[Tipping Point] Dahsyatnya kekuatan konteks

>> Rabu, 19 Agustus 2009

Orang Indonesia yang datang ke Singapore mendadak bisa menjadi warga yang tertib. Membuang sampah pada tempatnya, mematuhi setiap rambu, bahkan untuk naik taksi pun mereka rela menunggu dalam antrian. Namun begitu kembali ke Indonesia, ‘sifat aslinya’ kembali keluar. Tentu ini bukan cerita yang baru. Sekedar ilustrasi yang mirip dengan beberapa contoh yang dikemukakan MG dalam buku Tipping Point, berkaitan dengan kekuatan konteks.

Mari kita lihat contoh kasus lain yang menarik di buku itu. Tahun 1980-an, New York City adalah tempat yang sangat menakutkan dengan angka kejahatan yang luar biasa tinggi. Dalam setahun ada lebih dari 2.000 kasus pembunuhan (setidaknya 5 kasus per hari!), dan 600.000 tindak kekerasan serius. Di terowongan-terowongan kereta api bawah tanah, yang berlaku adalah hukum rimba. Hampir setiap hari ada kasus penembakan dalam kereta. Kebanyakan gerbong keretanya jorok, penuh coretan (grafitti) dan fasilitas umumnya jauh dari memadai. Namun, tanpa banyak orang yang memahaminya, mulai tahun 1990-an, tiba-tiba saja angka kejahatan itu turun drastis. Apa yang terjadi?


Untuk memahami fenomena ini, MG mengutip sebuah teori dari kriminolog James Q. Wilson dan George Kelling yang disebut teori Broken Windows. Gambaran singkat teori itu seperti ini: jika jendela sebuah rumah pecah namun dibiarkan saja, siapa pun yang lewat cenderung menyimpulkan pastilah di situ tidak ada yang peduli atau bahwa rumah itu tidak berpenghuni. Dalam waktu singkat, akan ada lagi jendelanya yang pecah dan belakangan berkembang anarki yang menyebar ke sekitar tempat itu.

Pertengahan tahun 80-an, Goerge Kelling disewa oleh New York Transit Authority sebagai konsultan untuk mengatasi masalah kejahatan di kereta api bawah tanah. Untuk itu, Kelling meminta jawatan itu menerapkan teori Broken Windows-nya. Berbeda dengan pendapat kebanyakan pejabat pemerintah yang menginginkan penanganan kejahatan secara langsung, Kelling bersama direktur baru urusan kereta api justru memulai aksinya dengan menangani tindak corat-coret yang marak di dalam gerbong kereta. Setiap kali sebuah rangkaian gerbong menyelesaikan satu rute, gerbong-gerbong itu langsung masuk ke fasilitas pembersihan. Semua grafiti akan dibersihkan sampai tuntas. Hanya gerbong-gerbong yang bersih yang boleh beroperasi. Jelas langkah ini membuat tukang corat-corat kecewa dan marah karena ‘hasil karya mereka’ selalu lenyap tak berbekas.

Dalam waktu bersamaan, polisi juga menangkap para penumpang yang nekat naik kereta tanpa karcis. Selama ini para petugas kereta api tidak berkutik menghadapi para penumpang gelap tersebut. Apa yang didapat oleh polisi dengan aksi tersebut ternyata lebih dari yang mereka duga. Sebagian penumpang gelap tersebut ternyata juga para pelaku kejahatan atau orang yang kedapatan membawa senjata dan sejenisnya. Di sinilah Kelling membuktikan teorinya, bahwa kejahatan-kejahatan kecil, pelanggaran-pelanggaran remeh yang lazimnya dianggap tidak signifikan, sesungguhnya merupakan Tipping Point menuju kejahatan-kejahatan besar.

MG menyatakan bahwa teori Broken Windows ini sama dengan konsep Power of Context dalam pengertian sebuah gejala menular yang parah dapat diguncang lewat penanganan masalah-masalah kecil yang terjadi di lingkungan bersangkutan. Sebuah jendela yang rusak tidak akan dibiarkan berlama-lama dalam kondisi rusak yang bisa mengundang kerusakan lebih parah. Sama juga dengan kasus warga Indonesia yang datang ke Singapore, tidak diberi ruang sedikitpun untuk melakukan ‘pelanggaran kecil’. Di sana-sini ada ancaman denda yang siap dijatuhkan. Di setiap pojok ruang publik ada kamera pengintai yang siap menangkap basah para pelanggar. Apakah ini membuat warga Singapore menjadi ‘insan kamil’ di mana pun mereka berada? Tidak juga. Kalau kita melihat warga Singapore yang sedang berlibur ke pulau Bintan di kepulauan Riau, perilaku mereka tak beda jauh dengan warga Indonesia.

MG juga mengemukakan satu studi menarik mengenai FAE (Fundamental Attribution Error), yaitu sebuah kesalahan dalam menafsirkan perilaku seseorang yang cenderung didasarkan pada bakat, karakter atau pembawaan dengan mengecilkan peran situasi atau konteks. Fenomena ini muncul karena kebanyakan kita jauh lebih paham terhadap petunjuk-petunjuk personal ketimbang pada petunjuk-petunjuk kontekstual. Agak mengejutkan bahwa dalam sebuah studi oleh dua orang peneliti di New York tahun 1920 diketahui bahwa sifat seperti Kejujuran bukanlah sifat yang mendasar (fundamental trait). Dari penelitian itu mereka menyimpulkan kejujuran itu sifatnya situasional. Di bagian ini kita menjadi sedikit pesimis dengan beberapa uji kepantasan dan kelayakan yang sering dilakukan terhadap seseorang yang hendak menjabat satu posisi penting. Seandainya pun didapat kandidat yang pantas (proper), itu mungkin tidak akan menjamin bahwa yang bersangkutan akan tetap proper sepanjang masa jabatannya.

Ada contoh menarik dikemukakan di buku ini yaitu penelitian yang dilakukan oleh dua orang psikolog dari Princeton University, John Darley dan Daniel Batson, terhadap sekelompok siswa seminari. Para siswa itu diminta menyiapkan sebuah khotbah singkat mengenai keutamaan menolong orang lemah dan teraniaya berdasarkan literatur injil tentang orang Samaria yang Baik. Mereka kemudian diminta datang ke aula untuk menyampaikan khotbah itu. Di tengah perjalanan menuju aula itu, tanpa sepengetahuan para siswa, mereka akan dihadapkan pada situasi bertemu dengan seorang yang merintih-rintih di tepi jalan, kesakitan dan sangat menderita. Pertanyaannya, siapa diantara siswa itu yang akan tergerak untuk menolong?

Ada yang menarik dalam penelitian itu ketika para siswa seminari yang kelak menjadi pendeta atau pastor dan membaktikan hidupnya untuk menolong sesama, diminta untuk datang segera ke aula. Ketika diingatkan bahwa mereka kemungkinan akan terlambat sampai ke aula, hanya 10 persen dari para siswa itu yang tergerak untuk menolong orang yang kesakitan di pinggir jalan. Selebihnya, melewatinya begitu saja. Sementara kelompok siswa yang tidak diminta untuk tergesa-gesa, 63 persen mau berhenti dan memberikan pertolongan. ‘Yang ingin disiratkan dalam studi ini...adalah bahwa keyakinan dalam hati Anda dan isi sesungguhnya pikiran Anda pada akhirnya tidak terlalu berperan dalam mengarahkan perbuatan Anda dibanding konteks langsung perilaku Anda’.

Wah...

0 komentar:

Pengikut

  © Blogger template Palm by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP