[Tipping Point] Melawan Rokok

>> Minggu, 16 Agustus 2009

Harian Kompas edisi 10 Juli 2009 menurunkan tulisan di rubrik Fokus tentang industri rokok sebagai industri penuh tipu daya. Iklan rokok penuh kebohongan memadati tepian jalan protokol, ruang publik, media cetak dan elektronik tanda kendali. Belum lagi kampanye pemasaran melalui konser musik atau olahraga. Tujuannya tentu untuk membangun persepsi tentang kebiasaan merokok sebagai kebiasaan yang cool. Tak peduli bahwa iklan itu sama sekali tak masuk akal, bahwa kebiasaan itu sendiri sangat merusak, nyatanya 60 juta penduduk Indonesia sangat tergantung pada kebiasaan kotor itu.

Aku selalu berkeyakinan bahwa cara yang cukup ampuh untuk menghadapi perilaku masokis vandalis merokok adalah dengan membangun persepsi negatif seputar kebiasaan itu. Persepsi dilawan dengan persepsi. Tinggal bagaimana missi ini bisa dijalankan untuk menandingi iklan-iklan rokok yang begitu masif. Sayangnya, untuk kampanye anti-rokok ini tidak tersedia dana sebesar yang dimiliki para pengusaha rokok (yang di Amerika sering disebut para bad guy). Di titik ini, para aktivis anti-rokok seperti kehilangan semangat juangnya.

Di buku Tipping Point, MG menawarkan solusi yang cukup elegan berdasar kaidah kelekatan (stickiness). Sebagaimana dinyatakan oleh penulis buku ini bahwa perubahan besar tidak selalu membutuhkan energi besar pula, maka perang melawan rokok bisa saja dihadapi tanpa harus bersaing dalam budget iklan dengan para bad guy itu. Menurut MG, ‘kita hanya perlu menemukan tipping point untuk stickiness, kelekatan (dalam kebiasaan merokok, ym), dan titik itu adalah kaitan-kaitan dengan depresi dan ambang batas nikotin.’

Pertama, mengenai depresi. Tahun 1986, dalam sebuah studi yang dilakukan oleh psikolog di Columbia University, ditemukan bahwa 60 persen perokok berat memiliki riwayat depresi yang parah. Sebaliknya, dalam studi lanjutannya, diketahui bahwa mereka yang pernah menderita gangguan jiwa serius, 74 persen merokok. Semakin besar gangguan jiwa yang diderita, semakin kuat korelasinya dengan merokok. Sebuah studi lainnya yang dilakukan beberapa psikiater di Inggris menemukan kaitan antara perilaku merokok anak usia belasan tahun dengan masalah emosi dan lingkungan sekitar mereka yang bermasalah.

Mengenai kaitan ini, ada beberapa teori yang disampaikan. Antara lain, ‘Semua hal yang dapat membuat seseorang rentan...merokok – rasa harga diri yang rendah, suasana rumah yang tidak sehat atau tidak bahagia – sama dengan semua hal yang dapat membuat seseorang mengalami depresi.’ Bahkan ‘ada beberapa bukti awal bahwa kedua masalah tersebut (merokok dan depresi, ym) mungkin mempunyai akar genetik yang sama.’ Sebagai contoh, depresi diyakini disebabkan antara lain oleh terganggunya produksi bahan kimia penting dalam otak yang disebut serotinin, dopamin dan norepineprin. Bahan kimia tadi berpengaruh terhadap rasa percaya diri, kemampuan menanggulangi masalah, kemampuan merasakan kenikmatan, dan mengatur mood. Para perokok yang menderita depresi menggunakan tembakau sebagai cara murah untuk menaikkan kadar bahan kimia otak tersebut agar berfungsi secara normal. Nikotin tampajnya menjalankan peran sebagai perangsang produksi dopamin dan norepineprin.

Kenyataan ini menyiratkan harapan bahwa tembakau bisa ditanggulangi dengan semacam obat yang bisa menggantikan fungsinya sebagai perangsang bahan kimia penting otak tersebut. Sebuah perusahaan farmasi bernama Glaxo Wellcome (tahun 2000 dimerger dengan Smithkline Beecham menjadi GlaxoSmithkline, GSK, www.gsk.com, ym) berhasil membuat obat dan memasarkannya dengan merek Zyban (www.zyban.com) . Obat ini telah diuji coba dan memberikan hasil yang cukup memuaskan pada perokok berat. Dalam kurun 4 minggu pemberian obat itu, 49 persen pecandu rokok berhenti merokok.

Kedua, berkaitan dengan ambang batas nikotin. Ketika seorang remaja pertama kali mencoba merokok, dia tidak serta merta menjadi perokok. Sebagian besar justru tidak melanjutkan merokok dan sekitar sepertiganya yang meneruskan kebiasaan itu. Ketagihan nikotin bukan perkembangan yang mendadak. “Mereka menunggu beberapa tahun untuk sampai ke tingkat itu”, kata Neal Benowitz, pakar ketergantungan di University of California. Ketika seorang remaja limabelas tahun mencoba merokok, ia tidak sertamerta menjadi ketagihan. Artinya, ada ambang batas tertentu seseorang menjadi kecanduan dengan rokok. Jika ambang batas itu tidak terlampaui, maka sampai kapan pun dia tidak akan kecanduan. Tapi sekali ambang itu terlewati, ia sah menjadi seorang perokok.

Pakar nikotin terkemuka dunia, Benowitz dan Henningfiled, menawarkan agar pabrik rokok diharuskan mengurangi kadar nikotin sehingga mereka yang merokok 30 batang sehari pun tidak sampai kemasukan nikotin lebih dari lima miligram dalam 24 jam, yang menjadi ambang batas kecanduan. Dengan mengurangi kadar nikotin sampai di bawah ambang batas kecanduan, maka merokok tidak lagi melekat. ‘Merokok akan menjadi seperti penyakit batuk dan pilek biasa: mudah tertular tapi mudah diobati.’

Bagaimana pun, MG menegaskan di buku ini, mencegah seorang remaja agar tidak tergoda untuk mencoba merokok bukanlah usaha yang tepat karena ‘coba-coba adalah sesuatu yang alami di kalangan anak-anak dan remaja’. Di bagian lain, ‘alih-alih memerangi proses coba-coba itu adalah mengusahakan agar coba-coba tersebut tidak sampai berakibat serius.’

Solusi yang ditawarkan MG untuk mengatasi perilaku buruk merokok tersebut memang layak dikedepankan. Solusi pertama untuk mereka yang sudah menjadi pecandu rokok, dan solusi kedua untuk mengatasi remaja menjadi seorang pecandu. Setuju?

0 komentar:

Pengikut

  © Blogger template Palm by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP