[Tipping Point] Tentang Brand Community

>> Jumat, 21 Agustus 2009

Silih Agung Wasesa, pakar pemasaran dan public relation, beberapa waktu lalu menulis di majalah Marketing edisi Agustus 2009 tentang Community Advertisement. Di situ dia mengungkapkan kecenderungan merek-merek untuk melakukan kegiatan aktivasi brand community, yaitu sebuah upaya menanamkan kesadaran dan loyalitas merek melalui kegiatan yang melibatkan konsumen atau komunitas konsumen. Dia mencontohkan Nesvita yang membuat tantangan kolesterol, Lifebuoy dengan program Super-Dad-nya atau tantangan Rinso untuk ibu-ibu rumah tangga.

Tidak berlebihan jika banyak merek (terutama merek besar dan market leader) rela mengguyurkan sejumlah dana untuk kegiatan itu. Toh jika program itu tepat sasaran biayanya masih jauh lebih rendah dibanding beriklan di media. ‘...untuk anggaran iklan 5 miliar, maka hanya dibutuhkan maksimal 2 miliar untuk mencapai efektifitas yang sama kuatnya (dengan program community advertisement, ym)’. Sayangnya, masih menurut Silih Agung, beberapa kegiatan yang melibatkan komunitas tidak menuai hasil yang diharapkan. Penyebab yang paling menonjol setidaknya ada 2, yaitu: salah memilih brand endorser dari dalam komunitas yang digarap dan keliru menentukan issue atau informasi yang bisa membuat anggota komunitas menjadi bersemangat untuk berbagi.

Pemaparan Silih Agung ini agaknya senada dengan penjelasan Malcolm Gladwell tentang syarat-syarat terjadinya sebuah epidemi perubahan (Tipping Point), yaitu: Hukum tentang Yang Sedikit (the Law of the Few), Faktor Kelekatan (the Stickiness Factor), dan Kekuatan Konteks (the Power of Context). Mengenai Hukum tentang Yang Sedikit, MG berkisah tentang orang (atau sekumpulan orang) yang memang memiliki kelebihan dalam hal menularkan sebuah informasi dan menjadikannya titik awal perubahan. Dalam istilah MG orang-orang yang memiliki ketrampilan sosial yang langka, yang dia kelompokkan menjadi tiga jenis manusia, yaitu Para Penghubung (Connector), Para Bijak Bestari (Mavens) dan para Penjaja (Salesman).

Para Penghubung adalah mereka yang memiliki bakat khusus yang memungkinkan orang sedunia saling berhubungan. Kita tentu pernah mengenal orang-orang jenis ini, orang yang senang menghubungkan/mengenalkan kita dengan orang-orang lain. Sudah pasti mereka mengenal dan dikenal banyak orang. Kenal bukan dalam pengertian sok akrab atau agresif menjalin hubungan dengan orang lain karena ada ‘sesuatu’ yang diharapkan dari hubungan itu. MG menggambarkan Para Penghubung sebagai orang yang memiliki naluri untuk menjalin hubungan, senang bergaul dan tulus. ‘Ketika kebanyakan kita masih sibuk memilih siapa yang ingin kita sapa, dan menolak orang yang menurut kita kurang sepadan atau tinggal terlalu jauh atau sudah terlalu lama tidak jumpa, Lois dan Roger (Para Penghubung, ym) menyukai mereka semua.’

Yang kedua, Para Bijak Bestari (Maven) adalah orang yang memecahkan masalahnya sendiri –memuaskan kebutuhan emosionalnya sendiri—lewat memecahkan masalah orang lain. Dari bahasa asalnya (bahasa Yiddish), maven berarti orang pintar atau orang yang memiliki pengetahuan sangat luas. Tidak hanya itu, mereka juga senang menolong orang dengan pengetahuan yang mereka miliki. Seorang maven akan senang sekali jika informasi yang mereka berikan bisa membantu orang lain. Dan mereka melakukannya tanpa pamrih. Dia mungkin seseorang yang dengan senang hati membantu kita memilih perangkat elektronik yang bagus karena dia paham benar ihwal perlengkapan elektronik tersebut. Atau merekomendasikan sebuah buku yang cocok untuk kita karena dia memiliki segudang informasi mengenai buku, penulis dan tema-teman yang cocok dengan personal interest kita.

Namun seorang maven bukanlah seorang pembujuk. Mereka lebih seperti seorang guru. Adapun orang yang memiliki kemampuan untuk membujuk orang lain ketika orang itu belum yakin tentang sesuatu, disebut Salesman. Mereka tipe orang yang persuasif bahkan ketika mereka tidak sedang melakukan persuasi kepada kita. Dalam bukunya MG menguraikan bahwa persuasi tidak semata-mata bersifat verbal, justru yang non-verbal bisa memiliki efektifitas yang lebih besar karena sifatnya yang tersamar dan mudah merasuk. Faktor inilah yang membuat seorang Salesman bisa terlihat sangat menarik. Mereka menguasai seperangkat kemampuan komunikasi non-verbal.

Uraian tentang Hukum yang Sedikit ini mungkin bisa menjadi salah satu panduan untuk memilih seorang (atau sekelompok orang) brand endorser yang tepat dalam sebuah komunitas, sebagaimana dijelaskan oleh Silih Agung. Tentu saja cara ini berbeda dengan cara-cara konvensional yang sering dilakukan pemilik merek. Biasanya mereka ‘membanjiri’ orang yang dianggap sebagai panutan dalam kelompok dengan hadiah berupa uang, merchandise ataupun fasilitas-fasilitas khusus. Cara tersebut jelas merupakan jalan pintas yang terbukti tidak efektif.

Ada sebuah contoh kasus menarik di buku Tipping Point, yaitu bangkit kembalinya merek Hush Puppies. Sekitar tahun 1994, merek Hush Puppies sudah bisa dibilang mati. Penjualan sepatunya terus menurun, bahkan sempat terpikir untuk menghentikan produksi. Kemudian muncul sekelompok remaja di East Village dan Soho yang iseng memakai sepatu buatan Hush Puppies semata-mata karena ingin tampil beda. Keisengan ini kemudian menjalar ke remaja-remaja lain yang memuat toko-toko barang bekas diserbu pembeli. Sampai kemudian ada seorang desainer yang menggunakan sepatu Hush Puppies sebagai salah satu asesorinya. Sejak itu, pesanan terus mengalir dan dalam waktu dua tahun Hush Puppies kembali bangkit menjadi merek kelengkapan busana ngetren di Amerika. Uniknya, mereka tidak perlu mengeluarkan dana untuk membayar para remaja iseng tersebut.

0 komentar:

Pengikut

  © Blogger template Palm by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP