum lama berselang, Mujiati, ibunda dari Malang yang punya seorang balita pecandu rokok, menyatakan penyesalannya menyikapi kebiasaan buruk buah hatinya itu. Istri kuli bangunan itu hanya bisa pasrah. Sama dengan penyesalan Kariso, pemilik kios bensin di Depok yang harus kehilangan istri dan seorang anaknya, saat kios bensin miliknya meledak. Sebatang rokok di mulut Kariso adalah sumber malapetaka itu.

Mujiati dan Kariso hanyalah segelintir dari 70 persen penduduk Indonesia (sekitar 84,7 juta jiwa) yang hidupnya dibuat morat-marit lantaran kebiasaan merokok. Penghasilan yang tidak seberapa, yang diperoleh dengan susah payah, harus tersedot ke pundi-pundi para pengusaha rokok kaya raya.

Kadang sulit dimengerti jika pemerintah ambigu menghadapi industri madat ini. Keengganan meratifikasi FCTC hanya makin memperjelas betapa pemerintah telah bertekuk lutut alias kalah telak pada kemauan industrialis rokok dunia (ingat, Sampoerna adalah milik Philip Morris dan Bentoel kepunyaan BAT), yang menjadikan bangsa padat penduduk ini sebagai pasar paling menggiurkan. Kalau yang dijadikan alasan adalah pendapatan dari cukai rokok, alangkah naifnya. Itu refleksi dari kemalasan berfikir karena sesungguhnya Indonesia terlalu kaya untuk hanya bertumpu pada sejumput komoditas. Ada begitu banyak jalan terbuka andai saja pemerintah mau dan berani memulainya.

Saat DPR akhirnya mengesahkan RUU Kesehatan bulan September 2009 lalu, publik sempat digegerkan oleh hilangnya satu ayat pada pasal 113, yang memuat tentang masuknya tembakau dan produk turunannya sebagai zat adiktif yang berbahaya. Ada tiga anggota DPR yang dilaporkan sebagai pihak yang bertanggung jawab atas raibnya ayat tembakau itu. Yang lebih mengejutkan, ketiganya adalah wanita alias seorang ibu. Jika mereka terbukti secara sengaja melakukannya, yakin mereka adalah ibu-ibu yang kalah membela nuraninya sendiri.

Deretan daftar orang-orang kalah itu masih bisa ditarik lebih panjang lagi. Seorang ayah yang masih merokok sudah pasti harus mengakui kekalahannya karena ia lebih memihak share holder industri candu dibanding anak-anaknya sendiri. Seorang guru yang merokok amatlah palsu kata-katanya saat ia meminta muridnya mengamalkan hidup bertenggang rasa. Seorang ulama yang merokok pantas merenungi kekalahannya karena ia lebih cinta dunia dari pada ajaran mulia memelihara kesehatan tubuh anugerah Tuhannya. Seorang pria tak pantas merasa menjadi pria sejati bila masih bersembunyi di balik imaji palsu yang ditawarkan iklan-iklan candu.

Tahun 2010 ini diharapkan DPR bisa mengagendakan pembahasan RUU Pengendalian Dampak Tembakau, termasuk di dalamnya larangan iklan rokok. Salut, andai saja benar RUU itu bisa segera diundangkan, diikuti disiplin pelaksanaannya. Jakarta International Java Jazz Festival 2009 lalu bisa berlangsung sukses tanpa sponsor industri rokok. Sepakbola Indonesia yang didanai rokok buktinya justru malah ribut melulu. Jadi, kenapa musti takut?

0 komentar:

Pengikut

  © Blogger template Palm by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP