Blues untuk Willy

>> Minggu, 09 Agustus 2009

Seniman besar itu telah berpulang, mewariskan antara lain satu buku kecil bersampul coklat. Bagi orang lain mungkin itu bukan karya terbaiknya, sayangnya aku sangat menyukainya. Aku pernah mendengar melalui pita kaset sang seniman membacakan dua puisi dari kumpulan itu. Ketika itu aku masih belia dan mudah terpesona. Cara dia membacakan puisi itu sungguh beda. Bahkan sampai hari ini aku masih bisa mengingatnya. Mengalun berirama dan terkadang jenaka. Puisi yang dia bacakan berjudul Rick dari Corona dan Nyanyian Angsa.

Buku coklat itu berjudul Blues untuk Bonnie. Dan seniman besar itu tentu saja W.S. Rendra. Terbit pertama kali tahun 1971, buku kumpulan puisi itu memuat 13 karya, salah satunya dijadikan judul buku kumpulan puisi itu, Blues untuk Bonnie. Sedikit beda dengan puisi-puisi ‘pemberontakan’ Rendra yang akrab bagi publik dan sering dicuplik, Blues untuk Bonnie jarang disebut. Seperti beberapa puisi naratif Rendra lainnya, di puisi ini aku mendapati cerita tentang kesepian, kepedihan, juga kekalahan.


Blues untuk Bonnie

Kota Boston lusuh dan layu
kerna angin santer, udara jelek,
dan malam larut yang celaka.
Di dalam cafe itu
seorang penyanyi Negro tua
bergitar dan bernyanyi.
Hampir-hampir tanpa penonton.
Cuma tujuh pasang laki dan wanita
berdusta dan bercintaan di dalam gelap
mengepulkan asap rokok kelabu,
seperti tungku-tungku yang menjengkelkan.

Ia bernyanyi.
Suaranya dalam.
Lagu dan kata ia kawinkan
Lagu beranak seratus makna.
Georgia. Georgia yang jauh.
Di sana gubug-gubug kaum Negro.
Atap-atap yang bocor.
Cacing tanah dan pellagra.
Georgia yang jauh disebut dalam nyanyinya.

Orang-orang berhenti bicara
Dalam cafe tak ada suara.
Kecuali angin menggetarkan kaca jendela.
Georgia.
Dengan mata terpejam
si Negro menegur sepi.
Dan sepi menjawab
dengan sebuah tendangan jitu
tepat di perutnya.

Maka dalam blingsatan
ia bertingkah bagai gorilla.
Gorilla tua yang bongkok
meraung-raung.
Sembari jari-jari galak di gitarnya
mencakar dan mencakar
menggaruki rasa gatal di sukmanya.

Georgia.
Tak ada lagi tamu baru.
Udara di luar jekut.
Anginnya tambah santer.
Dan di hotel
menunggu ranjang yang dingin.
Srenta dilihat muka majikan cafe jadi kecut
lantaran malam yang bangkrut.
Negro itu menengadah
Lehernya tegang.
Matanya kering dan merah
menatap surga.
Dan surga
melemparkan sebuah jala
yang menyergap tubuhnya.

Bagai ikan hitam
ia menggelepar dalam jala.
Jumpalitan
dan sia-sia.
Marah
terhina
dan sia-sia.

Angin bertalu-talu di alun-alun Boston.
Bersuit-suit di menara gereje-gereja.
Sehingga malam koyak moyak.
Si Negro menghentakkan kakinya.
Menyanyikan kutuk dan serapah.
Giginya putih berkilatan
meringis dalam dendam.
Bagai batu lumutan
wajahnya kotor, basah dan tua.

Maka waktu bagaikan air bah
melanda sukmanya yang lelah.
Sedang di tengah-tengah itu semua
ia rasakan sentakan yang hebat
pada kakinya.
Kaget
hampir-hampir tak percaya
ia merasa
encok yang pertama
menyerang lututnya.

Menuruti adat pertunjukkan
dengan kalem ia menahan kaget.
Pelan-pelan berhenti.
Pelan-pelan duduk di kursi.
Seperti guci retak
di toko tukang loak.

Baru setelah menarik napas panjang
ia kembali menyanyi.

Georgia.
Georgia yang jauh disebut dalam nyanyinya.
Istrinya masih di sana.
Setia tapi merana.
Anak-anak Negro bermain di selokan
tak krasan sekolah.
Yang tua-tua jadi pemabuk dan pembual
banyak hutangnya.
Dan di hari minggu
mereka pergi ke gereja yang khusus untuk Negro
di sana bernyanyi
terpesona pada harapan akherat
kerna di dunia mereka tak berdaya.

Georgia.
Lumpur yang lekat di sepatu.

Gubug-gubug yang kurang jendela.
Duka dan dunia
sama-sama telah tua.
Sorga dan neraka
keduanya usang pula.
Dan Georgia?
Ya, Tuhan
Setelah begitu jauh melarikan diri,
masih juga Georgia menguntitnya.



Georgia, Negro tua yang payah, lumpur yang lekat di sepatu, adalah idiom tentang tempat, pelaku dan nasib, yang mau tak mau menyeret kita pada banyak kisah hidup yang perih dan tak mudah bagi banyak orang, di mana pun tempatnya. Kalau membaca beberapa kisah kenangan tentang Rendra dalam berbagai media selepas kepergiannya itu, kita tahu bahwa jalan kesenian yang ditempuhnya pun, teater dan puisi, bukan sejenis jalan yang mudah. Sekalipun namanya dan nama kelompok teaternya sudah begitu dikenal publik.

Tapi di sisi lain puisi itu juga menyiratkan sebuah ‘perjuangan’ yang tak pernah selesai. Selalu saja ada Georgia, Negro papa, dan lumpur yang tak kunjung sirna. Menjelang ajalnya, Rendra masih konsisten naik pentas (terakhir kulihat di pentas The Candidate, Metro TV), ‘mencabik-cabik dawai gitarnya sendiri’, menyuarakan resah dari dalam sukmanya: korupsi itu seperti lumpur yang lekat di sepatu birokrasi kita. Pertanyaannya, siapa kini yang mau menempuh jalan tak mudah, menyuarakan kepedihan dan kebusukan itu melalui teater, puisi atau media ekspresi lainnya?

Mudah-mudahan ada, dan selalu akan ada orang-orang yang tak takut menempuh jalan tak mudah itu. Atau dalam bahasa Rendra disebut ‘pemberontak’. Dalam berbagai kesempatan, dia acapkali mengulang “Kalau kita tidak melawan kelaliman dan kezaliman, kita lebih baik tak jadi seniman. Kita sekarang butuh surga baru. Tanpa tangan kita kotor, kita tidak bisa ciptakan kembali itu firdaus...”

0 komentar:

Pengikut

  © Blogger template Palm by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP