[Tipping Point] Amnesia Penanggulangan Rokok

>> Jumat, 28 Agustus 2009


Pada peringatan hari tanpa tembakau sedunia tahun 2003 Menteri Kesehatan RI (saat itu Dr. Sujudi) menyatakan bahwa paling lambat tahun 2005 Indonesia akan memiliki Undang-Undang Anti rokok, menyusul kesepakatan negara-negara yang tergabung dalam badan kesehatan dunia (WHO) untuk mulai memberlakukan The WHO Framework Convention on Tobacco Control. Sayangnya, pernyataan Menkes seperti lenyap diterbangkan angin. Usulan UU anti rokok itu bahkan pernah ditolak DPR periode 2006-2007. Akhir tahun 2008 lalu usulan itu masuk lagi ke DPR, namun hingga kini belum ada tanda-tanda pembahasan undang-undang tersebut.

Sebagaimana dimaksudkan dalam FCTC, paling tidak UU anti rokok itu bisa melarang kampanye perusahaan rokok yang tanpa kendali seperti sekarang ini. Sulit dipahami bahwa perusahaan rokok seperti dibebaskan melakukan segala hal untuk memengaruhi orang terutama dari usia belia untuk mulai merokok. Pembagian rokok gratis di mall, di konser musik bahkan di pertandingan olah raga, sudah bukan hal aneh lagi. Kita tahu, sebagaimana penelitian yang diungkap MG di Tipping Point, usia 12 tahun – 18 tahun adalah saat awal seseorang biasa mulai merokok. Jika pada usia tersebut mereka sudah merokok melebihi ambang batas tertentu (5 mg nikotin per hari), sangat mungkin mereka akan menjadi pencandu hingga tua.

Karenanya, sangat penting untuk memutus mata rantai ini. Dan ini sepertinya disadari benar oleh industri rokok. Andai mereka tidak menggarap segmen usia remaja, sangat mungkin mata rantai itu putus. Saat para pecandu tua hilang dan tidak ada ‘penerusnya’, mereka harus siap-siap gulung tikar, beralih usaha atau memindahkannya ke negara lain, seperti yang dilakukan para ‘saudagar penyebar maut AS’ (meminjam istilah William Ecenbarger, America’s New Merchants of Death), di Indonesia. Ini pula yang mungkin menjadi ‘latar belakang’ betapa sulitnya meng-gol-kan sebuah UU anti rokok.

Sekedar ilustrasi bagaimana para pelobi dari industri rokok memengaruhi para wakil rakyat di AS pada tahun 90-an, seperti dikutip George Milowe di situs encognitive.com berikut ini : In the 1991-92 election period, tobacco lobbyists gave $2.3 million to Congressional candidates. Phillip Morris and RJR Nabisco were among the top seven corporate donors. Tobacco interests also gave $2.5 million to the Republican and Democratic parties." Also, under pressure from tobacco lobbyists in the 1980's, the U.S. Trade Representative helped to force open the markets of Japan, South Korea, Taiwan, and Thailand to U.S. tobacco companies, challenging these countries' and-tobacco health measures as unfair trade barriers, and insuring a tremendous growth of tobacco use, including amongst young people.

Di tengah kegamangan dan amnesia para wakil rakyat dalam membahas dan mengesahkan UU anti rokok tersebut, langkah yang diambil beberapa perguruan tinggi seperti Unissula Semarang, Unsoed Purwokerta, dan belakangan juga UGM Yogyakarta yang melarang semua bentuk promosi rokok di wilayah kampus, perlu mendapat apresiasi yang tinggi. Harapan kita tentu langkah ini diikuti oleh semua perguruan tinggi di Indonesia. Dengan harapan, meminjam penalaran tipping point, bisa menjadi sebuah langkah kecil bagi sebuah perubahan besar.

0 komentar:

Pengikut

  © Blogger template Palm by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP