Sebuah ruang untuk cinta

>> Minggu, 14 Juni 2009

Mungkinkah seorang eksekutif Microsoft, dengan segala kehidupan gemerlapnya, rela meninggalkan perusahaan itu dan memilih mengurusi perpustakaan kecil sebuah sekolah dasar di Bahundanda (kuberitahu, ini nama sebuah desa di pelosok Nepal)? Jawabannya adalah: mungkin, jika orang itu bernama John Wood.


Seminggu ini aku tak bisa lepas dari penuturan menakjubkan lelaki mantan eksekutif puncak di Microsoft itu, yang dalam salah satu fase hidupnya menyadari satu hal: ‘Apakah sungguh-sungguh penting berapa banyak salinan Windows yang kami jual di Taiwan bulan ini ketika jutaan anak tak memiliki akses ke buku?’ Pertanyaan ini seolah menandai perubahan radikal garis hidupnya seperti diungkap dalam memoar perjalanan yang ditulisnya, berjudul Room to Read (Penerbit Bentang, 2009).

Kesadaran John Wood bermula dari perjalanan liburan panjangnya mengunjungi Himalaya tahun 1999. Dalam kunjungan itu dia bertemu dengan seorang penilik sekolah yang kemudian membawanya ke Bahundanda untuk melihat salah satu SD di situ. John sempat terkesima ketika diajak masuk ke perpustakaan sekolah yang nyaris tak memiliki buku sama sekali. Muncul keinginan yang kuat dalam dirinya untuk membantu sekolah itu mendapatkan buku-buku yang diperlukan para muridnya. Berawal dari ‘proyek kecil’ mengumpulkan buku bekas dari kawan-kawannya di Amerika, John tergerak untuk melakukan sesuatu yang lebih besar. Nepal tak hanya butuh perpustakaan karena di negri yang indah itu tujuh dari sepuluh anak ternyata buta huruf! Akses ke dunia pendidikan sangat minim, terutama bagi anak perempuan. Nepal membutuhkan lebih banyak gedung sekolah. Namun keinginan ini membawanya pada situasi sulit: membantu anak-anak mendapatkan pendidikan tak bisa berjalan seiring dengan karirnya di Microsoft yang menuntut totalitas.

Sembilan tahun menjalani karir gemilang di perusahaan ternama, justru membawa John pada satu pemikiran: jika ia meninggalkan Microsoft, dalam waktu cepat perusahaan itu bisa mendapatkan pengganti (dari antrian panjang pelamar), sementara jika dia mengundurkan diri dari keinginan membantu jutaan anak agar bisa bersekolah, belum tentu ada satu orang yang mau mengambil alih peran itu. Kenyataan ini menguatkan tekadnya untuk segera bertindak. Dari sinilah John memulai organisasi nirlaba yang pada awalnya bernama Books for Nepal. Langkah berani yang diambilnya saat meninggalkan Microsoft menjadi salah satu unique selling proposition untuk menarik bantuan para donatur. Bukan awal yang mudah, tapi John mampu melewatinya bahkan sebelum organisasinya menginjak dua tahun, dia sudah berekspansi ke negara kedua, Vietnam. Kemudian menyusul Kamboja, Srilanka dan India.

Yang menarik, buku ini juga memberikan gambaran bagaimana sebuah organisasi nirlaba seharusnya dijalankan. Kiat sukses Room to Read membangun ribuan sekolah dan perpustakaan tak lepas dari model bisnis ‘ambil salah satu proyek’, dimana donatur bisa mendapatkan hubungan sebab-akibat yang kuat antara berapa besar sumbangannya dan berapa banyak yang bisa diperbuat dengan sumbangan itu. Ini mungkin berbeda dengan beberapa organisasi nirlaba yang tidak menjelaskan ‘sebab-akibat’ dari dana yang disumbangkan para donaturnya. Model bisnis Room to Read mensyaratkan efisiensi biaya operasional dan keterlibatan komunitas yang dibantu. Dengan model bisnis ini, terbukti proyek-proyek mereka bisa berkelanjutan. Sekolah-sekolah yang mereka bangun bisa terus berkembang tanpa harus selalu bergantung pada bantuan Room to Read.

Bagi banyak orang, terutama anak-anak yang berhasil mendapatkan pendidikan, John adalah seorang pahlawan. Sesungguhnya dia juga tidak bisa lepas dari dorongan manusiawinya untuk memiliki kehidupan pribadi sebagaimana orang lain. Di epilog buku ini John menggambarkan bagaimana ia memasuki usianya yang ke 40 tahun, tanpa seorang pendamping dan rumah yang masih berstatus sewa. ‘Jika anda mencintai apa yang anda lakukan dan dikelilingi oleh teman-teman dan keluarga yang baik, maka empat puluh atau lima puluh atau enam puluh hanyalah suatu angka bulat, bukan penyebab kepanikan.’ Di bagian lain John menuliskan salah satu motivasinya, ‘Saya telah menemukan satu hal yang selalu saya inginkan –sebuah karir bermakna dan tentang hal ini saya merasakan gairah. Setiap bangun saya ingin sekali melompat dari tempat tidur dan pergi ke kantor dan saya bersemangat untuk hal apa saja yang hari itu saya kerjakan. Itulah kemewahan yang langka di dunia ini.’ Dan apa hadiah ulang tahun ke-40 John untuk dirinya sendiri? Sebuah keputusan untuk mencurahkan masa paling produktif hidupnya untuk pendidikan anak-anak negara miskin.

Satu hal yang selalu menyedot emosi ketika membaca buku ini adalah kenyataan bahwa sebuah niat baik bisa berkembang begitu rupa. Seorang Andrew Carnegie bisa membangun 2.000 perpustakaan di Amerika seorang diri. Tapi John, yang tidak sekaya Andrew, dengan kekuatan jaringan Room to Read tidak hanya bisa membangun lebih banyak perpustakaan, tetapi juga sekolah dan beasiswa untuk ribuan pelajar di negara terbelakang. Ada ribuan orang terlibat dalam jaringan itu. Salah seorang diantaranya gadis berusia delapan tahun yang mampu menggalang dana bagi pembangunan sebuah sekolah baru di Nepal. Seakan menegaskan bahwa perbedaan latar belakang, prasangka ras, sekat geografis, dan apapun namanya, tak pernah menggerus habis kemanusiaan kita. Tetap saja ada ruang di hati kita yang tak bisa diganggu gugat. Sebuah ruang yang hangat untuk berbagi dengan sesama.

0 komentar:

Pengikut

  © Blogger template Palm by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP